Jumat, Agustus 23, 2013

Problema Film Dakwah



Banyak cara untuk menyampaikan pesan kepada publik salah satunya dengan media film. Di dalam film, pesan yang disampaikan bisa berpotensi bernilai positif maupun negatif. Tergantung sudut pandang kelompok dalam merujuk sumber nilai yang dijadikan acuannya. Agaknya keampuhan film dalam mempengaruhi masyarakat cukup efektif.
Bagi saya pribadi, salah satu film Indonesia yang cukup mempengaruhi pola pikir saya adalah film  “Ayat-Ayat Cinta” (AAC) yang bersumber dari Novel AAC karya Habiburrahman el Shirazy.
Film yang disutradarai oleh Hanung Bramantyo dan mengambil setting negeri Priamid itu  tetap yang spesial bagi saya. Jika melihat film itu diputar oleh teman atau stasiun teve, saya merasa ada “sesuatu” yang membangkitkan nuansa “romantisme”. Padahal bisa dibilang itu film lama.
Mengapa sesatu?, saya terkesan dengan tokoh utama Fahri yang unik. Fahri menurut saya memang unik. Tokoh Fahri dalam film AAC begitu bersahaja dalam mengamalkan nilai-nilai  Islam. Ya, mungkin saya terhipnotis ingin menjadi Fahri yang bersahaja dalam film itu.
Film itu telah memperkenalkan sosok teladan kepada saya waktu masih SMA. Saat  itu saya belum sadar betul batasan-batasan akhlak antara laki-laki dan perempuan dalam mengelola perasaan cintanya. Banyak spirit dan nilai-nilai Islam yang begitu indah yang dapat saya petik.
Suatu malam sekitar pukul 20.00  WIB kebetulan saya sedang online. Saya tulis saja status di wall. “Film AAC memotivasi menjadi seorang pemuda/pemudi yang baik”. Status yang cukup simpel. Beberapa menit kemudian, muncul beberapa tanggapan teman yang bisa dibilang mengkritisi ungkapan saya. Katanya “Bagusan juga KCB”. Maksudnya adalah film Ketika Cinta Bertasbih yang lagi jadi “Maintream” oleh para aktivis kampus. Saya lalu menaggapinya lagi. “Untuk masalah akting, Fedi Nuril masih yang terbaik, hehehe”. Ungkap saya. Tidak mau kalah, ada seorang teman berkomentar “Bagusan juga Kholidi”. Ya. Kholidi adalah salah satu aktor utama yang memerankan tokoh Azam dalam film KCB. Teman saya masih menambahkan “coba baca perjalanan kholidi deh”. Saya telah membaca maksudnya bahwa Kholidi memang tokoh yang cukup hati-hati dalam menjaga interaksi luar film bahkan hingga terbawa-bawa karakternya ini dalam menjalankan setiap perannya. Adapun Fedi Nuril dianggap kurang menjaga diri yakni dengan bersentuhan tangan dalam beberapa adegan dengan Riyanti Catrwright (Pemeran Aisya). Sebetulnya klo saya lanjutkan komentar ini tidak akan ada habisnya, karena sarat dengan subjetivitas masing-masing. Tapi toh di online hanya tempat untuk bersantai-santai saja jadi saya tanggapi saja sekenanya. Saya bilang “looohh saya kan menilai film bukan orang diluar film”.

Film Dakwah atau Dakwah di Bidang perFilman?

Memang pernah Ustad Anif Sirsaeba sang promotor film pernah mengatakan bahwa secara fiqih dan kualitas, film karya Hanung banyak yang menerabas aturan fiqih. Adapun film KCB katanya lebih “Islami” dan secara fiqih para pemainnya lebih terjaga. Begitu ungkapnya sewaktu saya dan teman-teman di KMMS (Keluarga Mahasiswa Muslim Sastra) mengundangnya dalam acara bedah film pada tahun 2009. Sudah barang tentu ungkapan seperti itu terus beliau sosialisasikan dalam forum-forum bedah film di khalayak luas termasuk kepada aktivis Islam di kampus. Nah kasus tanggapan teman saya tadi bisa jadi adalah salah satu saja yang  ikut-ikutan atau terbawa (larut) dalam hal menilai film. Padahal menurut saya penilaian tersebut cukup tidak logis. Ya, sering kali kecintaan berlebihan terhadap sesuatu membikin seseorang tidak kritis dan rasional. Bukankah sikap seperti itu adalah hal yang cukup membahayakan?.
Lucu tatkala ada sebagian aktivis yang mencampuradukan penilaian atara film sebagai sebuah karya seni dengan pemerannya di luar film. Menurut saya ini adalah dua hal yang perlu dipisahkan. Kalau memang ingin menilai film sebagai sebuah karya seni, ya nilailah sebagaimana logika yang dibangun dalam kerangka ceritanya. Bukan mencampurkan suatu hal yang berasal dari luar seperti kesalehan personal pemerannya, embel-embel latar latar belakang  berdasarkan kenyataan ke dalam sebuah film.
Sikap romantis Aisya terhadap Fahri dalam AAC harus dimaknai berdasarkan logika yang dibangun dalam cerita itu sendiri. Fahri adalah suami Aisya yang sah dalam film AAC. Jadi merupakan hal yang wajar jika Aisya bersikap layaknya seorang istri. Namun begitu sebagai film yang mengusung nilai-nilai Islami harus tetap berdasarkan aturan-aturan syariat agama. Bukan berbuat sebebasnya tanpa sensor sebagaimana yang terjadi dalam film-film barat. Di film barat, memang telah kelewat batas. Mereka demi sebuah karya seni tidak menyensor adegan-adegan ranjang yang mustinya privat. Lebih kacau lagi adegan-adegan itu dilakukan dengan sebenarnya. Hal ini jelas setahu saya dilarang keras dalam agama Islam.

Dilematis “Film Dakwah”

Seperti telah saya singgung di atas bahwa film bisa dijadikan sarana untuk berdakwah. Akan tetapi akan menjadi sulit jika logika dalam cerita di film di bawa-bawa keluar (kehidupan nyata). Dengan segala upaya agar lebih mengena di pilihlah peran-peran yang berintegritas dalam menjalankan agama. Ya. Memang tidak menjadi persoalan jika ia mempunyai kapasitas. Akan tetapi menjadi aneh jika latar belakang dari luar pemerannya di bawa-bawa ke dalam film.
Sebagai contoh adegan antara pemeran laki-laki kepada perempuan. Katakanlah pemeran laki-laki dan perempuan ini dapat peran menjadi sepasang suami istri. Tentu meski telah mendapatkan beberapa batasan-batasan agar tidak terjebak kepada hal-hal yang tidak Islami akan menjadi sulit jika sikap mereka ‘kaku’. Kurang terlihat romantis. Terkadang mereka memerankan adegan yang mestinya romantis sebagai sepasang suami istri akan tetapi terlihat kaku karena mereka berpegangan tangan saja tidak. Itulah contoh kasus keanehan-keanehan dalam film yang merusak film itu sendiri. Hal ini menurut saya jelas tidak logis. Hal ini terjadi pada film-film KCB, Cinta Suci Zaharana dimana romantisme pasangan suami istri dalam film menjadi hambar. Berbeda dengan film AAC. Pada film AAC meski memang ada beberapa catatan, film tersebut lebih dapet logikanya. Jadi kalau mau aman sekalian dan agar tidak merusak film itu sendiri carilah peran-peran yang memang telah semuhrim. Tentu ini tidak mudah tapi bisa.

Semarang, 23 Agustus 2013

Tidak ada komentar: