Sabtu, Oktober 08, 2011

Trend Pluralisme Agama

Pikiran yang menganggap semua agama itu sama telah lama masuk ke Indonesia dan beberapa negara Islam lainnya. Tapi akhir-akhir ini pikiran itu menjelma menjadi sebuah paham dan gerakan “baru” yang kehadirannya serasa begitu mendadak, tiba-tiba dan mengejutkan. Umat Islam seperti mendapat kerja rumah baru dari luar rumahnya sendiri. Padahal umat Islam dari sejak dulu hingga kini telah biasa hidup ditengah kebhinekaan atau pluralitas agama dan menerimanya secara realitas social. Piagam Madinah dengan jelas sekali mengkoordinir pluralitas agama saat itu dan para ulama telah pula menjelaskan hukum-hukum terkait. Apa sebenarnya dibalik gerakan ini?

Sebenarnya paham inipun bukan baru, akar-akarnya seumur dengan akar modernisme di Barat dan gagasannya timbul dari perspektif dan pengalaman manusia Barat. Namun kalangan umat Islam pendukung paham ini mencari-cari akarnya dari kondisi masyarakat Islam dan juga ajaran Islam. Kesalahan yang terjadi, akhirnya adalah menganggap realitas kemajemukan (pluralitas) agama-agama dan pluralisme agama sama saja. Parahnya, pluralisme agama malah dianggap realitas dan sunnatullah. Padahal keduanya sangat berbeda.
Yang pertama (pluralitas agama) adalah kondisi dimana berbagai macam agama wujud secara bersamaan dalam suatu masyarakat atau negara. Sedangkan yang kedua (pluralisme agama) adalah suatu paham yang menjadi tema penting dalam disiplin sosiologi, teologi dan filsafat agama yang berkembang di Barat dan juga agenda penting globalisasi.

Solusi Islam terhadap adanya pluralisme agama adalah dengan mengakui perbedaan dan identitas agama masing-masing (lakum dinukum wa liya din). Tapi solusi paham pluralisme agama diorientasikan untuk menghilangkan konflik dan sekaligus menghilangkan perbedaan dan identitas agama-agama yang ada. Jadi menganggap pluralism agama sebagai sunnatullah adalah klaim yang berlebihan dan tidak benar. Dalam paham pluralism agama yang berkembang dibarat sendiri terdapat sekurang-kurangnya dua aliran yang berbeda: yaitu paham yang dikenal dengan program teologi global (Global Theology) dan paham kesatuan transenden agama (Transcendent Unity of Religious). Kedua aliran ini telah membangun gagasan, konsep dan prinsip masing-masing dan akhirnya menjadi paham yang sistemik. Karena itu yang satu menyalahkan yang lain.

Munculnya dua aliran diatas juga disebabkan oleh dua motif yang berbeda meskipun keduanya muncul di Barat. Bagi aliran pertama yang umumnya diwarnai oleh kajian sosiologis, motif terpentingnya adalah karena tuntutan modernisasi dan globalisasi. Karena pentingnya agama diera globalisasi ini, maka hubungan globalisasi dan agama menjadi tema sentral dalam sosiologi agama. Tentang hubungan antara agama dan globalisasi bisa dibaca dari Religion and Globalization, karya Peter Bayer, Islam, Globalization and Postmodernity, karya Akbar S Ahmed dan H. Donnan, The Changging Face of Religion, karya James A Beckford dan Thomas Luckmann atau Religion and Global Order , oleh Ronald Robertson dan WR. Garet.

Nampaknya agama dianggap sebagai kendala bagi program globalisasi. Tidak aneh jika kini seminar tentang dialog antar agama, global ethic, religious dialogue yang diadakan oleh World Council of Religons dan lembaga lain sangat marak diseluruh dunia. Organisasi non pemerintah (NGO) didunia ketiga pun mendapat kucuran dana dengan mudah. Bukti bahwa barat berkepentingan dengan paham ini dapat dilihat dari tema yang diangkat jurnal rintisan oleh Zwemmer The Moslem World pada edisi terkininya (volume 94 No.3, tahun 2004). Jurnal missionaris itu menurunkan tema pluralism agama dengan fokus dialog Islam Kristen. Sudah tentu disitu frame Barat sangat dominan.
Berbeda dengan motif aliran pertama yang diwarnai dengan pendekatan sosiologis, motif aliran kedua didomonasi oleh pendekatan filosofis dan teologis Barat justru kebalikan dari motif pertama. Kalangan filosof dan teolog justru menolak arus modernisasi dan globalisasi yang cendrung mengetepikan agama itu dengan berusaha mempertahankan tradisi yang terdapat dalam agama-agama itu. yang pertama memakai pendekatan sosiologis, sedangkan yang kedua menggunakan pendekatan religious filosofis.

Solusi yang ditawarkan kedua aliran inipun berbeda. Berdasarkan motif sosiologis yang mengusung program globalisasi, aliran pertama menawarkan konsep dunia yang tanpa batas geografis kultural, ideologis, teologis, kepercayaan dan lain-lain. Artinya identitas kultural, kepercayaan dan agama harus dilebur atau disesuaikan dengan zaman modern. Kelompok mini yakin bahwa agama-agama itu berevolusi dan nanti akan saling mendekat dan pada akhirnya tidak ada lagi perbedaan antara satu agama dengan agama yang lainnya. Agama-agama itu akan melebur menjadi satu. Berdasarkan asumsi itu maka John Hick, salah satu tokoh terpentingnya, segera memperkenalkan konsep pluralism agama dengan gagasannya yang ia sebut Global Theology. Selain Hick diantara tokohnya yang terkenal adalah Wilfred Cantwell Smith, pendiri McGill Islamic Studies. Tokoh-tokoh lain dapat dilihat dari karya Hick berjudul Problems of Religious Pluralisme. Pada halaman dedikasi buku ini John Hick Menulis yang terjemahannya begini “Kepada kawan-kawan yang merupakan nabi-nabi pluralisme agama dalam berbagai tradisi mereka: Masau Abe dalam agama Budha, Hasan Askari dalam Islam, Ramachandra Gandhi dalam agama Hindu, Kusdeva Singh dalam Sikh, Wilfred Cantwell Smit dalam Kristen dan Leo Trepp dalam agama Yahudi".

Solusi yang ditawarkan oleh aliran kedua adalah pendekatan religious filosofis dan membela eksistensi agama-agama. Bagi kelompok ini agama tidak bisa dirubah begitu saja dengan mengikuti zaman globalisasi, zaman modern ataupun postmodern yang telah meminggirkan agama itu. Agama tidak hanya dilihat dari aspek sosiologis dan historis dan tidak pula dihilangakan identitasnya. Kelompok ini lalu memperkenalkan pendekatan tradisional dan mengangkat konsep-konsep yang diambil secara parallel dari tradisi agama-agama. Salah satu konsep kelompok ini adalah Sophia parennis atau dalam bahasa Hindu sering disebut Sanata Dharma atau dalam Islam disebut al-hikmah al-khalidah. Konsep ini mengandung pandangan bahwa didalam setiap agama terdapat tradisi-tradisi sacral yang perlu dihidupkan dan dipelihara secara adil, tanpa menganggap salah satunya lebih superior dari pada yang lain. Agama bagi jalan ini adalah bagaikan “jalan-jalan yang mengantarkan ke puncak yang sama” (all paths lead to the same summit). Tokoh-tokoh pencetus dan pendukung paham ini adalah Rene Guenon (m.1951), T.S Eliot (m. 1965), Titus Buckhardt (m. 1984), Frtjhof Schuon (m. 1998), Ananda K. Coomaraswamy (m. 1947), Martin Ling, Sayyed Hossen Nasr, Huston Smith, Louis Massignon, Marco Pallis (m. 1989), Henry Corbin, Jean Louis Michon, Jean Cantien, Victor danner, Joseph E. Brown, William Stoddart, Lord Northbourne, Gay eaton, W.N. Perry, G. Durand, E.F. Shchumacher, J. Needleman, William C. Chittick dan lain-lain. (dikutip dari pengantar jurnal ISLAMIA edisi September-November 2004)

Anton
(Staf Departemen Kajian Stategis KAMMI Komisariat FIB)

Tidak ada komentar: