Selasa, Januari 31, 2012

Jalan Panjang Menuju Islamisasi sains (Sebuah Review)

Tulisan ini saya kutip dari sebuah makalah yang ditulis oleh Ir. Budi Handrianto MPd.I yang berjudul “Islamisasi Sains; dalam upaya mengislamkan sains barat modern” dalam makalah itu dijelaskan fase-fase perkembangan pemikiran tentang Islamisasi Sains. Fase-fase pemikiran itu tidaklah berjalan secara “mekanis” seperti cara kerja robot dengan serangkaian  fase dari A sampai Z yang berjalan secara teratur. Sebab tidak menutup kemungkinan hingga saat ini ada sebagian “ilmuan” yang masih “setia” memakai tipe-tipe pemikiran “Klasik” sehingga perlu dimaklumi seiring distribusi informasi dari daerah yang satu ke daerah yang lainnya tidak sama.

            Dalam makalah tersebut disebutkan bahwa ada lima pendekatan dalam Islamisasi sains yaitu pendekatan Intrumentalistik, Justifikasi, Sakralisasi, Integrasi dan Paradigma.

            Pendekatan yang pertama yakni pendekatan Instrumentalistik menganggap bahwa ilmu pengetahuan adalah alat untuk mencapai tujuan. Konsep Islamisasi sains dengan pendekatan instrumentalistik merupakan suatu konsep yan menganggap ilmu atau sains sebagai alat (instrumen). Bagi mereka yang berpandangan bahwa sains,terutama teknologi adalah sekedar alat untuk mencapai tujuan, tidak memperdulikan sifat dari sains itu sendiri. Yang penting sains tersebut bisa membuahkan tujuan bagi pemakainya. ide Islamisasi sains di abad modern yang pertama kali muncul dengan embrio masih berupa pandangan instrumentalistik. Ide atau pandangan ini tentu tidak akan membawa kemajuan kepada umat karena persoalan sesungguhnya ada di ilmu atau sains tersebut. Betapa banyak kita sudah mendapati seorang muslim yang sangat menguasai sains Barat bahkan sampai meraih penghargaan tertinggi yaitu hadiah nobel, namun kondisi umat tidak kunjung mengalami perbaikan. Bahkan yang sering kita temui adalah makin tinggi penguasaan seseorang terhadap sains Barat, makin jauh dia dari Islam bahkan menjauhi agama. Seperti halnya ilmuwan Barat terdahulu, dengan penguasaan sains Barat yang sekular, rasional dan materialistik, mereka malah menjadi seorang ateis.

            Konsep Islamisasi sains dengan pendekatan instrumentalistik ini sebenarnya tidak termasuk dalam konsep Islamisasi sains yang tengah kita bahas sesuai dengan syarat-syaratnya. Sebab, dalam pendekatan instrumentalistik, konsep ilmu itu tidak bebas nilai tidak berjalan. Mereka justru menganggap ilmu adalah bebas nilai sehingga siapapun bisa menggunakannya untuk mencapai tujuan. Meskipun tidak termasuk proses Islamisasi sains sesuai dengan definisi yang ditetapkan, konsep ini. Menurut Zainal Abidin Baghir, salah satu tanggapan terpenting di dunia Islam diberikan oleh Jamaluddin al-Afghani (1838-1897). Gagasannya mengilhami Muslim di Turki, Iran, Mesir, dan India ini. Meskipun sangat anti-imperialisme Eropa, ia mengagungkan pencapaian ilmu pengetahuan Barat. Ia tak melihat adanya kontradiksi antara Islam dan ilmu pengetahuan. Namun, gagasannya untuk mendirikan sebuah universitas yang khusus mengajarkan ilmu pengetahuan modern di Turki menghadapi tentangan kuat dari para ulama. Akhirnya ia diusir dari negeri itu.

             Pendekatan yang populer dan banyak dikembangkan oleh ilmuwan muslim saat ini adalah justifikasi. Istilah ini untuk menggambarkan aktivitas sebagian cendekiawan muslim yang menjustifikasi kebenaran al Quran dan Sunnah berdasarkan temuan-temuan ilmiah, terutama di akhir abad ini. Pendekatan berikutnya, yaitu sakralisasi sains atau Sains Sakral (sacred science) digagas oleh Seyyed Hossein Nasr. Menurut Nasr, desakralisasi ilmu pengetahuan di Barat bermula pada periode renaissance (kelahiran kembali), ketika rasio mulai dipisahkan dari iman. Pemisahan tersebut terus terjadi sehingga studi agama pun didekati dengan pendekatan sekular sehingga sekularisasi pada akhirnya terjadi dalam studi agama. Visi yang menyatu kan ilmu pengetahuan dan iman, agama dan sains, dan teologi dengan semua segi kepedulian intelektual telah hilang dalam ilmu pengetahuan Barat modern. Ide Islamisasi sains yang paling populer adalah ide Islamisasi yang diusung oleh Ismail Raji Al-Faruqi.

             Islamisasi ilmu pengetahuan, kata Al-Faruqi, adalah solusi terhadap dualisme siste pendidikan kaum Muslimin saat ini. Baginya, dualisme sistem pendidikan harus dihapuskan dan disatukan dengan paradigma Islam. Paradigma tersebut bukan imitasi dari Barat, bukan juga untuk semata-mata memenuhi kebutuhan ekonomis dan pragmatis pelajar untuk ilmu pengetahuan profesional, kemajuan pribadi atau pencapaian materi. Namun, paradigma tersebut harus diisi dengan sebuah misi, yang tidak lain adalah menanamkan, menancapkan serta merealisasikan visi Islam dalam ruang dan waktu Islamisasi sains atau ilmu pengetahuan kontemporer secara Paradigma digagas oleh Syed M Naquib Al-Attas. Beliau mengemukakan pikirannya tentang tantangan terbesar yang sedang dihadapi kaum Muslimin adalah sekularisasi ilmu pengetahuan. Islamisasi ilmu menurut Al-Attas lahir dari idenya terhadap Islamisasi secara umum.

              Islamisasi adalah “Pembebasan manusia, mulai dari magic, mitos, animisme dan tradisi kebudayaan kebangsaandan kemudian dari penguasaan sekular atas akan dan bahasanya.” Di seberang para penggagas ilmu pengetahuan Islam ini tentu saja ada pendirian lain yang bertentangan. Pada umumnya pendirian ini mendapatkan argumen utamanya dengan menolak premis paling penting dalam argumentasi ilmu pengetahuan Islam itu, yaitu, bahwa ilmu pengetahuan tak bebas nilai. Implikasi praktisnya adalah pandangan instrumentalis: bahwa sebagai kumpulan instrumen yang bermanfaat secara praktis (terutama dalam penerjemahannya ke dalam teknologi) ilmu pengetahuan modern dapat dikembangkan dalam lingkungan Islam. Dan ini tak menafikan kemungkinan umat Islam untuk tetap hidup menuruti ajaran Islam, karena, sekali lagi, ilmu pengetahuan adalah alat, bukan tujuan. Jadi, bagi mereka yang berpandangan bahwa ilmu itu netral atau bebas nilai maka mereka menolak ilmu pengetahuan termasuk sains dapat di-Islamkan. Argumentasi kritik lain, selain permasalahan netralitas ilmu, adalah kesalahpamahaman atas ide Islamisasi ilmu pengetahuan itu sendiri.

            Para kritikus biasanya mengkritik ide Islamisasi yang dilakukan tanpa landasan epistemologis yang jelas. Kritikus mengkritik ide Islamisasi yang hanya bersifat permukaan, yaitu hanya memberikan label atau instrumen-instrumen Islam. Beberapa kritikus yang sering disebut adalah Fazlur Rahman, Abdussalam, Muhsin Mahdi, Bassam Tibi, Abdul Karim Sourosh, Pervez Hoodbhoy dan sebagainya. Pada umumnya, para pengkritik Islamisasi ilmu berpendapat sains adalah mengkaji fakta-fakta, objektif dan independen dari manusia, budaya atas agama, dan harus dipisahkan dari nilai-nilai.

             Dari kelima pendekatan ini yang perlu dikembangkan adalah ide Islamisasi sains yang lebih fundamental atau ide yang berlandaskan paradigma, bukan sekedar menjadikan ilmu sebagai alat, menggabungkan ilmu sekular dan ilmu Islam, maupun sekedar menjustifikasi penemuan ilmiah modern dengan ayat-ayat Al Quran. Kemudian setelah masalah ini (paradigma) selesai baru kita masuk kepada pendekatan-pendekatan yang lain. Tanpa melakukan perubahan paradigma (shiftin paradigm) mendasar di aspek epistemologis maka proses Islamisasi sains akan jalan di tempat. Sains Islam hanyalah akan mengekor sains Barat atau justru menjadi bagian dari sains Barat itu sendiri. Dengan demikian, pendekatan Al-Attas patut untuk didahulukan sebelum melakukan Islamisasi sains melalui konsep atau pendekatan yang lain. Pandangan bahwa ilmu itu tidak netral, tidak bebas nilai dan banyak diwarnai oleh perabadan lain non-Islam) harus disebarluaskan untuk menyadarkan kaum muslimin, terutama kaum terpelajar.


Lebih detailnya bisa dibaca di situs http://www.insistnet.com di bagian makalah. Andapun bisa mendownload secara gratis kumpulan karya pemikir-pemikir muslim yang konsern mengenai kajian pemikiran Islam.  

Kudus, 26 Januari 2012
Anton

Tidak ada komentar: