Rabu, Mei 09, 2012

Megejar Rembulan Menyambut Mentari… (Pendakian Ungaran Part 1)

Malam itu langit begitu cerah. Rembulan itu masih terlihat anggun diantara iringan awan-awan tipis. Cahayanya begitu terang benderang menerangi genting-genting rumah di bumi Tembalang. Meskipun disetiap sudut gang lampu-lampu terlihat memancarkan cahaya, tetapi cahaya rembulan malam itu tetaplah yang paling mempesona. Kulihat pepohonan masih terdiam membisu. Dalam gelap yang mulai menyergap, dedaunan itu memantulkan kerlap-kerlip cahaya sang rembulan. Cahayanya melahirkan bayangan raksasa memanjang. Bayangan hitam batang pohon dan gumpalan dedaunan terlihat terlukis di permukaan tanah walau hanya terlihat samar.
Shalat Isya pun telah ditunaikan. Masjid Al-Hidayah semakin menjauh. Dan para Jamaah kembali ketempatnya masing-masing. Kedua kaki ini masih terus melangkah menuju pulang. Gang Barata bentuknya memang memanjang dan sedikit menurun. Pandangan ini masih tertuju kepada sang rembulan. Sesekali ia tenggelam terhijab awan. Namun sesekali pula muncul kembali. Hingga pandangan ini tak lagi bisa memandang. Tembok besar telah menjadi penghalang lukisan alam yang mempesona itu. Ingin rasanya melihat lebih dekat sang rembulan. Menghabiskan malam sambil memperhatikan gerak awan beriring, yang membelah rembulan menjadi dua bagian.
Tidak hanya jiwaku saja yang terpaut dengan kecantikan lukisan langit malam itu. Ketika sampai dikontrakan, hapeku seketika berdering. Sebuah pesan singkat dari seorang sahabat kuterima. Ya, ajakan untuk menghabiskan malam mendaki Ungaran. Akupun tersenyum. Belum yakin apakah ajakan itu serius atau hanya ajakan kosong belaka. Berulang kali ia meyakinkan agar menikmati malam itu ini sambil memandang rembulan dari puncak Ungaran. Ia juga menginformasikan bahwa sudah ada sahabat lain yang bersedia mendaki Ungaran malam itu. Aku semakin tertantang. Dan akupun senang. Ternyata cahaya rembulan malam itu telah membuat sahabatku-sahabatku “Jatuh Cinta”. Dengan seketika kami bersepakat bahwa pukul 21.00 kita harus berangkat. Memanfaatkan waktu yang ada kami berusaha mempersiapkan segalanya dan saling membagi tugas. Ada yang membawa tenda, mencari kompor, termos, dan membeli makanan. Sayang seribu sayang kami tidak mendapatkan kompor. Tetapi walaupun perlengkapan kami tidak seluruhnya lengkap, namun ketiadaan itu tidak menyurutkan langkah kami untuk membataklan perjalanan. Dan kamipun masih menatap rembulan. Ia masih begitu anggun memantulkan cahaya. Kamipun semakin terpesona sambil mengucapkan puja dan puji kepada Sang Pencipta. 
Kami menyadari bahwa ketika dipuncak nanti udara pasti amat menusuk tulang. Dan apalagi termos belum terisi air panas. Kami segera mencari di salah satu warteg di Tembalang. Alhamdulillah air panaspun kami dapatkan. Perjalananpun semakin meyakinkan.
Dengan antusias kami seperti mengejar sang rembulan. Kami berjumlah 2 motor. Dalam perjalan itu jumlah kami hanya bertiga Dan aku berboncengan. Kami jalan sambil beriringan. Terkadang ketika ditengah perjalanan kami bercengkrama, mengobrol tentang segala hal. Dan rembulan masih terlihat jelas memancarkan pesona. Kami semakin bersemangat menuju puncak Ungaran tatkala melirik rembulan. Perjalanan tersebut terasa begitu ringan dan menyenangkan sekaligus aneh. Bagaimana mungkin secara mendadak, hanya karena melihat rembulan diatas genting kontrakan, kami begitu cepat merencanakan sebuah perjalanan. Perjalanan itu bagaikan mengambil sebuah momentum. Rembulan bisa jadi pasti akan telihat indah dan penuh manakala dinikmati dari ketinggian. Dan dengan serta-merta kamipun dipersatukan dalam perjalanan yang sama. Rembulan telah berhasil ‘meluluhkan’ hati kita bertiga. 
 
Kurang dari satu jam, tepatnya pukul 22.30 kamipun telah berada dikaki gunung Ungaran. Sempat tersasar dan salah masuk gang. Dan itu bisa diatasi dengan segera. Feeling perjalanan salah seorang sahabat cukup tinggi, sehingga kamipun memutar jalan dan kembali melanjutkan perjalanan pada sebuah jalan yang kami yakini benar.
Jalan-pun mulai menanjak. Terasa kendaraan kami meraung-raung keras. Memang kondisi jalan tidak selamanya mulus. Permukaan jalan yang bergelombang sesekali seperti ingin melemparkan kami keatas. Terdengar keras bunyi deritan soft blecker memecah kesunyian. Udarapun mulai terasa dingin. Ditengah-tengah perjalanan kami sesekali menemukan pasangan muda-mudi yang mungkin juga sedang menikmati cahaya rembulan. Sepertinya mereka juga sedang memanfaatkan momentum. Padahal malam itu telah larut, tetapi mengapa muda-mudi itu masih melakukan ‘aktifitas’? sebuah pertanyaan yang tidak perlu mendapatkan jawaban, karena kamipun sudah tahu jawabannya? Entahlah, semoga saja mereka adalah pasangan-pasangan yang telah sah tercatat dalam catatan pernikahan di KUA. Begitu kami berusaha berkhusnuzhan.
Hampir saja kendaraan kami berbalik arah. Terutama aku dan sahabatku yang berboncengan. Akupun sesekali turun sambil mendorong motornya. Walaupun motor hanyalah seonggok mesin yang hidup, tetapi kamipun masih memiliki belas kasihan. Akupun mendorongnya hingga memastikan apakah medan masih memungkinkan agar tetap berboncengan.
Dan akhirnya kami sampai di sebuah Bascamp. Suasananya masih begitu sunyi. Hanya terdapat 2 orang penjaga. Setelah menyapa dan meminta izin pendakian kamipun sejenak melampar pandangan ke-arah perkotaan. Subhanalloh dari ketinggian kami melihat warna-warni kerlap-kerlip lampu yang begitu menawan. Ditambah siluet pegunungan yang begitu kokoh. Kamipun menerka-nerka dengan segala keterbatasan pandangan.
Setelah puas memandang, kami ingin melanjutkan perjalanan menuju puncak. Waktu telah menunjukan pukul 23.15. Kami menemukan sedikit kendala pada saat ingin menitipkan kendaraan. Ternyata petugasnya tidak standby selama 24 jam. Lalu bagaimana kita akan menitipkan kendaraan?. Lalu kami segera menemui salah satu petugas TNI yang masih berada di sebuah Café. Terlihat ada beberapa orang sedang bercengkrama. Alhamdulillah kamipun mendapatkan petunjuk. Dengan segera kami melangkahkan kaki menuju rumah salah seorang penduduk. Akhirnya kita menitipkan kendaraan disana.
Ekspedisipun dimulai…
Dibawah sinar rembulan yang terang benderang, kami melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki menuju puncak. Setapak demi setapak kami susuri jalan. Terlihat jalan begitu lembab dan licin. Tanah, rumput dan bebatuan terlihat basah. Sepertinya tadi sore hujan telah mengguyur tempat ini. Suara jangkrik sepanjang perjalanan secara bergantian menemani perjalanan. Dengan penuh kewaspadaan dan kehati-hatian kami meneruskan perjalanan. Sesekali kami terpeleset. Tetapi tidak sampai membuat kami terjatuh. Medanpun semakin terjal dan menanjak. Sesekali kami menghentikan langkah beristirahat sambil memandangi ribuan kerlap kerlip lampu. Dan lagi-lagi kami selalu berdecak kagum dengan pemadangan tersebut. Terlihat rentetan jalan-jalan saling berhubungan dari tempat yang satu ke tempat yang lainnya. Membentuk lika-liku yang begitu indah. Itu semua kami nikmati dari ketinggian. Sesekali kami bertanya. Mengapa bisa lampu itu menyemburatkan kerlap-kerlip? Ada yang menjawab karena itu terpengaruh oleh awan, ada yang menjawab hal itu disebabkan karena faktor oksigen, dan adapula yang menjawab karena factor ilusi indra. Entahlah jawaban mana yang benar. Sepanjang perjalanan kami melihat kulit-kulit kayu terhampar dipermukaan tanah. Glondongan-glondongan kayu terdapat dikanan kiri. Pepohonanpun banyak yang ditebang. Saya tidak mengerti apakah ini sudah sesuai prosedur, apakah hanya penebangan liar. 
 
Jalanpun kian menanjak. Nafas kamipun semakin tersengal. Sendi-sendi otot kaki semakin linu. Gravitasi bumi seakan-akan menarik-narik tubuh kami. Dengan segenap tenaga, kami taklukan gravitasi itu. Sesekali kami berhenti. Mengatur nafas sambil mengumpulka tenaga. Jika sekiranya tenaga kami telah kembali pulih kami langsung melanjutkan perjalanan.begitu seterusnya. Setapak demi setapak kami menerobos semak-semak dan kegelapan malam. Semak-semak begitu basah. Sehingga membasahi celana dan baju kami. Tubuh inipun semakin kedinginan.
Hingga kami sampai diperkebunan kopi. Udara malam semakin menusuk tulang. Tak berapa lama kami pun telah berada diperkebunan teh. Subhanalloh dari perkebunan teh pemandangan semakin menakjubkan. Kami berhenti sejenak. Menikmati pemandangan tersebut sambil mengeluarkan sebagian perbekalan kami. Mata ini sebenarnnya sudah dihinggapi rasa kantuk. Waktu menunjukan pukul 00.30. Perut ini juga uedah meraung-raung kelaparan. Akhirnya kita memutuskan untuk makan-makan bersama. Kamipun secara lahap menikmati makanan.
Kemudian muncul ide, apakah kita mendirikan tenda disisni ataukah melanjutkan perjalanan menuju puncak?. Salah seorang sahabat memberi usul agar lebih baik kita tetap melanjutkan perjalanan dan mendirikan tenda dipuncak saja. Agar nanti pagi tidak kehilangan momentum sunrise. Kamipun sepakat dan tetap melanjutkan perjalanan.
Medan semakin terjal dan ekstrem. Kamipun menerobos kegelapan hutan. Benar-benar lembab sekali. Kerap kali kami menemukan binatang lintah menempel dipepohonan. Aku benar-benar merinding. Sesekali tanpa sengaja pada saat memegang batang pohon aku memagang lintah. Sontak saja aku terkejut dan langsung menghalaunya jauh-jauh. Yang ku takutkan adalah kalau sampai lintah-lintah itu masuk kedalam celana dan menghisap dari dalam celana dan baju bagaimana iiihhh?
Perlahan tapi pasti kami menaklukan angkuhnya tebing. Sekitar 2 jam kami menghabiskan waktu menyusuri tebing yang begitu curam dan licin. Untungnya kami memperoleh kemudahan. Disetiap sudut jalan, kami selalu menemukan penunjuk jalan yang dibuat oleh kelompok pecinta alam. Memang menggelikan sepertinya para pecinta alam itu saling berebut eksistensi karena bayangkan saja, dalam satu pohon bisa terdapat satu sampai 2 penujuk jalan.
Bagi yang sudah melakukan pendakian sebelumnya mungkin perjalanan ini biasa-biasa saja. Tapi bagi aku yang baru pertama kali mendaki Ungaran, tentu menjadi sebuah kendala. Aku merasa puncaknya tidak sampai-sampai alias jauh sekali. Sering aku bertanya apakah ini puncaknya ataukah itu puncaknya?.
Tenda bergoyang….
Subhanalloh akhirnya sekitar pukul 03.00 dini hari kami menginjakan kaki di puncak Ungaran. Hatiku merasa lega dan puas. Akupun berteriak melantunkan puja-puji. Hal itupun juga dilakukan oleh para sahabat-sahabat yang lain. Seakan-akan kami berada ditempat yang paling tinggi. Udara malam itu begitu menusuk tulang. Awan dan kabut terlihat begitu indah. Ternyata yang membuat indah adalah karena terangnya kerlap-kerlip lampu kota sehingga lukisan awan bisa terlihat dikegelapan. Rembulan terlihat redup. Mungkinkah pandangan kami telah tertutup kabut? 
 
Dengan segera mendirikan tenda. Tubuh kami benar-benar kelelahan dan mengigil. Ingin rasanya merebahkan tubuh dan berkemul dengan selimut. Sayang seribu satu sayang hanya ada seorang yang bawa selimut. Kamipun menggunakan selimut itu bertiga. Terdengar gemeretak gigi-gigi beradu salah seorang sahabat yang sedang kedinginan. Kamipun berebut selimut didalam tenda. Selimut yang terbatas membuat kami tarik-menarik didalam tenda. Tendapun bergoyang-goyang karena ulah kami. Benar-benar membuat kami tidak bisa tidur nyenyak. Karpet terasa sangat dingin. Entahlah hingga kami sepertinya kami tidak bisa membedakan apakah tubuh ini telah masuk angin atau tidak. Yang jelas benar-benar dingin.
Menyambut mentari…
Tak terasa pagipun telah menyambut. Tidak terdengar suara azan tetapi ada salah seorang sahabat terbagun. Sungguh tidur yang sangat tidak menyenyakkan. Sepertinya kita tidak tidur saja. Hanya merebahkan badan tetapi tiba-tiba waktupun telah bergulir menuju pagi.
Dengan segenap kekuatan kamipun bangun. Cssss… udara benar-benar menusuk tulang. Mungkin karena udara yang begitu dingin hingga kami lupa menggunakan kompas untuk mencari arah kiblat. Dengan semena-mena kami shalat subuh tanpa memperdulikan arah kiblat. Mentari memang belum muncul. Sebercak terang yang ada di ufuk itu kami jadikan patokan arah kiblat. Aneh memang ternyata ufuk itu adalah arah Timur. Dan kita shalat subuh berjamaah berkiblat kearah timur. 
 
Satu jam berselang mentaripun muncul. Detik demi detik kamipun memperhatikan perubahan-perubahan pada awan yang terlukis indah dan gunung-gunung yang berderet. Ada yang menyebutnya gunung yang kokoh itu adalah gunung Merbabu, Sindoro dan lain-lain. Entahlah yang mana yang benar. Subhanalloh pemandangan sunrise sungguh menakjubkan. Rona langit begitu romantis. Langit laksana kanvas yang dilukis dengan warna merah, jingga, kebiru-biruan. Kabut-kabut pun beriringan. Ia muncul dibalik bukit lalu hilang entah kemana. Tubuh kami terkadang terhampas kabut putih itu. Rasanya dingin dan lembab. Walaupun tidak sedingin malam. Ya. puncak Gunung Ungaran sungguh Indah. to be continued.. (catatan perjalanan pendakian tanggal 7-8 Mei 2012)
Semarang
Zaid bin Tsabit, 9 Mei 2012
Anton

Special persent for
Udhi Catur Nugroho,
Ahmad Eko Prasetyo
Anton

Tidak ada komentar: