Minggu, Juli 01, 2012

Darimana dan kemana kebahagiaan itu pergi?


Adakalanya hari-hari yang kita lalui tidak akan pernah sama rasanya. Mungkin kita merasakan kebahagiaan pada hari ini, dan mungkin juga kita tidak merasakannya pada hari yang sama. Terkadang hari ini kita merasa sangat senang, namun pada kesempatan lain kita merasa sedih. Terkadang kita merasa puas, dan terkadang pula kita merasa kecewa hingga membuat air mata tumpah. Kita tidak bisa meminta harus selalu bahagia dalam keseluruhan hari kita, begitupun dengan kesedihan, kita tidak bisa meminta kesedihan menghiasai seluruh kehidupan. Semuanya dipersilih gantikan tanpa kita mampu menolaknya. Ya, memang begitulah “rasa-rasa” itu hadir menghiasi hidup kita.

Saya tergelitik ingin menulis perihal kebahagiaan. Suatu hal yang menjadi dambaan semua orang. Terlepas dari balutan status yang disandangnya apakah ia seorang presiden, mentri, dosen, rektor, dokter, sastrawan, teknisi, petani, dan lain sebagainya.   Semuanya mendambakan kebahagiaan. Pilihan-pilihan hidup sering kali dialami seseorang ketika ingin melangkah dalam rangka ingin mencapai kebahagiaan. Sehingga banyak orang yang mengejar kebahagiaan itu. Lalu apa sebenarnya kebahagiaan?. Secara beragam banyak orang yang mengartikan kebahagiaan berdasarkan kepahamannya masing-masing. Sebagian ada yang mengatakan bahwa kebahagiaan itu terletak pada kekayaan, kekuasaan, popularitas dan kehormatan. Tetapi banyak juga contoh yang telah menunjukan bahwa setelah itu semua telah didapatkan kebahagiaan ternyata belum juga didapatkan. Contohnya Rockefeller, yang sepanjang hidupnya mengejar kekayaan, namun setelah menjadi miliuner, semuanya itu tak lagi berarti.  Di usianya yang sudah 97 tahun, ia hanya ingin agar dicukupkan hidupnya menjadi 100 tahun.  Ternyata harta yang banyak itu tak mampu sekedar untuk membeli kekurangan yang tiga tahun, karena pada tahun itu juga ia wafat.[1] contoh lainnya yakni para pejabat daerah dan para anggota DPR ‘yang terhormat’ ketika telah dipercaya menjadi pemimpin dan wakil rakyat malah justru banyak yang menghuni penjara. Meninggalkan anak istri mereka dirumah dengan seribu satu cap yang menyedihkan lantaran melakukan suap dan korupsi karena menyalahgunakan kepandaian/kekuasaan yang dimilikinya. Dan juga masih ada sebagian para pejabat yang mungkin setiap hari harus keluar masuk meja hijau untuk membuktikan dimuka pengadilan. Bahkan saking tertekannya, hingga membuatnya menitikan air mata. Serta ada lagi contoh yang sering kita saksikan, yakni kasus perceraian para artis ternama dan seribu satu masalah yang dihadapi mereka, padahal dari segi popularitas mereka telah mendapatkannya. Lalu apa sebenarnya yang dimaksud kebahagiaan itu dari mana datangnya dan kemana perginya?

Dari segi etimologi, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,  kata bahagia terpecah menjadi tiga kata, yaitu bahagia, membahagiakan, dan kebahagiaan. Bahagia berarti beruntung, keadaan atau perasaan senang, tenteram (bebas dari segala yang menyusahkan). Membahagiakan berarti membuat bahagia, sedangkan kebahagiaan berarti perasaan bahagia, kesenangan, ketenteraman hidup (lahir dan batin), keberuntungan, kemujuran yang bersifat lahir dan batin.
Menurut Jalaluddin Rahmat, dalam bukunya Renungan-renungan Sufistik,  mengemukakan pengertian bahagia yang berasal dari kalimah bahasa Arab yaitu sa'adah, yang berarti keberuntungan atau kebahagiaan. Dari beberapa pengertian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan bahagia secara etimologi adalah rasa senang, untung, tenteram dan sejahtera lahir batin.

Sedangkan pengertian bahagia secara terminologi dapat dilihat dalam  berbagai tulisan, akan tetapi pengertian tersebut hampir sebanyak pemikimya. Perkara ini bukanlah sesuatu yang mengherankan karena bahagia itu merupakan hal yang berkaitan dengan perasaaan dan bersifat subjektif.

Menurut al-Ghazali, sebagaimana dikutip oleh Hamka,  bahagia  tiap-tiap sesuatu adalah  bila dirasai nikmat kelezatannya, dan kelezatan itu adalah menurut tabi’at kejadian masing-masing. Sedangkan kelezatan hati adalah  teguh ma’rifat kepada Allah SWT,  karena hati dijadikan untuk mengingat Allah SWT dan itulah kebahagiaan sejati.

Menurut Leo Tolstoy, seorang pujangga Rusia (1818 - 1910) sebagaimana dijelaskan oleh Hamka dalam Tasawuf Moden, bahwa bahagia itu terbagi kepada dua, yaitu bahagia untuk dirinya sendiri dan bahagia untuk bersama, bahagia untuk diri sendiri sulit untuk dicapai karena tidak melalui pergaulan dengan masyarakat. Dengan adanya hubungan bermasyarakat akan timbul rasa untuk saling tolong-menolong antara sesama manusia, karena hubungan antara satu dengan yang lainnya tidak dapat diputuskan. Manusia adalah makhluk yang lemah dan tidak dapat hidup sendiri. Dengan kata lain, manusia dalam mengharungi bahtera kehidupan saling membutuhkan antara satu dengan lainnya. Sedangkan bahagia untuk bersama adalah mencintai orang lain sebagaimana mencintai diri sendiri. Dengan dasar inilah kebahagiaan dapat ditegakkan dalam masyarakat. Setelah adanya kebahagiaan dalam masyarakat, baru sempurna kebahagiaan pada diri sendiri.

Menurut Hamka kebahagiaan ialah sesuatu kesenangan yang dicapai oleh setiap orang menurut kehendak masing-masing, dan kesenangan itu merupakan tujuan setiap orang. Di samping itu, lebih lanjut dikatakan Hamka bahagia yang sempurna tersusun dari beberapa unsur  yaitu:

1.Badan sehat, panca indera cukup
2.Cukup kekayaan; suka menoiong fakir miskin, menunjukkan jasa     baik kepada sesama manusia, sehingga beroleh nama baik
3.Indah sebutan di antara manusia, terpuji dan dermawan, serta     setiawan dan ahli pikir. Tercapai cita-cita dalam hidup.
4.Tajam pikiran, sempurna kepercavaan dalam beragama dan    terhindar dari  kesalahan.

Berdasarkan pemikiran di atas, yang dimaksud Hamka  adalah, urut-urutan untuk mencapai kebahagiaan jiwa, diawali oleh kebahagiaan badan, seperti penglihatan yang terang, pendengaran nyaring, penciuman tajam, perasaan halus dan berbadan sehat. Lalu diikuti oleh unsur-unsur lainnya seperti harta benda yang cukup, indah budi bahasa, cita-cita yang tinggi dan daya pikir yang tajam. Sedangkan menurut Naquib al-Attas, kebahagiaan adalah sesuatu perkara yang mempunyai hubungan kuat antara dunia dan akhirat, ianya terdiri dari tiga peringkat, dua daripadanya melibatkan hidup didunia ini  dan satu lagi diakhirat.[2]  

Nah dari berbagai definisi kebahagiaan dari para pakar tersebut telah memberikan gambaran yang jelas dan kita bisa menarik benang merah bahwa makna kebahagiaan itu adalah sesuatu yang menyenangkan lahir dan batin (dunia dan akhirat), subjektif menurut kehendak masing-masing, dan ketika mampu mengenal Allah. Itu semua merupakan elemen-elemen yang tercangkup dalam kabahagiaan. Selain itu kebahagiaan merupakan sebuah pemberian dari Allah swt yang diberikan kepada manusia tanpa melihat apakah seorang hamba itu kaya atau miskin. Oleh sebab itu karena kebagiaan itu sebuah pemberian dari Allah, maka sebenarnya kebahagiaan yang kita rasakan hingga saat ini adalah sebuah karunia secara vertikal langsung dari Allah. Karena kebahagiaan itu sumbernya dari Allah. Karena bersumbernya dari Allah, tentunya kebahagiaan itu juga pergi atas kehendak Allah. Sangat logis ketika seorang hamba dekat dengan Allah, menjalankan segala perintah-perintahNya, maka seseorang akan merasakan ketentraman/kebahagiaan. Dan begitu juga sebaliknya bagi hamba yang menjauh dari Allah, maka ia sama saja menjauh dari sumber pemberi kebahagiaan itu sendiri. Wallohua’lam.
Semarang 3o Jumi 2012

Catatan Kaki :
[1] Akmal,   “Bahagia     Menurut     Hamka”       (online) http://insistnet.com/ index.php?option=com_ content&view=article&id=123:- bahagia- menurut-hamka &catid= 20:psikologi-islam &Itemid=18
[2] Osman Bakar, “Menjaga Ketenangan Jiwa” (online) http://alpedasi.blogspot.com/2012/01/pengertian-kebahagiaan.html diunduh tanggal 30 Juni 2012

Tidak ada komentar: