Adakalanya
hari-hari yang kita lalui tidak akan pernah sama rasanya. Mungkin kita
merasakan kebahagiaan pada hari ini, dan mungkin juga kita tidak merasakannya
pada hari yang sama. Terkadang hari ini kita merasa sangat senang, namun pada
kesempatan lain kita merasa sedih. Terkadang kita merasa puas, dan terkadang
pula kita merasa kecewa hingga membuat air mata tumpah. Kita tidak bisa meminta
harus selalu bahagia dalam keseluruhan hari kita, begitupun dengan kesedihan,
kita tidak bisa meminta kesedihan menghiasai seluruh kehidupan. Semuanya
dipersilih gantikan tanpa kita mampu menolaknya. Ya, memang begitulah
“rasa-rasa” itu hadir menghiasi hidup kita.
Saya
tergelitik ingin menulis perihal kebahagiaan. Suatu hal yang menjadi dambaan
semua orang. Terlepas dari balutan status yang disandangnya apakah ia seorang
presiden, mentri, dosen, rektor, dokter, sastrawan, teknisi, petani, dan lain
sebagainya. Semuanya mendambakan kebahagiaan. Pilihan-pilihan hidup sering kali
dialami seseorang ketika ingin melangkah dalam rangka ingin mencapai
kebahagiaan. Sehingga banyak orang yang mengejar kebahagiaan itu. Lalu apa
sebenarnya kebahagiaan?. Secara beragam banyak orang yang mengartikan
kebahagiaan berdasarkan kepahamannya masing-masing. Sebagian ada yang mengatakan
bahwa kebahagiaan itu terletak pada kekayaan, kekuasaan, popularitas dan
kehormatan. Tetapi banyak juga contoh yang telah menunjukan bahwa setelah itu
semua telah didapatkan kebahagiaan ternyata belum juga didapatkan. Contohnya
Rockefeller, yang sepanjang hidupnya mengejar kekayaan, namun setelah menjadi
miliuner, semuanya itu tak lagi berarti. Di usianya yang sudah 97 tahun,
ia hanya ingin agar dicukupkan hidupnya menjadi 100 tahun. Ternyata harta
yang banyak itu tak mampu sekedar untuk membeli kekurangan yang tiga tahun,
karena pada tahun itu juga ia wafat.[1] contoh lainnya yakni para pejabat
daerah dan para anggota DPR ‘yang terhormat’ ketika telah dipercaya menjadi
pemimpin dan wakil rakyat malah justru banyak yang menghuni penjara. Meninggalkan
anak istri mereka dirumah dengan seribu satu cap yang menyedihkan lantaran
melakukan suap dan korupsi karena menyalahgunakan kepandaian/kekuasaan yang
dimilikinya. Dan juga masih ada sebagian para pejabat yang mungkin setiap hari
harus keluar masuk meja hijau untuk membuktikan dimuka pengadilan. Bahkan
saking tertekannya, hingga membuatnya menitikan air mata. Serta ada lagi contoh
yang sering kita saksikan, yakni kasus perceraian para artis ternama dan seribu
satu masalah yang dihadapi mereka, padahal dari segi popularitas mereka telah
mendapatkannya. Lalu apa sebenarnya yang dimaksud kebahagiaan itu dari mana
datangnya dan kemana perginya?
Dari
segi etimologi, dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia, kata bahagia terpecah menjadi tiga
kata, yaitu bahagia, membahagiakan, dan kebahagiaan. Bahagia berarti beruntung,
keadaan atau perasaan senang, tenteram (bebas dari segala yang menyusahkan).
Membahagiakan berarti membuat bahagia, sedangkan kebahagiaan berarti perasaan
bahagia, kesenangan, ketenteraman hidup (lahir dan batin), keberuntungan,
kemujuran yang bersifat lahir dan batin.
Menurut
Jalaluddin Rahmat, dalam bukunya Renungan-renungan
Sufistik, mengemukakan pengertian bahagia yang berasal dari
kalimah bahasa Arab yaitu sa'adah,
yang berarti keberuntungan atau kebahagiaan. Dari beberapa pengertian
tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan bahagia secara
etimologi adalah rasa senang, untung, tenteram dan sejahtera lahir batin.
Sedangkan
pengertian bahagia secara terminologi dapat dilihat dalam berbagai
tulisan, akan tetapi pengertian tersebut hampir sebanyak pemikimya. Perkara ini
bukanlah sesuatu yang mengherankan karena bahagia itu merupakan hal yang
berkaitan dengan perasaaan dan bersifat subjektif.
Menurut
al-Ghazali, sebagaimana dikutip oleh Hamka, bahagia tiap-tiap
sesuatu adalah bila dirasai nikmat kelezatannya, dan kelezatan itu adalah
menurut tabi’at kejadian masing-masing. Sedangkan kelezatan hati adalah
teguh ma’rifat kepada Allah SWT, karena hati dijadikan untuk
mengingat Allah SWT dan itulah kebahagiaan sejati.
Menurut
Leo Tolstoy, seorang pujangga Rusia (1818 - 1910) sebagaimana dijelaskan
oleh Hamka dalam Tasawuf Moden, bahwa bahagia itu terbagi kepada dua, yaitu
bahagia untuk dirinya sendiri dan bahagia untuk bersama, bahagia untuk
diri sendiri sulit untuk dicapai karena tidak melalui pergaulan dengan
masyarakat. Dengan adanya hubungan bermasyarakat akan timbul rasa untuk saling
tolong-menolong antara sesama manusia, karena hubungan antara satu dengan yang
lainnya tidak dapat diputuskan. Manusia adalah makhluk yang lemah dan tidak
dapat hidup sendiri. Dengan kata lain, manusia dalam mengharungi bahtera
kehidupan saling membutuhkan antara satu dengan lainnya. Sedangkan bahagia
untuk bersama adalah mencintai orang lain sebagaimana mencintai diri sendiri.
Dengan dasar inilah kebahagiaan dapat ditegakkan dalam masyarakat. Setelah
adanya kebahagiaan dalam masyarakat, baru sempurna kebahagiaan pada diri
sendiri.
Menurut
Hamka kebahagiaan ialah sesuatu kesenangan yang dicapai oleh setiap orang
menurut kehendak masing-masing, dan kesenangan itu merupakan tujuan setiap
orang. Di samping itu, lebih lanjut dikatakan Hamka bahagia yang sempurna
tersusun dari beberapa unsur yaitu:
1.Badan sehat, panca indera
cukup
2.Cukup kekayaan; suka menoiong
fakir miskin, menunjukkan jasa baik kepada sesama
manusia, sehingga beroleh nama baik
3.Indah sebutan di antara
manusia, terpuji dan dermawan, serta setiawan dan ahli
pikir. Tercapai cita-cita dalam hidup.
4.Tajam pikiran, sempurna
kepercavaan dalam beragama dan terhindar dari
kesalahan.
Berdasarkan
pemikiran di atas, yang dimaksud Hamka adalah, urut-urutan untuk mencapai
kebahagiaan jiwa, diawali oleh kebahagiaan badan, seperti penglihatan yang
terang, pendengaran nyaring, penciuman tajam, perasaan halus dan berbadan
sehat. Lalu diikuti oleh unsur-unsur lainnya seperti harta benda yang cukup,
indah budi bahasa, cita-cita yang tinggi dan daya pikir yang tajam. Sedangkan
menurut Naquib al-Attas, kebahagiaan adalah sesuatu perkara yang mempunyai
hubungan kuat antara dunia dan akhirat, ianya terdiri dari tiga peringkat, dua
daripadanya melibatkan hidup didunia ini dan satu lagi
diakhirat.[2]
Nah
dari berbagai definisi kebahagiaan dari para pakar tersebut telah memberikan
gambaran yang jelas dan kita bisa menarik benang merah bahwa makna kebahagiaan
itu adalah sesuatu yang menyenangkan lahir dan batin (dunia dan akhirat),
subjektif menurut kehendak masing-masing, dan ketika mampu mengenal Allah. Itu
semua merupakan elemen-elemen yang tercangkup dalam kabahagiaan. Selain itu
kebahagiaan merupakan sebuah pemberian
dari Allah swt yang diberikan kepada manusia tanpa melihat apakah seorang hamba
itu kaya atau miskin. Oleh sebab itu karena kebagiaan itu sebuah pemberian dari
Allah, maka sebenarnya kebahagiaan yang kita rasakan hingga saat ini adalah
sebuah karunia secara vertikal langsung dari Allah. Karena kebahagiaan itu
sumbernya dari Allah. Karena bersumbernya dari Allah, tentunya kebahagiaan itu
juga pergi atas kehendak Allah. Sangat logis ketika seorang hamba dekat dengan
Allah, menjalankan segala perintah-perintahNya, maka seseorang akan merasakan
ketentraman/kebahagiaan. Dan begitu juga sebaliknya bagi hamba yang menjauh
dari Allah, maka ia sama saja menjauh dari sumber pemberi kebahagiaan itu
sendiri. Wallohua’lam.
Semarang 3o Jumi 2012
Catatan Kaki :
[1]
Akmal, “Bahagia Menurut Hamka” (online) http://insistnet.com/ index.php?option=com_
content&view=article&id=123:- bahagia- menurut-hamka &catid=
20:psikologi-islam &Itemid=18
[2] Osman Bakar, “Menjaga
Ketenangan Jiwa” (online)
http://alpedasi.blogspot.com/2012/01/pengertian-kebahagiaan.html diunduh
tanggal 30 Juni 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar