Senin, Juli 09, 2012

Aku mencintai-mu karena Allah benarkah? (Tanggapan atas Catatan Aan Setyawan S.Hum)

-->
Selalu menarik ketika membahas mengenai cinta, karena semua orang berhak membicarakannya. Tak perduli apakah dia kaya, miskin, berkulit putih atau hitam, memiliki rambut lurus atau keriting. Semuanya berhak berbicara tentang cinta menurut pemahamannya dan “bahasanya” masing-masing.

Menurut saya “cinta” adalah suatu pembahasan yang unik. Bisa dikatakan “cinta” mampu dipahami oleh segala kalangan. Ia tidak seperti barang atau jasa yang bisa didominasi (dimonopoli) oleh kalangan-kalangan pandai tertentu. Singkat kata ia adalah milik semua. Kita mungkin pernah mengalami masa-masa kisah-kasih (cinta “monyet”) waktu Sekolah Dasar (SD), SLTP (Sekolah lanjutan Tingkat Pertama), dan SLTA (Sekolah Lanjutan Tingkat atas / SMA). Sejujurnya saya sendiri masih bingung mengapa sampai ada istilah “cinta monyet” apakah monyet juga punya cinta? Lalu apakah “cinta monyet” hanya sampai masa sekolah saja? Apakah pada masa-masa setelahnya masih berkemungkinan “cinta monyet” terjadi?.

Terkait catatan Mas Aan tentang cinta “Aku mencintaimu karena Allah benarkah?” yang dipost pada tanggal 8 Juli 2012 membuat saya tergelitik untuk membahas masalah cinta. Sulit memang melihat seseorang yang berbuat semata-mata karena cinta kepada Allah atau cinta kepada selain-Nya karena hanya Allah dan dirinya sendiri-lah yang tahu. Bahkan manusia itu sendiri tidak mengerti apakah ia berbuat atas landasan cinta karena Allah ataukah karena yang lainnya. Karena perkara hati ini sulit dipahami. Bukankah kita pernah mendengar cerita tentang seorang pemuda yang dicampakkan Allah di Akhirat, padahal ia telah berkorban dimedan perang dan syahid. Pemuda itu ternyata tidak bersih berkorban semata-mata karena Allah tetapi ada motif lain yang mungkin “samar sekali” yakni dan ia sendiri lalai, yakni motif ingin dikenang oleh manusia.

Cinta karena Allah. Sebuah kalimat yang sering kita dengar dan bahkan sering diungkapkan oleh kita. Kata-kata indah inilah yang menjadi energi bagi kita dalam melakukan segala kebaikan. Tetapi sejatinya kata-kata itu harus kita pahami secara baik dan terus menerus kita gali kedalaman makna-nya. Cinta kepada Allah tentu berdimensi iman, karena tanpa iman berarti kata-kata itu hanyalah omong-kosong belaka, atau istilah zaman sekarangnya it’s just lip service. Posisi cinta berada dibawah keimanan kepada Allah swt. Begitupun benci posisinya berada dibawah sebagaimana perasaan cinta. Tentu konteks cinta dalam catatan ini sesuai dengan catatan Mas Aan.

Secara sederhana saya mengartikan ungkapan “Aku mencintai-mu karena Allah” berarti rasa cinta kita itu sejati-nya harus sesuai dengan apa yang Allah kehendaki sebagaimana terdapat dalam Al-Quran dan Sunnah dan penjelasan para ulama-ulama yang kredibel. Ketentuan-ketentuan Allah dan Rosulnya adalah yang tertinggi dari kepentingan pribadi dirinya sendiri. Dan seseorang bukan karena atas rasa cinta-nya (sebagai fitrah manusia) cendrung terhadap sesuatu, tetapi hanya karena Allah, “Katakanlah Muhammad “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Surah Ali’Imraan Ayat 31 ). Ketika kita mendeklarasikan diri mencintai karena Allah berarti kita juga dituntut untuk mencintai ketentuan-ketentuan dari Rosul-Nya termasuk perkara cinta. Nah sampai disini cinta akan terhubung dengan dimensi iman. Sejauh mana kecintaan kita kepada Allah pasti akan terkait dengan kondisi iman. Sejauh mana kita mencintai Allah dan Rosulnya. Sejauh mana kita yakin kepada Allah dan Rosulnya. Termasuk masalah jodoh.

Ada ungkapan yang mengatakan bahwa “Cinta tak akan pernah salah”, eits tunggu dulu bukankah cinta itu adalah fitrah manusia (humanism) yang Allah berikan kepada makhlukNya. Dan bukankah makhluk yang bernama manusia itu tidak luput dari perbuatan salah dan lupa? Berarti dalam hal ini kita telah berlebihan menganggap cinta yang bersumber dari fitrah manusia itu adalah sesuatu yang “tidak pernah salah”. Padahal cinta itu sendiri banyak sekali tingkatannya. Lalu yang dimaksud cinta itu “tidak pernah salah” adalah cinta pada tingkatan yang mana? Semoga kita menjadi hamba-hamba Allah yang benar dalam menempatkan rasa cinta ini.Dan sungguh luar biasa kalimat “Aku mencintaimu karena Allah” adalah kalimat yang bermuatan tauhid yakni mengesakan Allah saja diatas segala-gala-nya. Intisari atas seluruh ajaran Islam.

Tuhanku, tenggelamkan aku dalam cintaMu
Hingga tak ada satupun yang mengganguku dalam jumpaMu
Tuhanku, bintang gemintang berkelip-kelip
Manusia terlena dalam buai tidur lelap
Pintu pintu istana pun telah rapat
Tuhanku, demikian malam pun berlalau
Dan inilah siang datang menjelang
Aku menjadi resah gelisah
Apakah persembahan malamku, Engkau terima
Hingga aku berhak merengguk bahagia
Ataukah itu Kau tolak, hingga aku dihimpit duka,
Demi kemaha kuasaanMu
inilah yang akan selalau ku lakukan
Selama Kau beri aku kehidupan
Demi kemanusianMu,
Andai Kau usir aku dari pintuMu
Aku tak akan pergi berlalu
Karena cintaku padaMu sepenuh kalbu
(Rabi’ah Al Adawiah) 

Semarang, 09 Juli 2012