Pada tanggal 16 Juli 2012 saya
memiliki kesempatan menghadiri Seminar Nasional Pendidikan bertemakan “Budaya
Sebagai Fondasi Pendidikan Karakter” yang diselenggarakan kampus UNNES tepatnya
di Gedung FIK ruang Audotorium Olahraga. Kuliah umum tersebut menghadirkan
Prof. Dr. Masrukhi, M.Pd Selaku Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan, dan
pembicara tamu Emha Ainun Najib yang dikenal dengan sebutan Cak Nun. Ratusan peserta
yang terdiri atas dosen, mahasiswa, umum, dan tamu undangan-pun telah memadati
ruangan auditorium itu.
Acara dimulai
Pukul 10.00 tepat. Materi pertama disampaikan oleh Prof. Dr. Masrukhi, M.Pd
tentang “Menyoal Desain Pendidikan
karakter” sedangkan materi kedua disampaikan oleh Emha Ainun Najib. Emha memang
tidak membuat makalah khusus namun beliau memaparkan dasar-dasar pengertian
budaya.
Selama kurang
lebih 45 menit pemateri pertama memaparkan banyak teori-teori dari para pakar
mengenai definisi karakter serta dampak-dampak telah terjadi atas teori
tersebut terhadap suatu negara. Dalam makalahnya beliau mengingatkan bahwa
sebagai bangsa Indonesia, kita sangat bersyukur bahwa The Founding Fathers negeri ini telah mawariskan seperangkat
tatanan nilai yang sangat filosofis bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara
yang formulasinya adalah pancasila. Sebagai dasar dan falsafah bangsa,
Pancasila memberikan jalan hidup dengan mengayomi segala perbedan; suku,
budaya, agama. Bahkan melalui bingkai Pancasila, perbedaan-perbedan yang tumbuh
dan berkembang dalam kehidupan masyarakat Indonesia mewujud dalam sebuah mozaik Indah, yang bernama
Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dramma
Mangrwa (keperbedaan yang menyatu dalam satu kesatuan harmoni adalah
kebenaran yang tiada duanya). Pancasila telah mewadahi seluruh tata nilai yang
bersifat universal. Oleh karena itu karakter yang hendaknya dimiliki oleh warga
negara Indonesia adalah karakter Pancasila, yang bersendikan ketuhanan,
kemanusiaan, kebagsaan, demokrasi, dan kesejahtraan sosial.
Kemudian beliau
juga berpendapat bahwa dampak globalisasi menawarkan dengan efektif ideologi
pragmatisme, materialisme, feodalisme, kapitalisme, individualisme,
konsumerisme, dan sejenisnya, melalui berbagai instrumen modernisasi. Tanpa terasa
pun masyarakat kita sangat masif akan ideologi-ideologi tersebut, sehingga semakin
menjauh dari kepribadian Pancasila. Perilaku masyarakat mengalami
degradasi kualitas hidup yang sungguh
luar biasa. Perilaku-perilaku santun, toleran, solider, kepedulian sosial,
gotong royong, kerja keras, tanggung jawab, dan semacamnya sebagai atribut good citizenship, tergantikan oleh
budaya barbarian; berupa kecurigaan, egoisme, anarkisme, korupsi, dan semacamnya.
Lebih lanjut
beliau mengatakan bahwa hal-hal semacam ini ditangkap oleh pandangan orang-orang
asing mengenai kita, mengenai Indonesia. Mereka cendrung berpandangan apriori
terhadap Indonesia, sebagai negara yang miskin, bodoh, kumuh, terbelakang,
tidak aman dan sebagainya. Berbagai atribut negatif ditimpakan pada msyarakat
Indonesia. (lebih lengkap lihat makalah, halaman 5-6)
Meskipun keadaannya
demikian, beliau menghimbau kepada peserta yang hadir bahwa kita masih punya
modal bersa untuk melanjutkan pendidikan karakter. Modal tersebut adalah optimisme
dan kebnggaan sebagai bangsa Indonesia. Jikapun generasi sekarang ini belum
sempat untuk menata diri memainkan peran luhur dalam menjalankan amanah akibat
konflik-konflik kepentingan yang begitu tajam, atau terlalu mengedepankan
kepentingan diri dan kelompoknya dengan menghiananti amanah bangsa, kita masih
optimis bahwa generasi sesudahnya adalah kaum muda, para pelajar dan masyarakat
yang saat ini sedang menempa dirinya di sekolah dan kampus-kampus, untu tumbuh
dan tumbuh mejadi sosok yang paripurna. Beliau juga menunjukan hasil survei
yang telah dilakukannya disekitar kehidupan masyarakat, ditunjukan bahwa adanya
energi yang dahsyat pada diri mereka (masyarakat-Pen). Energi itu bernama collective consciousness.
Collective consciousness
adalah kesadaran bersama dikalangan masyarakat yang digerakan oleh rasa simpati
bahwa mereka harus bersatu-padu. Energi besar ini yang akan menyebabkan betapa
gaagsan dan opini yang semula hanya dimiliki oleh sekelompok kecil masyarakat
dalam waktu yang cepat menajdi gagasan dan opini bersama seluruh masyarakat. (lebih
lengkapnya Lihat Makalah halaman 7)
Dalam menerapkan
pendidikan karakter, tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, terlebih lagi
Indonesia sebagai negara besar, masyarakatnya plural dari Sabang hingga Merauke
yang sudah tentu kebutuhannya bermacam-macam. Ditambah kondisi politik yang
didalam negeri yang penuh dengan intrik, sehingga menciptakan kondisi yang kurang
kondusif bagi pendidikan karakter.
Solusi
Dengan melihat
kondisi demikian, menurut Guru Besar Etika Kewarganegaraan ini seharusnya
desain pendidikan karakter memuat prinsip-prinsip antara lain; Pertama,
nilai-nilai Pancasila menjadi dasar bagi proses-proses pendidikan karakter di
Indonesia (character education based on the values of Pancasila). Kedua, spirit
pendidikan karakter yang berbasiskan Pancasila haruslah merupakan collective consciousness. Ketiga,
sejalan dengan derasnya arus informasiberagai media, proses pendidikan karakter
haruslah merupakan gerakan bersama seluruh elemen masyarakat. Intitusi pendidikan
memang memegang peran strategis untuk melaksanakannya. Akan tetapi di
masyarakat, keteladanan harus selalu ditunjukkan oleh para tokoh yang menjadi
panutan masyarakat. Media-pun harus selalu diberdayakan sedemikian rupa agar
selalu memiliki muatan-muatan pendidikan bagi masyarakat, dan tidak semata
terkooptasi oleh kapitalisme yang menjadi mesin keuntungan bagi produsen.
Setelah pemateri
pertama selesai memaparkan makalahya, acara dilanjutkan dengan sesi tanya
jawab. Penanya dalam sesi pertama terdiri dari dosen dan mahasiswa. Suasana
terbuka dan demokratis sungguh terbagun dalam seminar ini. Seorang dosen yang
menjadi peserta secara terbuka mengkritik budaya-budaya korup yang nampak
lingkungan-lingkungan kampus, begitu-pun para mahasiswa juga aktif bertanya dan
mengkritik sikap dosen dalam mengajar. Suasana saling koreksi itu berjalan
dengan baik.
Celoteh Cak Nun
Setelah tanya
jawab selesai, acara dilanjutkan dengan penyampaian materi oleh Emha Ainun
Najib pada sesi kedua. Pada sesi kedua ini beliau memang tidak memberikan
makalahnya, namun beliau mengajak kepada seluruh peserta untuk mengawali
memahami persoalan dengan cara-cara sederhana terlebih dahulu, memahami istilah
demi istilah yang telah populer dalam masyarakat. Hal ini menurut beliau
penting agar tidak terbawa arus yang belum kita mengerti. Bahkan sambil
berseloroh beliau mengkritik dan mempertanyakan apakah bisa kebudayaan
dijadikan fondasi?. Ibarat membuat rumah fondasi adalah sesuatu yang harus ajeg tidak berubah dan mengalami
pergeseran, sedangkan budaya adalah sesuatu yang berubah (dinamis) lalu
bagaimana bisa pendidikan karakter bersandar kepada budaya?
Kemudian beliau
juga menyampaikan bahwa dalam masyarakat kita masih memisah-misahkan antara
intelektualitas (benar-salah), moralitas (baik-buruk), dan estetika
(indah-tidak indah). Intelektualitas itu
hanya berada didunia akademisi (kampus, sekolah dsb), moralitas itu hanya diurus
oleh lembaga keagamaan, dan estetika diurusi oleh seniman. Menurut beliau
pemisahan-pemisahan seperti itu keliru. Sambil berdialog dengan perserta
seminar, beliau meminta tanggapan kepada para peserta bahwa jika ada seseorang dosen
yang akan dikukuhkan sebagai doktor namun ternyata sehari sebelumnya ia
melakukan hubunga gelap (selingkuh) untuk konteks saat ini apakah dosen itu bisa
dikatakan bersalah? Apakah cocok dosen tersebut dikukuhkan sebagai doktor?. Ada
yang menjawab batal dan ada juga yang menjawab tidak, namun kebanyakan menjawab
bahwa gelar tersebut batal disematkan kepada dosen tersebut.
Nah menurut
beliau seharusnya dalam desain akademis ketiga konsep itu terintegrasi dan
saling terkait satu dengan yang lainnya. Namun kenyataan-nya desain akademis
yang umum saat ini justru menghilangkan tentang Tuhan dan moral.
Lebih lanjut
beliau mengatakan perihal kebudayaan, menurutnya budaya adalah kata kerja bukan
kata benda sehingga jangan jadikan budaya sebagai fondasi. Yang penting adalah
filosofi budaya-nya. Karena dalam setiap masyarakat memiliki ekspresi yang
berbeda-beda dan selalu berubah.
Kemudian terkait
dengan arus media beliau juga menyinggung mengenai acara-acara keagamaan
ditelevisi bahwa secara umum acara-acara tersebut tersebut kental dengan muatan
kapitalisme sehingga sangat rapuh. Pesan-pesan moral dimanfaatkan para
kapitalis untuk kepentingan pragmatis belaka.
Dampak-dampak
dari pemisahan antara inteletualitas, moralitas dan estetika, menurutnya menjalar
ke berbagai aspek lain dalam kehidupan manusia yang merusak masyarakat. Beliau mengilustrasikan
misalkan; ada seseorang pengendara sepeda motor yang melihat sebuah kecelakaan
didepan mata-nya. Tetapi si pengendara motor itu belalu saja tidak
menghiraukan. Apakah bisa dikatakan si pengendara itu salah? Tentu tidak secara
hukum karena memang dia tidak merugikan siap-siapa tetapi cacat secara moral.
Beliau pun
berharap kepada para penggagas acara seminar semoga acara yang dilaksanakan
pada hari ini (16/07/2012) benar-benar timbul dari rasa kepedulian yang
sungguh-sungguh bukan hanya terbawa tren. Karena bisa dipastikan usaha yang
hanya berlandaskan tren tidak akan membawa apa-apa alas hanya seremonial
belaka. Dalam hal ini beliau juga memberi masukan agar kampus lebih terbuka
lagi serta harus sering-sering belajar kepada sistem-sistem pendidikan unggul yang
ada dalam hal penanaman karakter.
Pada saat-saat
terakhir sesi kedua ini beliau berpendapat bahwa Indonesia dari bentuk
bentangan fisik wilayahnya saja seperti perahu dan didalam perahu itu terdiri
dari berbagai beragam manusia. Menurutnya pola-nya mirip seperti perahu-nya Nabi
Nuh sehingga dimasa yang akan datang akan memberikan keselamatan terhadap isi
yang beragam didalamn-nya. Dalam filosofi hurup Arab meurutnya Indonesia itu
mirip huruf “baa” dimana dengan bentuk atau model seperti itu Indonesia cocok
sebagai pemangku dunia, karakter bangsa Indoensia itu bukan penjajah tapi
pengasuh. Jika melihat raja-raja di Jawa mereka senang menngunakan gelar “Mangku”.
Kemudian beliau
juga berpendapat bahwa sejatinya institusi pendidikan tida hanya membekali dari
aspek taklim (pengetahuan) saja, namun juga dari aspek tarbiah-nya
(pendidikan). Berilah kepahaman kepada peserta didik tentang nikmatnya berbuat
baik secara langsung. Hal ini penting untuk membentuk karakter yang bermoral.
Bagaimana bisa mengajak seseorang untuk bermoral sedangkan ia tidak diarahkan
dan dikasih tahu nikmatnya hidup dengan berlandaskan moral?.
Semarang, 17 Juli 2012
Anton
Special for Rifka Pratama yang
udah ngajak ikut Seminar. Thanks brooo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar