Selasa, Juli 17, 2012

Catatan dari UNNES

Pada tanggal 16 Juli 2012 saya memiliki kesempatan menghadiri Seminar Nasional Pendidikan bertemakan “Budaya Sebagai Fondasi Pendidikan Karakter” yang diselenggarakan kampus UNNES tepatnya di Gedung FIK ruang Audotorium Olahraga. Kuliah umum tersebut menghadirkan Prof. Dr. Masrukhi, M.Pd Selaku Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan, dan pembicara tamu Emha Ainun Najib yang dikenal dengan sebutan Cak Nun. Ratusan peserta yang terdiri atas dosen, mahasiswa, umum, dan tamu undangan-pun telah memadati ruangan auditorium itu.
Acara dimulai Pukul 10.00 tepat. Materi pertama disampaikan oleh Prof. Dr. Masrukhi, M.Pd tentang “Menyoal  Desain Pendidikan karakter” sedangkan materi kedua disampaikan oleh Emha Ainun Najib. Emha memang tidak membuat makalah khusus namun beliau memaparkan dasar-dasar pengertian budaya.
Selama kurang lebih 45 menit pemateri pertama memaparkan banyak teori-teori dari para pakar mengenai definisi karakter serta dampak-dampak telah terjadi atas teori tersebut terhadap suatu negara. Dalam makalahnya beliau mengingatkan bahwa sebagai bangsa Indonesia, kita sangat bersyukur bahwa The Founding Fathers negeri ini telah mawariskan seperangkat tatanan nilai yang sangat filosofis bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang formulasinya adalah pancasila. Sebagai dasar dan falsafah bangsa, Pancasila memberikan jalan hidup dengan mengayomi segala perbedan; suku, budaya, agama. Bahkan melalui bingkai Pancasila, perbedaan-perbedan yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat Indonesia  mewujud dalam sebuah mozaik Indah, yang bernama Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dramma Mangrwa (keperbedaan yang menyatu dalam satu kesatuan harmoni adalah kebenaran yang tiada duanya). Pancasila telah mewadahi seluruh tata nilai yang bersifat universal. Oleh karena itu karakter yang hendaknya dimiliki oleh warga negara Indonesia adalah karakter Pancasila, yang bersendikan ketuhanan, kemanusiaan, kebagsaan, demokrasi, dan kesejahtraan sosial.
Kemudian beliau juga berpendapat bahwa dampak globalisasi menawarkan dengan efektif ideologi pragmatisme, materialisme, feodalisme, kapitalisme, individualisme, konsumerisme, dan sejenisnya, melalui berbagai instrumen modernisasi. Tanpa terasa pun masyarakat kita sangat masif akan ideologi-ideologi tersebut, sehingga semakin menjauh dari kepribadian Pancasila. Perilaku masyarakat mengalami degradasi  kualitas hidup yang sungguh luar biasa. Perilaku-perilaku santun, toleran, solider, kepedulian sosial, gotong royong, kerja keras, tanggung jawab, dan semacamnya sebagai atribut good citizenship, tergantikan oleh budaya barbarian; berupa kecurigaan, egoisme, anarkisme, korupsi, dan semacamnya.
Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa hal-hal semacam ini ditangkap oleh pandangan orang-orang asing mengenai kita, mengenai Indonesia. Mereka cendrung berpandangan apriori terhadap Indonesia, sebagai negara yang miskin, bodoh, kumuh, terbelakang, tidak aman dan sebagainya. Berbagai atribut negatif ditimpakan pada msyarakat Indonesia. (lebih lengkap lihat makalah, halaman 5-6)
Meskipun keadaannya demikian, beliau menghimbau kepada peserta yang hadir bahwa kita masih punya modal bersa untuk melanjutkan pendidikan karakter. Modal tersebut adalah optimisme dan kebnggaan sebagai bangsa Indonesia. Jikapun generasi sekarang ini belum sempat untuk menata diri memainkan peran luhur dalam menjalankan amanah akibat konflik-konflik kepentingan yang begitu tajam, atau terlalu mengedepankan kepentingan diri dan kelompoknya dengan menghiananti amanah bangsa, kita masih optimis bahwa generasi sesudahnya adalah kaum muda, para pelajar dan masyarakat yang saat ini sedang menempa dirinya di sekolah dan kampus-kampus, untu tumbuh dan tumbuh mejadi sosok yang paripurna. Beliau juga menunjukan hasil survei yang telah dilakukannya disekitar kehidupan masyarakat, ditunjukan bahwa adanya energi yang dahsyat pada diri mereka (masyarakat-Pen). Energi itu bernama collective consciousness.
Collective consciousness adalah kesadaran bersama dikalangan masyarakat yang digerakan oleh rasa simpati bahwa mereka harus bersatu-padu. Energi besar ini yang akan menyebabkan betapa gaagsan dan opini yang semula hanya dimiliki oleh sekelompok kecil masyarakat dalam waktu yang cepat menajdi gagasan dan opini bersama seluruh masyarakat. (lebih lengkapnya Lihat Makalah halaman 7)
Dalam menerapkan pendidikan karakter, tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, terlebih lagi Indonesia sebagai negara besar, masyarakatnya plural dari Sabang hingga Merauke yang sudah tentu kebutuhannya bermacam-macam. Ditambah kondisi politik yang didalam negeri yang penuh dengan intrik, sehingga menciptakan kondisi yang kurang kondusif bagi pendidikan karakter.
Solusi
Dengan melihat kondisi demikian, menurut Guru Besar Etika Kewarganegaraan ini seharusnya desain pendidikan karakter memuat prinsip-prinsip antara lain; Pertama, nilai-nilai Pancasila menjadi dasar bagi proses-proses pendidikan karakter di Indonesia (character education based on the values of Pancasila). Kedua, spirit pendidikan karakter yang berbasiskan Pancasila haruslah merupakan collective consciousness. Ketiga, sejalan dengan derasnya arus informasiberagai media, proses pendidikan karakter haruslah merupakan gerakan bersama seluruh elemen masyarakat. Intitusi pendidikan memang memegang peran strategis untuk melaksanakannya. Akan tetapi di masyarakat, keteladanan harus selalu ditunjukkan oleh para tokoh yang menjadi panutan masyarakat. Media-pun harus selalu diberdayakan sedemikian rupa agar selalu memiliki muatan-muatan pendidikan bagi masyarakat, dan tidak semata terkooptasi oleh kapitalisme yang menjadi mesin keuntungan bagi produsen.
Setelah pemateri pertama selesai memaparkan makalahya, acara dilanjutkan dengan sesi tanya jawab. Penanya dalam sesi pertama terdiri dari dosen dan mahasiswa. Suasana terbuka dan demokratis sungguh terbagun dalam seminar ini. Seorang dosen yang menjadi peserta secara terbuka mengkritik budaya-budaya korup yang nampak lingkungan-lingkungan kampus, begitu-pun para mahasiswa juga aktif bertanya dan mengkritik sikap dosen dalam mengajar. Suasana saling koreksi itu berjalan dengan baik. 
Celoteh Cak Nun
Setelah tanya jawab selesai, acara dilanjutkan dengan penyampaian materi oleh Emha Ainun Najib pada sesi kedua. Pada sesi kedua ini beliau memang tidak memberikan makalahnya, namun beliau mengajak kepada seluruh peserta untuk mengawali memahami persoalan dengan cara-cara sederhana terlebih dahulu, memahami istilah demi istilah yang telah populer dalam masyarakat. Hal ini menurut beliau penting agar tidak terbawa arus yang belum kita mengerti. Bahkan sambil berseloroh beliau mengkritik dan mempertanyakan apakah bisa kebudayaan dijadikan fondasi?. Ibarat membuat rumah fondasi adalah sesuatu yang harus ajeg tidak berubah dan mengalami pergeseran, sedangkan budaya adalah sesuatu yang berubah (dinamis) lalu bagaimana bisa pendidikan karakter bersandar kepada budaya?
Kemudian beliau juga menyampaikan bahwa dalam masyarakat kita masih memisah-misahkan antara intelektualitas (benar-salah), moralitas (baik-buruk), dan estetika (indah-tidak indah).  Intelektualitas itu hanya berada didunia akademisi (kampus, sekolah dsb), moralitas itu hanya diurus oleh lembaga keagamaan, dan estetika diurusi oleh seniman. Menurut beliau pemisahan-pemisahan seperti itu keliru. Sambil berdialog dengan perserta seminar, beliau meminta tanggapan kepada para peserta bahwa jika ada seseorang dosen yang akan dikukuhkan sebagai doktor namun ternyata sehari sebelumnya ia melakukan hubunga gelap (selingkuh) untuk konteks saat ini apakah dosen itu bisa dikatakan bersalah? Apakah cocok dosen tersebut dikukuhkan sebagai doktor?. Ada yang menjawab batal dan ada juga yang menjawab tidak, namun kebanyakan menjawab bahwa gelar tersebut batal disematkan kepada dosen tersebut.
Nah menurut beliau seharusnya dalam desain akademis ketiga konsep itu terintegrasi dan saling terkait satu dengan yang lainnya. Namun kenyataan-nya desain akademis yang umum saat ini justru menghilangkan tentang Tuhan dan moral.
Lebih lanjut beliau mengatakan perihal kebudayaan, menurutnya budaya adalah kata kerja bukan kata benda sehingga jangan jadikan budaya sebagai fondasi. Yang penting adalah filosofi budaya-nya. Karena dalam setiap masyarakat memiliki ekspresi yang berbeda-beda dan selalu berubah.
Kemudian terkait dengan arus media beliau juga menyinggung mengenai acara-acara keagamaan ditelevisi bahwa secara umum acara-acara tersebut tersebut kental dengan muatan kapitalisme sehingga sangat rapuh. Pesan-pesan moral dimanfaatkan para kapitalis untuk kepentingan pragmatis belaka.
Dampak-dampak dari pemisahan antara inteletualitas, moralitas dan estetika, menurutnya menjalar ke berbagai aspek lain dalam kehidupan manusia yang merusak masyarakat. Beliau mengilustrasikan misalkan; ada seseorang pengendara sepeda motor yang melihat sebuah kecelakaan didepan mata-nya. Tetapi si pengendara motor itu belalu saja tidak menghiraukan. Apakah bisa dikatakan si pengendara itu salah? Tentu tidak secara hukum karena memang dia tidak merugikan siap-siapa tetapi cacat secara moral.
Beliau pun berharap kepada para penggagas acara seminar semoga acara yang dilaksanakan pada hari ini (16/07/2012) benar-benar timbul dari rasa kepedulian yang sungguh-sungguh bukan hanya terbawa tren. Karena bisa dipastikan usaha yang hanya berlandaskan tren tidak akan membawa apa-apa alas hanya seremonial belaka. Dalam hal ini beliau juga memberi masukan agar kampus lebih terbuka lagi serta harus sering-sering belajar kepada sistem-sistem pendidikan unggul yang ada dalam hal penanaman karakter.
Pada saat-saat terakhir sesi kedua ini beliau berpendapat bahwa Indonesia dari bentuk bentangan fisik wilayahnya saja seperti perahu dan didalam perahu itu terdiri dari berbagai beragam manusia. Menurutnya pola-nya mirip seperti perahu-nya Nabi Nuh sehingga dimasa yang akan datang akan memberikan keselamatan terhadap isi yang beragam didalamn-nya. Dalam filosofi hurup Arab meurutnya Indonesia itu mirip huruf “baa” dimana dengan bentuk atau model seperti itu Indonesia cocok sebagai pemangku dunia, karakter bangsa Indoensia itu bukan penjajah tapi pengasuh. Jika melihat raja-raja di Jawa mereka senang menngunakan gelar “Mangku”.
Kemudian beliau juga berpendapat bahwa sejatinya institusi pendidikan tida hanya membekali dari aspek taklim (pengetahuan) saja, namun juga dari aspek tarbiah-nya (pendidikan). Berilah kepahaman kepada peserta didik tentang nikmatnya berbuat baik secara langsung. Hal ini penting untuk membentuk karakter yang bermoral. Bagaimana bisa mengajak seseorang untuk bermoral sedangkan ia tidak diarahkan dan dikasih tahu nikmatnya hidup dengan berlandaskan moral?.
Semarang, 17 Juli 2012
Anton
Special for Rifka Pratama yang udah ngajak ikut Seminar. Thanks brooo

Tidak ada komentar: