....................
Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang tak
Kau kehendaki adanya
Engkau lebih suka membangun
Jalan raya dan pagar besi
Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang
Dirontokkan di bumi kami
sendiri
( dikutip
dari puisi berjudul “Bunga Dan Tembok” Karya Wiji Tukul)
Sepanjang bulan
Januari hingga Mei 1998, sejarah mencatat bahwa
telah terjadi demonstrasi secara massif yang dilakukan oleh mahasiswa di
seluruh pelosok negeri. Mereka menuntut
agar pemerintah Soeharto turun dari jabatannya. Tuntutan tersebut dilatar
belakangi oleh krisis politik dan ekonomi yang menyengsarakan rakyat.
Di
Ibukota, tanggal 12 Mei 1998 mahasiswa Universitas Trisakti melakukan aksi
damai dari kampus menuju Gedung Nusantara. Ketika sampai di tempat, mereka
berhadapan dengan aparat keamanan yang telah berjaga-jaga di sana dengan
persenjataan lengkap. Negosiasi pun berlangsung antara mahasiswa dengan aparat
keamanan. Tetapi tidak ada kesepakatan antara kedua belah pihak. Para
mahasiswa pun bergerak mundur, diikuti bergerak majunya aparat keamanan.
Mahasiswa dan aparat kemanan terprovokasi. Dengan senapan terjinjing, aparat keamanan
mulai menembakkan peluru ke arah mahasiswa. Para mahasiswa panik dan bercerai
berai, sebagian besar berlindung di universitas Trisakti. Namun aparat keamanan
terus melakukan penembakan. Kejadian ini menewaskan empat mahasiswa, puluhan
lainnya luka. Mereka yang tewas adalah Elang Mulia Lesmana (1978 - 1998), Heri Hertanto
(1977 - 1998), Hafidin Royan
(1976 - 1998), dan Hendriawan
Sie (1975
- 1998).
Mereka gugur tertembak di dalam kampus, terkena peluru tajam di tempat-tempat
vital seperti kepala,
tenggorokan,
dan dada.
Keempat putra bangsa itupun pulang keharibaan-Nya. Peristiwa itu sering dikenal
sebagai “Tragedi Trisakti”. Dan keempat putra bangsa itu dikenang sebagai
Pahlawan Reformasi.
Mereka yang gugur saat itu adalah mahasiswa
berusia rata-rata berusia 20-23 tahun. Dan tidak bisa dipungkiri, bahwa kampus
turut membesarkan mereka dalam memahami realita disekitarnya. Realita tentang
angkuhnya sebuah rezim yang selama dari 3 dekade berdiri tegak. Rezim yang
dengan segala upaya membungkam arspirasi masyarakat, termasuk aspirasi mereka
sebagai mahasiswa.
Hampir selama 20 tahun hingga tahun 1998
aspirasi mahasiswa di bungkam dengan sederet kebijakan-kebijakan yang
menyubordinasi mereka. Dengan alasan “pembangunan” dan “stabilitas nasional”
daya kritis mereka dimatikan secara sistematis. Dengan mengatakan gerakan
mahasiswa sudah “abnormal”, gerakan mahasiswa pun dilumpuhkan. Mereka diarahkan
agar serius “belajar” di kampus, tidak perlu berpolitik atau mungkin tepatnya
tidak perlu menentang sederet kebijakan pemerintah (Orde Baru). Mungkin
pemerintah waktu itu beranggapan bahwa dengan mengutamakan pembangunan secara
fisik, negara akan menjadi maju, Indonesia akan menjadi negara yang unggul.
Terbuktikah? Ternyata tidak!. Seorang Pengamat Orde Baru Philippe C. Schmitter
(1993) mengungkapkan dengan satir bahwa
“selama 32 tahun Orde Baru berkuasa, negara seolah dalam keadan stabil, namun
stabilitas yang dibangun bersifat semu”. Dan ternyata tepat apa yang
dikatakannya, pasca Orde Baru, konflik-konflik horizontal menyeruak
kepermukaan.
Belajar dari Tragedi Trisakti bahwa
keangkuhan membawa kehinaan, kedustaan bagaimanapun indah polesannya akan tetap
hancur. Keempat putra bangsa yang gugur itu kini memang telah tiada. Namun
semangat mereka, idealisme mereka akan tetap terkenang dan memberikan inspirasi
kepada generasi-generasi sesudahnya.
Mereka (para mahasiswa) adalah aset bangsa.
Di tangan merekalah nasib bangsa ini dimasa yang akan datang. Sebagaimana dalam
puisi Wiji Tukul, mereka adalah “Bunga”. Mereka harus dipelihara dengan
sebaik-baiknya.
Kini, di era globalisasi, mereka menghadapi
tantangan serius. Tantangan itu justru lebih berat dan berpotensi melumpuhkan
secara perlahan-lahan. Tantangan itu berasal dari dunia pendidikan kita sendiri
yang sedang di persimpangan jalan. Dunia pendidikan di negeri ini semakin mahal
dan sulit dijangkau masyarakat kecil. Pendidikan di negeri ini cendrung
berpihak kepada orang-orang kaya. Dengan kata lain pendidikan di negeri ini
cendrung kapitalistik.
Oleh sebab itu tidak perlu heran jika kurikulum pendidikan di
berbagai universitas disesuaikan
dengan kepentingan kapitalis. Mahasiswa tidak diberi hak untuk memilih karir, bidang studi dan disiplin
ilmu yang mereka kehendaki yang berhubungan dengan keahlian dan kebutuhan
mereka. Di tambah otoritarianisme orang tua semakin menyuburkan kondisi
tersebut. Alhasil setelah lulus banyak sarjana yang kehilangan orientasi
tentang apa yang harus dilakukannya dengan selembar ijazahnya. Mereka mungkin
mendapatkan pekerjaan, tetapi pekerjaan mereka bersifat mekanis yakni sebatas
sebagai “alat” yang menghasilkan produk. Keadaan itu bukan menstimulasinya agar
bekerja dengan hasil terbaik sesuai dengan keinginanya.
Ya, itulah realita yang harus kita hadapi. Entah
lima, sepuluh, dua puluh tahun mendatang dengan sisitem pendidikan seperti ini,
akan lahirkah mahasiswa-mahasiwa yang memiliki nilai juang tinggi dan peduli
terhadap nasib bangsanya? Ataukah dimasa mendatang mental tersebut hanya bisa di nikmati lewat
cerita-cerita sejarah saja?.
Semarang, 3 Mei 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar