Minggu, Mei 12, 2013

Mei: Antara Tragedi dan Harapan



....................
Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang tak
Kau kehendaki adanya
Engkau lebih suka membangun
Jalan raya dan pagar besi
Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang
Dirontokkan di bumi kami sendiri
( dikutip dari puisi berjudul “Bunga Dan Tembok” Karya Wiji Tukul)

Sepanjang bulan Januari hingga Mei 1998, sejarah mencatat bahwa  telah terjadi demonstrasi secara massif yang dilakukan oleh mahasiswa di seluruh pelosok negeri. Mereka  menuntut agar pemerintah Soeharto turun dari jabatannya. Tuntutan tersebut dilatar belakangi oleh krisis politik dan ekonomi yang menyengsarakan rakyat.

         Di Ibukota, tanggal 12 Mei 1998 mahasiswa Universitas Trisakti melakukan aksi damai dari kampus menuju Gedung Nusantara. Ketika sampai di tempat, mereka berhadapan dengan aparat keamanan yang telah berjaga-jaga di sana dengan persenjataan lengkap. Negosiasi pun berlangsung antara mahasiswa dengan aparat keamanan. Tetapi tidak ada kesepakatan antara kedua belah pihak. Para mahasiswa pun bergerak mundur, diikuti bergerak majunya aparat keamanan. Mahasiswa dan aparat kemanan terprovokasi. Dengan senapan terjinjing, aparat keamanan mulai menembakkan peluru ke arah mahasiswa. Para mahasiswa panik dan bercerai berai, sebagian besar berlindung di universitas Trisakti. Namun aparat keamanan terus melakukan penembakan. Kejadian ini menewaskan empat mahasiswa, puluhan lainnya luka. Mereka yang tewas adalah Elang Mulia Lesmana (1978 - 1998), Heri Hertanto (1977 - 1998), Hafidin Royan (1976 - 1998), dan Hendriawan Sie (1975 - 1998). Mereka gugur tertembak di dalam kampus, terkena peluru tajam di tempat-tempat vital seperti kepala, tenggorokan, dan dada. Keempat putra bangsa itupun pulang keharibaan-Nya. Peristiwa itu sering dikenal sebagai “Tragedi Trisakti”. Dan keempat putra bangsa itu dikenang sebagai Pahlawan Reformasi.
       Mereka yang gugur saat itu adalah mahasiswa berusia rata-rata berusia 20-23 tahun. Dan tidak bisa dipungkiri, bahwa kampus turut membesarkan mereka dalam memahami realita disekitarnya. Realita tentang angkuhnya sebuah rezim yang selama dari 3 dekade berdiri tegak. Rezim yang dengan segala upaya membungkam arspirasi masyarakat, termasuk aspirasi mereka sebagai mahasiswa.
      Hampir selama 20 tahun hingga tahun 1998 aspirasi mahasiswa di bungkam dengan sederet kebijakan-kebijakan yang menyubordinasi mereka. Dengan alasan “pembangunan” dan “stabilitas nasional” daya kritis mereka dimatikan secara sistematis. Dengan mengatakan gerakan mahasiswa sudah “abnormal”, gerakan mahasiswa pun dilumpuhkan. Mereka diarahkan agar serius “belajar” di kampus, tidak perlu berpolitik atau mungkin tepatnya tidak perlu menentang sederet kebijakan pemerintah (Orde Baru). Mungkin pemerintah waktu itu beranggapan bahwa dengan mengutamakan pembangunan secara fisik, negara akan menjadi maju, Indonesia akan menjadi negara yang unggul. Terbuktikah? Ternyata tidak!. Seorang Pengamat Orde Baru Philippe C. Schmitter (1993) mengungkapkan dengan satir  bahwa “selama 32 tahun Orde Baru berkuasa, negara seolah dalam keadan stabil, namun stabilitas yang dibangun bersifat semu”. Dan ternyata tepat apa yang dikatakannya, pasca Orde Baru, konflik-konflik horizontal menyeruak kepermukaan.
    Belajar dari Tragedi Trisakti bahwa keangkuhan membawa kehinaan, kedustaan bagaimanapun indah polesannya akan tetap hancur. Keempat putra bangsa yang gugur itu kini memang telah tiada. Namun semangat mereka, idealisme mereka akan tetap terkenang dan memberikan inspirasi kepada generasi-generasi sesudahnya.
Mereka (para mahasiswa) adalah aset bangsa. Di tangan merekalah nasib bangsa ini dimasa yang akan datang. Sebagaimana dalam puisi Wiji Tukul, mereka adalah “Bunga”. Mereka harus dipelihara dengan sebaik-baiknya.
       Kini, di era globalisasi, mereka menghadapi tantangan serius. Tantangan itu justru lebih berat dan berpotensi melumpuhkan secara perlahan-lahan. Tantangan itu berasal dari dunia pendidikan kita sendiri yang sedang di persimpangan jalan. Dunia pendidikan di negeri ini semakin mahal dan sulit dijangkau masyarakat kecil. Pendidikan di negeri ini cendrung berpihak kepada orang-orang kaya. Dengan kata lain pendidikan di negeri ini cendrung kapitalistik.
   Oleh sebab itu tidak perlu heran jika kurikulum pendidikan di berbagai universitas disesuaikan dengan kepentingan kapitalis. Mahasiswa tidak diberi hak untuk memilih karir, bidang studi dan disiplin ilmu yang mereka kehendaki yang berhubungan dengan keahlian dan kebutuhan mereka. Di tambah otoritarianisme orang tua semakin menyuburkan kondisi tersebut. Alhasil setelah lulus banyak sarjana yang kehilangan orientasi tentang apa yang harus dilakukannya dengan selembar ijazahnya. Mereka mungkin mendapatkan pekerjaan, tetapi pekerjaan mereka bersifat mekanis yakni sebatas sebagai “alat” yang menghasilkan produk. Keadaan itu bukan menstimulasinya agar bekerja dengan hasil terbaik sesuai dengan keinginanya.
     Ya, itulah realita yang harus kita hadapi. Entah lima, sepuluh, dua puluh tahun mendatang dengan sisitem pendidikan seperti ini, akan lahirkah mahasiswa-mahasiwa yang memiliki nilai juang tinggi dan peduli terhadap nasib bangsanya? Ataukah dimasa mendatang  mental tersebut hanya bisa di nikmati lewat cerita-cerita sejarah saja?.
Semarang, 3 Mei 2013

Tidak ada komentar: