Jumat, Mei 17, 2013

Pancasila dan Kebangkitan Pendidikan

Kita telah bersepakat bahwa Pancasila merupakan ideologi negara. Pancasila merupakan konsensus para pendiri bangsa (Founding Father) dari berbagai golongan. Pancasila merupakan kristalisasi nilai-nilai luhur masyarakat kita. Dan sebagai anak bangsa, kita patut berbangga dan memberikan apresiasi setinggi-tingginya kepada mereka yang dengan keras memeras daya pikirnya merumuskan sebuah ideologi yang mereka anggap ideal diterapkan dengan keadaan bangsa kita.
Di tengah hiruk pikuk pertarungan ideologi dunia, mereka tidak tercerabut mendewa-dewakan ideologi besar yang bertarung waktu itu (Kapitalisme vs Komunisme). Mereka tetap orisinil dalam melihat realitas bangsa kita. Orisinalistas buah pikiran mereka itulah melahirkan Pancasila sebagai solusi bersama. Namun amat disayangkan itikad baik membangun bangsa itu belum mampu dilanjutkan secara menyeluruh hingga mencapai manifest oleh generasi selanjutnya.
       Salah satu permasalahan yang sering muncul ke permukaan adalah dalam bidang pendidikan. Pemerintah selalu gamang dalam mengambil keputusan terhadap bidang yang satu ini. Dalam tataran implementasi-pun sering kali negara mengalami distorsi dan penyimpangan. Padahal pendidikan adalah sarana yang amat vital tentang sebuah eksistensi yang akan membawa suatu bangsa berjalan maju atau mundur. Pendidikan  tidak hanya berbicara maju atau mundurnya suatu bangsa tetapi yang lebih esensi adalah berbicara tentang kemanusiaan.

Kontekstualisasi Pancasila
Pancasila baru kita pahami sebagai unsur pemersatu tatkala muncul ancaman bersama dari “luar” saja. Padahal menurut penulis, ancaman terpendam yang lebih besar adalah dari dalam. Lemahnya kita dalam mengontekstualisasi pancasila sebagai ideologi bersama. Penulis melihat bahwa dalam bidang pendidikan ini, kita belum seutuhnya membangun konsensus menjadikan pancasila sebagai inspirasi bersama. Berlarut-larutnya persoalan dalam bidang pendidikan di negeri ini ternyata berujung kepada belum mapunya negara memfasilitasi masyarakat agar mejadikan pancasila sebagai ideologi bersama. Inilah menurut penulis akar permasalahannya problem kebijakan yang kerap kali muncul bermuara kepada tidak jelasnya pemahaman kita tentang ideologi pancasila. Kita baru memahaminya sebatas “pemersatu” tatkala darurat semata. Pertanyaannya adalah bagaimana mungkin kita akan membangun negeri yang memiliki garis pantai terpanjang ke empat di dunia jika hanya menggunakan cara pikir seperti itu. Negara ini akan terus jalan di tempat sibuk mengurai benang kusut permasalahannya sendiri. Singkatnya pemerintah belum mampu mengkonsep pendidikan berideologi.
           Padahal sejatinya negara harus memiliki arahan bersama dan tidak berjalan sendiri-sendiri dalam persoalan pendidikan ini. Banyak titik temu berdasarkan payung Pancasila, sehingga tidak akan lagi muncul anggapan yang memecah-belah seperti mayoritas menekan minoritas, minoritas ditekan mayoritas, tirani mayoritas dan sebagainya. Problem-problem kebijakan perlu ditelusuri secara tuntas agar tidak berulang di masa yang akan datang. Berubah-ubahnya kurikulum pendidikan menunjukan belum matangnya konsep yang dibangun. Dengan kata lain selama ini yang dilakukan pemerintah hanyalah upaya “tambal-sulam” kain yang sudah lapuk, bukan menggantinya dengan kain yang baru. Basis ideologi pendidikan di negeri kita belum kokoh.

Kebijakan Politik yang Ideologis
Willia F. O’Neil (2001) memberi skema menarik terkait upaya membangun pendidikan berbasis ideologi ini. Menurutnya, yang harus dilakukan pertama kali adalah menentukan prinsip-prinsip nilai yang universal. Dalam hal ini kita sebagai bangsa Indonesia telah bersepakat bahwa pancasila memuat prinsip-prinsip nilai yang bersumber dari realitas masyarakatnya antara lain; nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah (demokrasi), dan keadilan. Prinsip-prinsip nilai tersebut menjadi petunjuk yang bersifat imperatif sekaligus evaluatif  yang pada akhirnya mempengaruhi bagaimana tatanan sosial masyarakat di bangun.  Ideologi sosial suatu masyarakat mempengaruhi formasi sosial yang hendak diwujudkan oleh masyarakat itu sendiri. Dan untuk mewujudkan itu semua, kita sebagai warga negara harus mengacu kepada norma-norma kolektif yang telah kita ambil dari berbagai penjuru di Indonesia. Norma-norma kolektif tersebut  harus dikokohkan sehingga setidaknya memiliki dua fungsi. Pertama, fungsi direktif yakni memberikan arah atau acuan yang benar bagi tingkah laku anggotanya sebagaimana dikehendaki oleh kelompok. Kedua, fungsi konstraintif yakni membatasi atau memaksa terhadap semua tingkah laku anggota masyarakat tersebut agar tidak menyimpang dari acuan moral (terms of reference) kelompoknya. Dengan fungsi direktif dan konstraintif ini diharapkan muncul tindakan-tindakan moral yang memiliki kadar moralitas sebagaimana dikehendaki oleh mayoritas anggota masyarakat dalam semua lapisan. Dengan memahami nilai-nilai prinsip tersebut serta berdasarkan acuan moral kolektif bangsa, maka akan melahirkan paradigma pendidikan. Paradigma pendidikan tersebut tentunya bisa diterapkan melalui kebijakan politik pemerintah. Mengapa? Karena kebijakan itu memiliki daya ikat dan daya paksa terhadap semua warga negara atau warganya. Paradigma ini adalah penjelas bagaimana sebuah ideologi bisa diinternalisasikan secara efektif kepada warga masyarakat. Paradigma itu juga yang nantinya akan membentuk seperti apa masyarkat yang diinginkan.          
Mungkin bisa jadi problem pendidikan yang terjadi dinegeri ini berakar pada rancu-nya kita dalam memahami ideologi pancasila sebagai ideologi bersama. Padahal ideologi itu adalah acuan kita untuk memcahkan problem kebangsaan yang majemuk ini. Kita lupa atau mungkin terbuai dengan ideologi-ideologi luar yang “keliatan” solutif bagi permasalahan bangsa kita. Padahal belum tentu ideologi itu cocok dengan persolan bangsa kita. Kita harus yakin bahwa Pancasila adalah sumber kebangkitan negara kita.

Semarang 18 Mei 2013