Selasa, Juni 04, 2013

Tulisan (Menulis) Masih Tetap Berbahaya


Dalam kisah-kisah para raja dan dinasti, biasanya agar pengaruh rezim lama hilang dari permukaan, rezim pengganti sibuk melakukan sweeping terhadap peninggalan-peninggalan rezim lama yang dianggap mengancam eksistensinya. Target sweeping bisa berupa fisik (infrastruktur) atau juga berupa non fisik (ajaran).


Cara-cara yang dilakukan bisa sangat evolutif (perlahan-lahan) atau bisa sangat revolutif (cepat/radikal). Tergantung seberapa besar pengaruh rezim lama terpatri dalam benak masyarakat.Cara evolutif bisa dengan memanipulasi data, pembohongan publik, fitnah, larangan,atau juga dengan strategi cultural seperti melalui sarana pendidikan dengan melakukan stigmatiasi, pebunuhan karakter, sosialisasi, pembinaan, penyuluhan secara sistematis dan sebagainya.Adapun cara-cara revolutif bisa dengan membunuh secara massal (genosida), mengusir,ataupun membumi hanguskan segala infrastrukur yang telah terbangun sebelumnya.

Seperti yang terjadi di Spanyol (Andalusia) pada abad 15. Saya mengkategorikan kasus Spanyol dalam kategori kedua. Penduduk Spanyol yang saat itu berpenduduk mayoritas muslim berusaha dihilangkan jejaknya dari bumi Spanyol dengan cara-cara yang terbilang revolutif. Mereka (umat Islam) diberi 2 pilihan; pertama, berpindah keyakinan atau pergi dari bumi spanyol. Sebagian memilih pindah keyakinan, sebagian tewas terbantai, dan sebagian lagi memilih pergi dari Spanyol bermigrasi kewilayah-wilayah islam disekitar Afrika Utara. 

Kasus kedua seperti terjadi di Indonesia tahun 1960-an. Rezim Orde Baru begitu serius membumihanguskan pengikut Partai Komunis Indonesia (PKI) beserta ajaran-ajarannya. Selain itu Orde Baru dengan cara yang sama berusaha memberangus pengaruh Soekarnois dan Soekarnoisme (pengikut sukarno beserta ajaran-ajarannya). Mengapa? Ya. Sikap rezim baru itu adalah suatu bentuk paranoid (ketakutan) akan bangkitnya kembali pengaruh lama yang akan melakukan perlawanan atau sebagai antitesis rezim yang berkuasa,sehingga target penghancuran yang dilakukan setidaknya ada 2 yakni; fisik dannon fisik (ajaran). 
 
Dua kasus yang saya paparkan diatas hanyalah contoh-contoh kasus-kasus yang terjadi pada masa lalu, betapa rezimbaru akan terancam eksistensinya selama pengaruh eksistensi lama masih bebas menjadi“hantu gentayangan” di sekitarnya. 

Dalam catatan ini saya hanya ingin menyoroti aspek yang kedua yakni aspek non fisik (ajaran). Agaknya memang tidak ada sebuah ajaran akan tersampaikan dengan baik tanpa menggunakan media tulisan. Meski saat ini teknologi semakin canggih, ditemukannya alat perekam suara, gambar, maupun video. Tetapi tulisan (baca: buku) masih menjadi sarana terbaik dalam menyampaikan pesan atau ide. 

Mengapa tulisan? Pertama, saya menilai bahwa tulisan memiliki kekuatan untuk mengikat semangat  penulisnya. Orang bisa termotivasi lantaran membaca pesan-pesan yang dituliskan. Terlebih-lebih jika penulisnya adalah orang yang berpengaruh bagi hidupnya. Tulisan juga mengandung ruh yang mengandung enrergi yang menggerakan. Tentu setelah seseorang termotivasi, iaakan berupaya mengejahwantahkan semangatnya itu dalam bentuk tindakan nyata.

Kedua, tulisan bisa menjadi pegangan bagi seseorang atau kelompok dalam mengambil kebijakan. Bayangkan saja jika sebuah“aturan main” dalam sebuah organisasi terpelihara dengan baik, memiliki kemudahan cara mengaksesnya bahkan “aturan main” itu di sosialisasikan secara aktif kepada pengikutnya, tentu “aturan main” itu akan menjadi self control  bagi individu atau kelompok itu sendiri. Jika sewaktu-waktu ada oknum organisasi melakukan penyimpangan terhadap “aturan main” maka “aturan main” itu akan menjadi “energi pemberontak”untuk meluruskan oknum yang menyimpang tersebut. Energi pemberontakan itu bisa saja dilakukan oleh oknum organisasi lainnya yang sadar. Jadi ada fungsi saling mengkritik satu dengan yang lainnya. Misalkan ada salah satu poin dalam sebuah manhaj organisasi yang dilanggar oleh oknum organisasi tertentu.

Ketiga, tulisan bisa menjadi potret yang menggambarkan semangat zaman (zietgiest) bagi penulisnya terhadap keadaan disekitarnya. Dengan demikian tulisan memiliki fungsi historisitas. Semangat zaman yang tepotret dalam tulisan merupakan kontribusi penting dalam upaya menjaga estafet kemajuan seseorang atau organisasi. Bagaimana keadaan seseorang atau organisasi, apakah selama ini mengalami kemajuan atau malah sebaliknya?. Dengan demikian akan sangat meudahkan dalam proses evaluasi. 

Keempat tulisan juga bisa berfungsi sebagai penanda eksistensi (keberadaan akan sesuatu). Tepat kiranya ungkapan“Aku menulis maka aku ada”. Bayangkan meski seorang Sokrates, Plato, Aristoteles, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, dsb telah meninggalkan dunia ini berabad-abad lamanya tetapi kita yang hidup di zaman gadget ini masih sering mendengar namanya dalam dunia akademik saat ini. Padahal mereka telah berabad-abad lamanya meninggalkan dunia ini. Bayangkan jika dalam hidup seseorang atau organisasi sama sekali tidak menghargai tulisan atau budaya tulis menulis sebagai dokumentasi, akan sepeti apa jadinya. Apakah nanti seperti ungkapan Ustad Rahmat Abdullah: “ada orang yang ketika mati hanya meninggalkan tiga baris tulisan diatas nisannya nama si Fulan, lahir sekian, dan wafat pada tahun sekian…”? bayangkan jika seandainya sebuah organisasi besar tidak tahu kapan ia dilahirkan, tidak tahu dalam keadaan yang seperti apa, tidak tahu arah tujuannya di masa depan, akan jadi apa organisasi tersebut. Ia bagaikan anak ayam yang kehilangan induknya. Oleh sebab itu saya berpendapat bahwa tulisan mutlak penting. Bahkan sangat penting. Begitupun aktifitasnya yakni menulis otomatis juga penting. T.S Elliot pernah mengatakan “Sulit kiranya membangun peradaban jika tidak ada kebiasaan membaca dan menulis”.
Semarang, 3 Juni 2013