Kamis, Juni 27, 2013

Logika Mati, Matilah Perubahan*

Jalaluddin Rahmat pernah mengatakan bahwa beberapa syarat perubahan sosial harus dimulai dari perubahan cara berpikir. Selama tidak ada perubahan cara berfikir, maka perubahan sosial akan mustahil dilakukan. Perubahan cara berfikir yang bagaimana? 

Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa perubahan bisa dilakukan dengan menggunakan cara berfikir logis bukan percaya kepada mitos. Sering kali hambatan-hambatan perubahan sosial terjadi lantaran gara-gara mitos lebih mendominasi ketimbang cara berfikir rasional.
Ia mengilustrasikan beberapa kejadian yang cukup menarik terkait kesalahan-kesalahan berfikir yang kerap kali dialami masyarakat. Bahkan bisa jadi dialami diri kita sendiri. Ia mencontohkan beberapa kesalahan-kesalahan berfikir tersebut antara lain:
Pertama, kesalahan berfikir karena berpijak pada tafsiran masa lalu yang keliru. Jakarta sejak zaman Belanda memang sudah terkena banjir, jadi ya wajar saja kalau hingga hari ini masih terjadi banjir, toh sejak dulu saja sudah banjir. Nah cara berfikir seperti ini akhirnya yang menghambat perubahan sosial, karena secara tidak langsung ia pro status quo. Bayangkan jika cara berpikir seperti ini dialami oleh para pejabat kita. Paling parah ia mengalami pasrah dalam menghadapi persoalan atau kurang greget dalam menyelesaikan masalah. Tidak prioritas terhadap problem yang seharusnya prioritas diselesaikan.
Kekeliruan menafsirkan masa lalu bisa berakibat fatal bagi masyarakat pada masa kini dan yang akan datang. Padahal ada di daerah-daerah lain ternyata sukses menangani permasalahan-permasalahannya seperti Belanda yang sukses membuat bendungan (dam) untuk menahan banjir, Jepang yang dengan segala keterbatasannya bisa menjadi negara maju, Hongkong yang terkenal dengan korupsinya bisa menekan tingkat korupsi. Bahkan kini Hongkong terkenal sebagai negara yang “bersih” dari korupsi.
Oleh karenanya penting kiranya mempertimbangkan peristiwa-peristiwa berharga yang terjadi di masa lalu agar ia (masa lalu) tidak menjadi duri penghambat perubahan sosial. Mengapa? Sejarah adalah pijakan untuk melangkah, apakah ingin maju atau mundur. Padahal zaman terus berubah, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi terjadi begitu cepat, sejatinya bisa dimanfaatkan untuk melakukan perubahan sosial. Hal ini bisa jadi terjadi pada diri kita. Misalkan ada seorang anak yang terlahir dari keluarga miskin, sejak kecil ia dibesarkan dengan “gaya hidup” miskin. Bayangan hidup miskin itu terbawa hingga dewasa hingga menyebabkannya “wanti-wanti” atau mungkin traumatik bahwa saya ini lahir dari keluarga miskin masak sih saya bisa jadi orang kaya. Dan pada akhirnya terserang penyakit minder akut bahwa orang seperti saya—orang miskin-- jangan mimpi jadi orang kaya. Ia tidak berobsesi ingin melakukan hal-hal yang besar. Tidak pede bermimpi besar. Kenyataannya ada anak lain yang terlahir miskin tetapi ia berhasil merubah nasibnya. Meski tidak selalu jadi orang kaya yang bergelimangan harta (hartawan), setidaknya ia bisa menjadi lebih baik dibandingkan sebelumnya. Ia tidak terkategorikan orang yang kekuarangan secara finansial. Namun hal terburuk yang bisa saja terjadi pada si anak miskin tersebut dalam proses perubahan dirinya ketika akses terhadap ilmu pengetahuan tidak ia dapatkan, lingkungan sekitar tidak peduli dengan kondisinya, peran pemerintah tidak berjalan sebagaimana mestinya. Ia akan sulit mendapatkan pencerahan. Bahkan ia mungkin tidak mengerti bagaimana harus memulai melakukan perubahan. Ia tidak mengerti untuk apa harus punya mimpi atau obsesi.
Kedua, kesalahan berfikir karena “sebab-akibat”. Ada seorang pemuda di desa ia memiliki usaha telur ayam lalu usahanya berkembang pesat hingga mengantarkannya jadi orang kaya. Kesuksesan ini lantas ditiru oleh para pemuda lainnya bahwa ia kaya disebabkan usaha jualan telur ayam. Hampir semua pemuda di desa tersebut akhirnya memilih usaha menjual telur ayam dengan gaya yang serupa. Kesusksesan pemuda pertama ternyata tidak dialami oleh pemuda lainnya alias gagal.
Contoh lainnya, ada pasangan suami-istri ketika baru punya anak satu kondisi perekonomiannya moral-marit. Hidupnya prihatin sekali. Kemudian dalam keadaan susah itu lahir anak yang kedua. Nah setelah kelahiran anak yang kedua tersebut, berangsur-angsur perekonomian keluarga menjadi membaik. Usahanya sang ayah lancar, uang berlimpah, aset keluarga ada dimana-mana. Lalu pasangan tersebut berkesimpulan bahwa kesuksesan yang mereka alami karena lahirnya anak kedua. Mereka menganggap anak kedua itu sebagai anak pembawa keberuntungan. Akhirnya anak kedua tersebut diperlakukan sedemikian rupa, di manja-manja, ditimang-timang, dilebih-lebihkan ketimbang anak-anak yang lainnya. Dan bisa dipastikan seandainya lahir anak ketiga lalu kondisi perekonomian keluarga mengalami depresi, anak ke tiga tersebut akan jadi korban claim sebagai anak pembawa sial. Itu jika seandainya cara berfikir pasangan tersebut tidak berubah. Akan dapat dibayangkan bagaimana nanti perlakuan pasangan tersebut kepada si anak ketiga.
           Singkatnya bahwa perubahan sosial harus dimulai dengan perubahan cara berpikir. Pikiran yang akan menggerakan seseorang kemana akan melangkah, kemana ia harus berbuat. Cara berpikir yang bagaimana? Yakni cara berpikir yang logis (rasional) bukan berpijak pada mitos. Pikiran yang didominasi mitos bisa menghambat perubahan sosial bagi seseorang (masyarakat). Mitos bisa berupa warisan turun-temurun yang belum tentu bisa dibuktikan kesahihannya tetapi telah dijadikan “keyakinan” yang mengakar sehingga dipercaya begitu saja. Mitos-mitos itu bisa menjadi penghambat perubahan sosial. Mudah-mudahan di masa yang akan datang masyarakat kita semakin rasional dalam melihat realitas sekitarnya. Meski begitu sebagai muslim kita tidak hanya berpijak pada rasio semata, krena rasio tetaplah memiliki keterbatasan. Tetapi saya pikir Islam bukanlah agama yang menghambat pengikutnya dalam mengembangkan kreatifitas nalarnya. Saya yakin itu. Saya tidak khawatir akan membahayakan agama Islam. Islam terbukti mampu menjawab tantangan-tantangan zaman hingga hari ini.
Semarang, 27 Juni 2013
*)Tulisan ini saya buat  setelah  saya tergugah membaca buku  Rekayasa Sosial : Revolusi, Revormasi, atau Manusia Besar?   Karya Jalaluddin Rahmat  Tebitan Rosda Tahun 1999