Kamis, Juli 11, 2013

Melawan Arus Kegilaan

Apa yang kita pikirkan atau rasakan saat melihat orang yang hilang akal (baca: orang gila) sedang berjalan-jalan di pinggir jalan?. Mereka dalam kondisi tidak sadar sehingga “bebas” melakukan apa yang mereka mau tanpa memperdulikan nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Berteriak-teriak tanpa jelas  maksudnya, buang hajat di sembarang tempat, bertelanjang badan tanpa rasa malu, tidak mandi-mandi, tidak mempersoalkan penampilannya sehingga kondisi tubuhnya “berantakan”, compang-camping dan bau.
Masyarakat bisa jadi maklum dengan kondisi mereka yang dalam keadaan hilang kesadaran itu. Meskipun dalam hati mungkin merasa kasihan, iba bahkan tidak tega. Pun kita bisa jadi punya perasaan yang serupa. Terlebih-lebih jika saudara dekat kita sendiri yang mengalaminya. Tentu kita akan bersedih.
Ya, mereka (orang gila) mendapatkan kebebasan dari jeratan hukum baik hukum formal maupun hukum sosial. Ketika melakukan pelaggaran terhadap hukum formal mereka tidak masuk dalam kategori pelanggar. Lagi-lagi karena mereka dalam kondisi hilang kesadaran sehingga mereka dibebaskan. Dan masyarakatpun akan membiarkan begitu saja jika orang gila itu tidak terlalu menggangu. Mungkin hanya celaan, cibiran, tertawaan saat si orang gila ini sedang berbuat nyeleneh.
Jadi klo boleh saya definisikan “orang gila” adalah orang yang dalam kondisi hilang kesadaran disebabkan tidak berfungsinya kemampuan akal sehat dalam memahami lingkungan sekitar”. Ini definisi menurut saya. Silahkan klo ada yang ingin membantah.
Ketidakmampuan memahami, menjalani aturan main (nilai dan norma) masyarakat dalam beraktivitas membuatnya disebut  “orang gila”. Berarti kitapun bisa di claim gila dalam pandangan umum masyarakat ketika dalam kondisi-kondisi tertentu dalam bertindak tidak sesuai atau bahkan menyalahi aturan dalam masyarakat. Bukankah pernah atau sering kali kita mendengar candaan-candaan seseorang kepada temannya dengan perkataan “Gila bener tuh orang!”, “Gila loe!”, “Jangan gila dong”, Please deh jangan gila!” “Dasar wong edan!” dan sebagainya. Itu pertanda bahwa dalam keseharian kita pada saat-saat tertentu, seseorang bisa terjebak dalam kegilaan.  Bedanya “gila” dalam kontekskedua hanya sebatas umpatan sementara menyifati perilaku seseorang.
Rupaya arus kegilaan baik bermakna konotatif (kiasan) ataupun denotatif (makna sebenarnya) semakin hari semakin absurd. Arus kegilaan dalam masyarakat kita sekarang semakin kabur maknanya. Klo melihat perilaku masyarakat kita saat ini sebetulnya akan banyak sekali “orang gila-orang gila baru”.  Bahkan orang gila ini benar-benar melampaui kegilaan karena melakukan kegilaan secara sadar. Dengan kata lain kegilaan yang dilakukannya lebih ngeri. Hal ini klo merujuk definisi orang gila menurut saya di atas.
Contoh paling riil dalam masyarakat kita, sebagian besar perempuan indonesia hari ini berani secara terang-terangan mempertontonkan tubuhnya di depan umum. Mereka keluar pada saat siang dan malam hanya dengan memakai hotpan (celana sepaha). Mereka dengan pedenya berjalan-jalan di tempat umum. Mari kita tanyakan pada ibu pertiwi tercinta apakah harus seperti itu seharusnya sebagai bangsa Indonesia, sebagai bangsa timur?
Jika jawabannya adalah “ya zaman memang telah berubah, itu sudah hal yang umum  dalam masyarakat kita dan tidak perlu dipersoalkan”. Berarti memang nilai dan norma telah berubah. Mengapa berubah? Karena dahulu bangsa kita terkenal d
engan kesopanannya, dengan sifat pemalunya.
 Jika demikian, berarti di masa yang akan datang bisa jadi tidak akan dikenal lagi “orang gila” toh kegilaan telah menjadi arus utama dalam masyarakat kita (mainstream). Mungkin ini yang disebut sebagai “Zaman Edan”.