Minggu, Agustus 18, 2013

Gerakan Mahasiswa Tiarap Atau Kembali Ke Barak? (Refleksi 68 Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia)


Untuk ukuran manusia, usia 68 tahun bisa dibilang sudah tidak "muda" lagi alias lanjut usia (Lansia). Bertambahnya usia manusia berbanding terbalik dengan daya tahan tubuhnya. Semakin tua usianya maka seseorang kian mengalami kerapuhan meski kecepatan kerapuhanannya pada tiap-tiap orang tidak sama. Hal ini biasanya ditandai dengan berbagai macam persolan kesehatan antara lain; menurunnya stamina, gejala pikun, rabun yang kian menjadi dan lain sebagainya. Usia tua belum tentu juga menjamin kedewasaan dalam bersikap.
Tapi lain halnya dengan sebuah bangsa, semakin tua usia suatu bangsa seharusnya bukan membuatnya semakin rapuh, tapi harus semakin kuat. Semakin tua sebuah bangsa seharusnya menjadikannya lebih dewasa dan matang.

"Kemerdekaan" yang masih bertahan hingga saat ini patut kita syukuri bersama. Mengapa? Karena untuk mencapainya sungguh tidak mudah. Banyak sudah jiwa raga yang telah berkorban demi tegaknya bangsa ini. Salah satunya adalah peran kaum terpelajar atau mahasiswa.

Politik Etis ala Van de Venter yang muncul atas dasar motif kapitalis telah menjadi titik tolak perubahan besar bagi bangsa ini. Kebijakan itu telah merubah perjalanan sejarah bangsa ini. Sekitar abad 19 banyak sekolah-sekolah dibangun di negeri ini. Tahun 1819 pemerintah membangun sekolah militer di Semarang, kemudian sekolah umum seperti Sekolah Tinggi Leiden tahun 1826, Institut Bahasa Jawa Surakarta tahun 1832, Sekolah Pegawai Hindia Belanda di Delf tahun 1842 dan Sekolah Guru Bumiputera di Surakarta tahun 1852. Sekolah-sekolah itu memang di bangun di Hindia Belanda (Sekarang Indonesia) namun hanya diperuntukan untuk anak-anak bangsa Eropa yang ada di tanah jajahan. Barulah pada tahun 1893 didirikanlah sekolah negeri bagi bangsa pribumi dengan embel-embel peraturan yang sarat dengan diskriminasi. Apakah kita harus berterima kasih kepada mereka? Tentu tidak.

Mereka (mahasiswa) yang tersadarkan dalam hegemoni kapitalis telah memberikan inspirasi bagi kita semua. Betapa nilai-nilai kemanusiaan tidak bisa ditutup-tutupi, tidak bisa dimanipulasi. Mereka yang dicekoki dengan nyanyian kapitalisme justru berbalik menyerang setiap kebijakan pemerintah kolonial.

Pada periode akhir abad 19 menuju abad 20 beberapa kaum terpelajar telah berani membentuk perkumpulan-perkumpulan guna membebaskan masyarakatnya yang terbodohkan oleh penjajah. Fase ini merupakan fase pergerakan nasional. Dalam fase ini perjuangan menuju kemerdekaan lebih modern dan teroganisir. Berbeda dengan gerakan-gerakan pembebasan era sebelumnya yang terpecah-pecah dan klasik. Perjuangan pada masa pergerakan nasional tidak terpaku pada kekuatan satu tokoh saja, tapi sudah mengandalkan kekuatan sistem. Rapat-rapat umum dan propaganda media massa telah menjadi standar baku kaum pergerakan.

Pada masa ini berdirilah Boedi Oetomo (1908) yang sebagian besar anggotanya mahasiswa kedokteran dengan visi jelas--menyetarakan kaum pribumi dengan bangsa-bangsa lain--. Selain itu beberapa perkumpulan-perkumpulan pemuda/mahasiswa baik berbasis daerah, agama, ekonomi pun berdiri. Perkumpulan itu melakukan konsolidasi secara masif dan terorganisir. Keinginan kuat untuk bersatu sebagai sebuah bangsa itu termanifestasikan dalam momentum Sumpah pemuda tanggal 28 Oktober 1928. Hingga tahun 1945 para golongan terpelajar (mahasiswa) memiliki peran penting dalam proses perubahan dengan mendorong dwi tunggal Soekarno Hatta untuk mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.


Gerakan Pemuda/ Mahasiswa Pasca Kemerdekaan

Dalam perjalanannya para kaum terpelajar ini terus menorehkan perubahan dalam setiap masa. Pasca Proklamasi kemerdekaan, muncul berbagai organisasi mahasiswa dengan dasar ideologi yang berbeda-beda. Pada tanggal 5 Februari 1947 diresmikan terbentuknya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), kemudian diikuti berdeirinya Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) pada tanggal 25 Maret 1947dan kemdian disusul dengan berdirinya Perhimpunan Mahasiswa Katholik Republik Indonesia (PMKRI). Organisasi-organisasi mahasiswa ini menggunakan ideologi agama seperti Islam, Kristen dan Katholik. Kemunculan organisasi-organisasi mahasiswa ini mengikuti lahirnya partai-partai politik yang juga menggunakan basis ideologi agama seperti Masyumi yang berdiri tanggal 7 Nopember 1945 dan Partai Katholik yang berdiri tanggal 8 Desember 1945. Sementara partai besar lainnya yaitu Partai Nasional Indonesia juga memiliki organisasi gerakan mahasiswa yaitu Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) yang berdiri tanggal 23 Maret 1954. Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) dibentuk pada 1956 sebagai hasil penggabungan tiga organisasi kecil mahasiswa di Bandung, Bogor dan Yogyakarta. Selain itu muncul pula kelompok-kelompok organisasi mahasiwa berdasakan profesi dan komunitas Ormas mahasiswa. Kelompok-kelompok ini natara lain Perhimpunan Mahasiswa Kedokteran Hewan (PMKH) di Bogor, Perhimpunan Mahasiswa Djakarta (PMD), Perhimpunan Mahasiswa Jogyakarta (PMJ), dan Masyarakat Mahasiswa Malang (MMM). Kemudian dari dalam kampus juga muncul organisasi gerakan da Dewan Mahasiswa UI tanggal 20 Maret 1955. Adapun di dalam intra kampus berlaku model Student Government. Mahasiswa memiliki pemerintahan sendiri yang sifatnya otonom. Pada tingkat universitas, kekuasaan eksekutif berada di tangan Dewan Mahasiswa, sedangkan di tingkat fakultas dibentuk Komisariat Dewan Mahasiswa (Kodema).

Pada masa ini, kontelasi politik global turut pula mempengaruhi sikap mahasiswa.  Pertarungan Ideologi seperti Kapitalisme versus Komunisme begitu mewarnai sikap mahasiswa. Organisasi gerakan mahasiswa yang meramaikan panggung perpolitikan adalah organisasi yang memiliki afiliasi kepada partai politik. Mereka saling berlomba, adu program bahkan bertarung untuk mendapat massa yang besar dari kalangan mahasiswa. Mereka diperbolehkan memasang bendera di kampus sehingga antara elemen Dema maupun Kodema. Antara organisasi intra dan ekstra selalu ada kontak. Mereka memiliki otoritas penuh dalam melakukan gerakan-gerakan baik di dalam kampus maupun di luar kampus. Gerakan Mahasiswa pada masa ini sarat dengan kepentingan-kepentingan politik praktis. Pada masa ini kekuatan mahasiswa sangat diperhitungan bahkan bisa mengancam eksistensi pemerintah jika kebijakan-kebijkan pemerintah bersebrangan dengan aspirasi mahasiswa. Hal ini terjadi saat penggulingan Presiden Soekarno tahun 1966, oleh mahasiswa melalui wadah KAMI (Komite Aksi Mahasiswa Indonesia).

Gerakan mahasiswa Era Orde Baru

Agaknya pemerintah Orde Baru begitu menaru perhatian terhadap kekuatan gerakan mahasiswa. Tentara dalam hal ini Soeharto sepertinya sukses "memperalat" gerakan mahasiswa sebagai tiket yang mengantarkannya menuju puncak kekuasaan. Tetapi pemerintah yang baru ini menaru kehati-hatian besar terhadap gerakan mahasiswa. Lengsernya Soekarno telah menjadi pelajaran berharga bahwa gerakan mahasiswa harus selalu diawasi oleh pemerintah jangan sampai hal serupa itu terjadi pada rezim Orde Baru.

Gerakan mahasiswa terus menyuarakan aspirasi rakyat tatkala kebijakan-kebijakan pemerintah telah melenceng. Bulan madu antara mahasiswa dan pemerintah Orde Baru-pun pecah. Puncaknya adalah peristiwa 15 Januari atau yang dikenal dengan Malapetaka 15 Januari (Malari). Mahasiswa secara besar-besaran melakukan unjuk rasa menolak kedatangan Perdana Menteri Jepang Tanaka. Kedatangan PM Jepang tersebut terkait dengan penamanan modal Jepang di Indonesia yang dianggap mahasiswa bisa membahayakan kemandirian perekonomian bangsa. Unjuk rasa tersebut disambut pemerintah dengan kekerasan dan penangkapan terhadap pemimpin-pemimpin mahasiswa. Setelah peristiwa itu pemerintah secara sistematis membekukan segala aktivitas mahasiswa yang berbau politik. Kebebasan berpolitik praktis di kampus memunculkan penilaian bahwa mahasiswa lebih sibuk berpolitik daripada aktif dalam bidang pembelajaran. Keadaan itu menurut pemerintah dianggap sebuah penyelewengan terhadap tujuan pendidikan, dan dianggap pula sebagai hal yang tidak normal sehingga harus segera dilakukan upaya normalisasi kehidupan kampus. Pada tahun 1978 keluarlah surat keputusan No. 0156/U/1978 tentang Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK). Menurut kebijakan itu maka kegiatan kemahasiswaan dikoordinasikan oleh sebuah badan yang disebut Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK). BKK dipimpin oleh pembantu rektor bidang kemahasiswaan,dosen pembimbing, dan aktivis lembaga kemahasiswaan. Sejak saat itu semua kegiatan kemahasiswaan diwadahi dalam organisasi intra kampus yang sepenuhnya berada dalam kendali pimpinan universitas. Lembaga kemahasiswaan intra tidak lagi otonom tetapi bertanggung jawab terhadap pimpinan universitas maupun fakultas. Alhasil mahasiswa tidak lagi dapat melakukan kegiatan politik praktis dalam derajat yang sama seperti pada masa sebelumnya. Pada masa ini pula peran organisasi ekstra mahasiswa semakin tereliminasi di kampus. NKK/BKK sukses memotong transaski politik antara organisasi intra dan ekstra.

Gerakan Mahasiswa Era Reformasi 

Ibarat air meskipun dihambat dengan beton, gerakan mahasiswa terus mengalir, menggenang dan terus mencari celah. Refpresifitas Orde Baru dijawab oleh mahaswa dengan beragam cara. Sejak di berlakukan NKK/BKK praktis aktivitas politik mahasiswa semakin surut. Mahasiswa disibukkan dengan aktivitas akademik semata. Sebagian ada yang berputus asa dan sebagian pula masih tetap menyimpan idealismenya. Bagi kalangan mahasiswa idealis mereka secara sembunyi-sembunyi mempersiapkan diri mempropagandakan semangat perlawanan terhadap tirani rezim. Meski format gerakan terjadi perubahan-perubahan dari rapat-rapat umum, aksi-aksi jalanan, beralih ke kelompok-kelompok studi, pembuatan pers mahasiswa, membentuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan sebagaian lagi merapat ke Masjid-masjid kampus melakukan infiltasi di lembaga intra kampus. Mereka terus menyusun kekuatan mengawasi gerak-gerik rezim yang rapuh. Selama dua dekade mahasiswa melakukan inkubasi, menyusun kekuatan dan menunggu kehancuran rezim tirani Orde Baru.

Menjelang tahun 1997 krisis ekonomi semakin parah, masyarakat kian resah, demonstrasi terjadi dimana-mana. Dan akhirnya Orde Baru pun runtuh pada 21 Mei 1998 oleh desakan ratusan ribu mahasiswa dari berbagai penjuru daerah menyuarakan tuntutan yang sama yakni Soeharto harus turun!.

Mencari Bentuk Gerakan Mahasiswa di Masa Mendatang

Pasca Orde Baru lengser, aroma kebebasanpun diraih, gerakan mahasiswa tidak hanya sebatas seruan moral, namun juga berdimensi politis. Mahasiswa bebas menyuarakan aspirasinya dengan berbagai macam gaya. Bisa dengan mimbar bebas, aksi jalanan, mogok, dialog dan sebagainya. Mahasiswa bisa berteriak lantang meminta rezim turun saat aksi, meminta presiden dan wakil presiden turun dan sebagainya. Suatu fenomena yang tidak mungkin dilakukan pada masa Orde Baru.

Selain itu telah terjadi pula berbagai macam perubahan dalam sistem birokrasi  negara sebagai dampak dilakukannya amandemen UUD 1945 yang terjadi sebanyak 4 kali. Kekuasaan Eksekutif tidak seperti dahulu yang semaunya mendikte lembaga lerjdgis latif (DPR). Akibat amandemen tersebut, telah banyak pula lembaga-lembaga baru yang menunjang kelengkapan negara seperti DPD RI, DPRD, Mahkamah Konsitusi (MK), Komisi Yudisial (KY), Komnas HAM, KPK. Belum lagi LSM-LSM yang kian menjamur dengan beragam garpannya masing-masing.

Lalu dimanakah seharusnya gerakan mahasiswa mengambil peran di tengah-tengah fungsi lembaga-lembaga tersebut?. Agakya gerakan mahasiswa harus memodifikasi gerakannya. Gerakan mahasiswa diera keterbukaan saat ini harus lebih memfokuskan dalam bidang keilmuan masing-masing. Menggalakkan studi-studi klub, riset mahasiswa pada dan gerakan berbasis kewirausahaan. Bukan berarti aksi-aksi jalanan tidak penting. Aksi tersebut tetaplah penting pada kondisi-konsisi tertentu. Akan tetapi mindset aksi harus segera dirubah. Bahwa aksi-aksi tidak hanya aksi jalanan yang berbau protes dan seruan-seruan moral semata. Inilah yang menjadi catatan penting bagi organisasi-organisasi mahasiswa di masa mendatang. Mahasiswa harus mempersiapkan diri untuk mengisi kemerdekaan dengan menjadi pakar di bidangnya masing-masing. Gerakan mahasiswa harus berfungsi sebagai fasilitator peningkatan kapasitasnya untuk mengembangkan keilmuannya diluar bangku perkuliahan formal. Gerakan mahasiswa di masa yang akan datang harus menjadi sumber solusi kongret bagi persoalan-persoalan masyarakat. Saya kurang sependapat bila ada yang berpendapat bahwa gerakan mahasiswa hanyalah sebatas mendorong "mobil mogok" atau hanya dijadikan "tukang pukul" semata setelah itu tugasnya selesai. Peran-peran gerakan mahasiswa harus lebih dari itu, mereka harus betul-betul dipersiapkan menjadi bagian solusi yang mandiri. Tapi bukan berarti menghendaki penguasaan struktural lembaga-lembaga negara oleh mahasiswa. Kampus-kampus tetaplah menjadi rumah idaman mahasiswa. Menjadi taman elok dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Mahasiswa bukan hanya sekedar generasi penerus yang menempati jabatan-jabatan struktural para seniornya tatkala mereka terancam pensiun lantaran usia. Mereka harus dibekali dengan segudang inovasi bukan hanya sekedar epigon yang miskin inovasi. Mengembalikan peran mahasiswa sebagai aktor yang memberikan pencerahan dan pembebasan kepada masyarakat.

Referensi
Suroyo, A.M Djuliati dkk. 2012. Universitas Diponegoro, 1957-2010 Pergulatan Menuju Universitas Kelas Dunia. Semarang: UPT Undip Press.
Suharsih dkk. 2007. Bergerak Bersama Rakyat : Sejarah Gerakan Mahasiswa dan Perubahan Sosial di Indonesia. Yogyakarta: Resist Book.

Semarang 18 Agustus 2013
Anton (Mahasiswa Ilmu Sejarah FIB Undip Angkatan 2008, Staf Humas KAMMI Daerah Semarang Periode 2012-2014) 

Tidak ada komentar: