Persoalan mengenai “kesetaraan” hak antara laki-laki dan perempuan di
setiap tempat tidaklah sama. Bagi
masyarakat kota yang lebih dinamis, banyak ditemukan perempuan melakukan aktivitas
sebagaimana kaum laki-laki. Mereka bekerja di instansi-instansi pemerintahan
maupun swasta.
Kultur masyarakat kota yang terbuka terhadap perubahan
bukan lagi menjadi penghalang bagi kaum perempuan untuk beraktualisasi. Mereka bisa
secara leluasa bersaing dengan kaum laki-laki dalam bidang tertentu. Bukanlah
menjadi sesuatu yang aneh jika ada sebuah instansi yang dipimpin oleh seorang
perempuan. Meskipun di beberapa tempat yang cenderung patriarki (sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai sosok
otoritas utama yang sentral dalam organisasi sosias), stigma negatif terhadap kaum perempuan
belumlah hilang sepenuhnya. Namun sebenarnya saat ini telah menunjukkan kemajuan
yang berarti baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Kaum perempuan seakan
ingin menunjukan kepada dunia bahwa mereka mampu berbuat sebagaimana yang
dilakukan kaum laki-laki.
Kalau kita menengok sejarah, gerakan kesetaraan gender
(baca: feminisme) di mulai pada era
pencerahan (Renaisance). Pasca Revolusi
Amerika 1776 dan Revolusi Prancis pada 1792 berkembang pemikiran bahwa posisi
perempuan kurang beruntung daripada laki-laki dalam realitas sosialnya. Ketika
itu, perempuan, baik dari kalangan atas, menengah ataupun bawah, tidak memiliki
hak-hak seperti hak untuk mendapatkan pendidikan, berpolitik, hak atas milik
dan pekerjaan. Oleh karena itulah, kedudukan perempuan tidaklah sama dengan
laki-laki di hadapan hukum. Adalah Lady
Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condorcet pada tahun 1785 mendirikan perkumpulan
masyarakat ilmiah di Middelburg, salah satu kota di Selatan
Belanda. Pada abad 19 dan awal abad 20
gerakan feminisme ini mulai diterima masyarakat luas
dengan gerakan yang mereka sebut Universal Sisterhood.
Hampir bersamaan
dengan itu, di Indonesia sejarah feminis
telah dimulai pada abad 19 dan awal abad 20 seperti R.A Kartini (1879-1904), Dewi Sartika (1884-1947) dan Rasuna
Said (1910-1965). Mereka berupaya memperjuangkan hak yang sama atas pendidikan bagi anak-anak perempuan. Sebagaimana diketahui
bahwa kaum laki-laki pada masa itu lebih diprioritaskan dalam mendapatkan
kesempatan pendidikan disbanding kaum perempuan.
Dari Industrialisasi Ke Diskriminasi
Lahirnya gerakan tersebut dapat dimengerti karena pada
saat itu di Eropa sedang mengalami industrialiasasi secara masif. Pabrik-pabrik
di Eropa membutuhkan banyak tenaga kerja terutama laki-laki. Secara fisik
tenaga laki-laki lebih bisa diandalkan ketimbang perempuan. Persoalan pembagian
peran inilah yang menjadi cikal bakal terjadinya diskriminasi dan bentuk-bentuk
ketidakadilan terhadap kaum perempuan. Apalagi jika diukur secara fisik, perempuan memang tidak lebih
kuat ketimbang laki-laki. Dalam kondisi seperti itu kaum perempuan semakin
tersudutkan dengan sosio-kultur yang ada. Ukuran materi telah menegasikan
peranan-peranan kaum perempuan yang Immateri (tidak nampak) tapi sangat
diperlukan. Kelebihan-kelebihan yang bersifat Immateri namun amat diperlukan tersebut
antara lain; kasih-sayang, kesabaran, keuletan, kelembutan, perhatian, seakan
menjadi hiang terbawa arus besar materialisme. Yang nampak di depan mata itulah
yang diapresiasi, lainnya tidak. Begitu Eropa memandang kaum perempuan.
Penegasian terhadap nilai-nilai Immateri
keperempuan-an inilah mendorong kaum perempuan menuntut haknya agar “setara”
dengan kaum lelaki dalam segala bidang. Ini juga merupakan langkah yang keliru.
Mengapa keliru? Hegemoni maskulin menjadikan perempuan tidak mengapresiasi hal
yang unik dalam dirinya sendiri. Dengan kata lain mereka minder menjadi feminin
dan ingin menjadi maskulin. Padahal secara fisik (bentuk tubuh, hormon) dan
kejiwaan (psikis) berdasarkan penelitian ilmiah antara laki-laki dan perempuan
berbeda. Sehingga argumentasi yang mengatakan pembentukan sifat
maskulin-feminin merupakan hasil kontruksi sosial pun terbantahkan.
Ubah Mindset
Selama ini kita mungkin memandang kaum perempuan dari sisi maskulin dan
sudut pandang materi semata. Padahal banyak sifat khas perempuan yang tidak
nampak namun amat dibutuhkan untuk menopang kemajuan bangsa. Bukankah banyak
tokoh-tokoh besar dunia seperti Imam Syafii, Thomas Alva Edison, Albert
Einstein berasal dari didikan seorang ibu yang sabar dan lembut dalam mendidik
anaknya?. Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan era Orde Baru Prof. Daoed Joesoef
bahkan sampai menuturkan kisah antara ia dan ibunya dalam sebuah bukunya yang
diterbitkan oleh Penerbit Kompas dengan judul “Emak”. Dalam epilogya beliau
menuliskan “Alangkah bahagianya mempuanyai emak. Dia
yang membesarkan aku dengan cinta keibuan yang lembut. Dia yang selalu
memberikan aku pedoman di dalam perjalan hidup. Dia yang di setiap langkah,
tahap dan jenjang, membisikkan kepada harapan…”
Oleh karena itu yang
pertama kali harus kita lakukan adalah melakukan “revolusi” cara pandang (mindset)
mengenai perempuan. Sudah saatnya materialisme tidak menjadi pijakan dalam
menilai kelebihan dan kekuarangan manusia. Dalam bukunya yang berjudul “Habis Gelap Terbitlah Terang” yang
diterbitkan Penerbit Balai Pustaka, R.A Kartini menuliskan pandangannya “Alangkah
bahagianya laki-laki bila istrinya bukan hanya menjadi pengurus rumah tangganya
dan ibu anak-anaknya saja, melainkan juga sahabatnya, yang menaruh minat akan
pekerjaanya, menghayatinya bersama suaminya (4 Oktober 1902)”. Ungkapan R.A
Kartini adalah bentuk harapannya dimana kaum laki-laki (suami) lebih
mangapresiasi tugas-tugas seorang perempuan. Bukanlah “kesetaraan” semata yang
diinginkan namun “Keserasian”.
Magelang, 17 April 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar