Rabu, April 02, 2014

Nyanyian dan Mentalitas Anak Muda




Saya percaya setiap orang pernah bernyanyi dalam hidupnya. Bernyanyi merupakan salah satu bentuk pengungkapan jiwa manusia yang tergolong bagian dari kebudayaan.  Kebudayaan merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan relajar (Koentjaraningrat, 2000).  

 Banyak ahli ilmu sosial mendefinisikan kebudayaan, akan tetapi dari definisi-definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa kebudayaan di wujudkan menjadi tiga. Wujud pertama, kebudayaan dalam bentuk ide dimana kebudayaan dalam bentuk ini tidak nampak (abstrak) karena berada di ranah pikiran seseorang. Kedua kebudayaan dalam bentuk perbuatan/tindakan. Kebudayaan dalam bentuk kedua ini sudah tidak abstrak lagi karena bisa di lihat dalam bentuk tindakan (contohnya bernyanyi). Dan wujud yang ketiga kebudayaan sebagai hasil karya yang berwujud benda yang kongkret dimana masyarakat umum biasanya mengidentikan kebudayaan dalam bentuk benda ini. 

Bernyanyi merupakan bentuk nyata terbawanya jiwa seseorang. Apalagi jika syair-syair yang dibawakan dianggap ‘mewakili’ perasaannya. Kesedihan bisa terobati dengan mendendangkan lagu-lagu ceria, memunculkan semangat bekerja, bahkan ada orang yang rela meneteskan air mata disebabkan mendengar lagu-lagu kesedihan. Singkatnya seseorang mudah terbuai jiwanya dengan nyanyian, buktinya adalah “bernyanyi” sebagai kata kerja umumnya dilakukan secara sukarela meskipun tidak bisa dipungkiri ada orang yang bernyanyi karena proses pembelajaran.  Ketika kecil di Tingkat Kanak-kanak (TK) dan Sekolah Dasar (SD) kita sering kali diminta bernyanyi lagu-lagu wajib kebangsaan. Tujuannya agar sejak dini kita mencintai tanah air. 

Kita bisa mengambil pelajaran dari bangsa Jepang yang pernah menjajah bangsa Indonesia selama 3.5 tahun. Pentingnya pembangunan mentalitas masyarakat untuk mendukung kepentingan perang Jepang ternyata menjadi salah satu kebijakannya. Dalam suasana Perang Dunia II dimana Jepang semakin terdesak oleh Sekutu, Pemerintah Pendudukan Jepang berusaha menarik simpati bangsa Indonesia dengan semboyan-semboyan manisnya. Gerakan 3 A (Jepang Pemimpin Asia, Jepang Cahaya Asia, Jepang Pelindung Asia) rupanya menjadi modal meminta dukungan bangsa Indonesia.
Pemerintah Pendudukan Jepang yang anti Eropa ini mengeluarkan serangkaian kebijakan yang berbeda dengan penjajah sebelumnya. Pemerintah pendudukan Jepang sangat menyadari bahwa aspek mentalitas harus diterapkan. Beberapa kebijakan terkait aspek mentalitas tersebut antara lain; Jepang melatih guru-guru agar memiliki keseragaman pengertian tentang maksud dan tujuan pemerintahannya dengan materi pokok antara lain: (1) Indoktrinasi ideologi Hakko Ichiu; (2) Nippon Seisyin, yaitu latihan kemiliteran dan semangat Jepang; (3) Bahasa, sejarah dan adat-istiadat Jepang; (4) Ilmu bumi dengan perspektif geopolitis; serta (5) Olaharaga dan nyanyian Jepang. Sementara untuk pembinaan kesiswaan, Jepang mewajibkan bagi setiap murid sekolah untuk rutin melakukan beberapa aktivitas berikut ini: (1) Menyanyikan lagi kebangsaan Jepang, Kimigayo setiap pagi; (2) Mengibarkan bendera Jepang, Hinomura dan menghormat Kaisar Jepang, Tenno Heika setiap pagi; (3) setiap pagi mereka juga harus bersumpah setia kepada cita-cita Asia Raya; (4) Setiap pagi mereka juga diwajibkan melakukan Taiso, senam Jepang; (5) Melakukan latihan-latihan fisik dan militer; (7) Menjadikan bahasa Indonesia sebagai pengantar dalam pendidikan dan bahasa Jepang menjadi bahasa yang juga wajib diajarkan.

Aspek mentalitas sangat penting. Inilah salah satu agenda Jepang pada masa lalu untuk mendukung kepentingannya melawan sekutu. Kiranya pemerintah pendudukan Jepang sangat menyadari bahwa fisik saja tidak cukup jika tidak diimbangi kekuatan mental dalam hal ini adalah nyanyian. Melihat realita saat ini, saya cukup prihatin ketika anak bangsa khususnya para generasi muda kurang diarahkan agar lebih mencintai bahasa dan budayanya. Nyanyian dalam bahasa asing sering kali akrab ditelinga melalui beragam acara kompetisi. Bahkan lebih memprihatinkan lagi ketika ada anak bangsa yang mengatakan “saya lebih fasih bernyanyi dengan bahasa Asing”. Selain itu belum ada upaya serius mendorong para seniman untuk mencipta lagu-lagu kebangsaan. Selama ini saya belum pernah mengetahui ada kompetisi-kompetisi tingkat nasional lomba cipta lagu nasional. Bahkan pemerintah seakan tak berdaya melawan hegemoni kepentingan swasta.

Tidak ada komentar: