Saya percaya setiap orang pernah bernyanyi
dalam hidupnya. Bernyanyi merupakan salah satu bentuk pengungkapan jiwa manusia
yang tergolong bagian dari kebudayaan. Kebudayaan merupakan keseluruhan
sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan
masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan relajar (Koentjaraningrat, 2000).
Banyak ahli ilmu sosial mendefinisikan
kebudayaan, akan tetapi dari definisi-definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa
kebudayaan di wujudkan menjadi tiga. Wujud pertama, kebudayaan dalam bentuk ide
dimana kebudayaan dalam bentuk ini tidak nampak (abstrak) karena berada di
ranah pikiran seseorang. Kedua kebudayaan dalam bentuk perbuatan/tindakan.
Kebudayaan dalam bentuk kedua ini sudah tidak abstrak lagi karena bisa di lihat
dalam bentuk tindakan (contohnya bernyanyi). Dan wujud yang ketiga kebudayaan sebagai
hasil karya yang berwujud benda yang kongkret dimana masyarakat umum biasanya
mengidentikan kebudayaan dalam bentuk benda ini.
Bernyanyi merupakan bentuk nyata terbawanya
jiwa seseorang. Apalagi jika syair-syair yang dibawakan dianggap ‘mewakili’
perasaannya. Kesedihan bisa terobati dengan mendendangkan lagu-lagu ceria,
memunculkan semangat bekerja, bahkan ada orang yang rela meneteskan air mata
disebabkan mendengar lagu-lagu kesedihan. Singkatnya seseorang mudah terbuai
jiwanya dengan nyanyian, buktinya adalah “bernyanyi” sebagai kata kerja umumnya
dilakukan secara sukarela meskipun tidak bisa dipungkiri ada orang yang
bernyanyi karena proses pembelajaran. Ketika
kecil di Tingkat Kanak-kanak (TK) dan Sekolah Dasar (SD) kita sering kali
diminta bernyanyi lagu-lagu wajib kebangsaan. Tujuannya agar sejak dini kita
mencintai tanah air.
Kita bisa mengambil pelajaran dari bangsa
Jepang yang pernah menjajah bangsa Indonesia selama 3.5 tahun. Pentingnya
pembangunan mentalitas masyarakat untuk mendukung kepentingan perang Jepang ternyata
menjadi salah satu kebijakannya. Dalam suasana Perang Dunia II dimana Jepang
semakin terdesak oleh Sekutu, Pemerintah Pendudukan Jepang berusaha menarik
simpati bangsa Indonesia dengan semboyan-semboyan manisnya. Gerakan 3 A (Jepang
Pemimpin Asia, Jepang Cahaya Asia, Jepang Pelindung Asia) rupanya menjadi modal
meminta dukungan bangsa Indonesia.
Pemerintah Pendudukan Jepang yang anti
Eropa ini mengeluarkan serangkaian kebijakan yang berbeda dengan penjajah
sebelumnya. Pemerintah pendudukan Jepang sangat menyadari bahwa aspek
mentalitas harus diterapkan. Beberapa kebijakan terkait aspek mentalitas tersebut
antara lain; Jepang melatih guru-guru agar
memiliki keseragaman pengertian tentang maksud dan tujuan pemerintahannya dengan materi pokok antara lain: (1) Indoktrinasi
ideologi Hakko Ichiu; (2) Nippon Seisyin, yaitu latihan kemiliteran dan
semangat Jepang; (3) Bahasa, sejarah dan adat-istiadat Jepang; (4) Ilmu bumi
dengan perspektif geopolitis; serta (5) Olaharaga dan nyanyian Jepang.
Sementara untuk pembinaan kesiswaan, Jepang mewajibkan bagi setiap murid sekolah
untuk rutin melakukan beberapa aktivitas berikut ini: (1) Menyanyikan lagi
kebangsaan Jepang, Kimigayo setiap pagi; (2) Mengibarkan bendera Jepang,
Hinomura dan menghormat Kaisar Jepang, Tenno Heika setiap pagi; (3) setiap pagi
mereka juga harus bersumpah setia kepada cita-cita Asia Raya; (4) Setiap pagi
mereka juga diwajibkan melakukan Taiso, senam Jepang; (5) Melakukan
latihan-latihan fisik dan militer; (7) Menjadikan bahasa Indonesia sebagai
pengantar dalam pendidikan dan bahasa Jepang menjadi bahasa yang juga wajib
diajarkan.
Aspek mentalitas sangat penting. Inilah
salah satu agenda Jepang pada masa lalu untuk mendukung kepentingannya melawan
sekutu. Kiranya pemerintah pendudukan Jepang sangat menyadari bahwa fisik saja
tidak cukup jika tidak diimbangi kekuatan mental dalam hal ini adalah nyanyian.
Melihat realita saat ini, saya cukup prihatin ketika anak bangsa khususnya para
generasi muda kurang diarahkan agar lebih mencintai bahasa dan budayanya.
Nyanyian dalam bahasa asing sering kali akrab ditelinga melalui beragam acara
kompetisi. Bahkan lebih memprihatinkan lagi ketika ada anak bangsa yang mengatakan
“saya lebih fasih bernyanyi dengan bahasa Asing”. Selain itu belum ada upaya
serius mendorong para seniman untuk mencipta lagu-lagu kebangsaan. Selama ini
saya belum pernah mengetahui ada kompetisi-kompetisi tingkat nasional lomba
cipta lagu nasional. Bahkan pemerintah seakan tak berdaya melawan hegemoni
kepentingan swasta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar