Hingga saat ini belum ada teknologi yang
mampu memprediksi kematian seseorang. Kematian memang selalu menyisakan misteri
yang tak berkesudahan. Misteriusnya kematian tersebut memunculkan respon yang
beragam dikalangan umat manusia. Beragamnya respon tersebut berdasarkan tingkat kemampuan
berpikir masyarakat yang beragam dalam memahami kematian. Apa kematian itu?
Sejak era Yunani Kuno pandangan
mengenai kematian seiring dengan munculnya pandangan tentang manusia. Salah
satu filsuf yang mulai berbicara tentang manusia adalah Socrates (469-399 S.M.).
Pemikiran Socrates kemudian dipertajam lagi oleh muridnya bernama Plato
(427-347 S.M.). Dialah filsuf yang pertama kali memberi perhatian sepenuhnya
kepada manusia (Hatta, 1986 : 84). Dia
berpendapat bahwa semenjak kelahiran, jiwa terperosok masuk ke dalam tubuh.
Tubuh yang merupakan unsur materi ini, menjadi penghalang bagi jiwa. Jiwa yang
selalu bergerak terhalang olehnya dan dalam hal ini jiwa bagaikan tahanan yang
meringkuk dalam penjara tubuh. Pandangan jiwa menjadi terhalang. Pengamatan
inderawi menghalangi pandangan jiwa dan mengakibatkannya semakin jauh dari
kebenaran. Gerakan jiwa merupakan wujud dari keinginannya untuk lepas dari
belenggu tubuh. Hal itu disebabkan jiwa memiliki asal-usul yang lebih luhur daripada
kenyataan dunia ini. Karena itu dia tidak tergantung pada proses perubahan
terus menerus tetapi dia dekat dengan dunia abadi yang terdiri atas ide-ide.
Dunia konkret ini hanyalah sekedar bayangan dari dunia abadi itu. Orientasi
jiwa selalu ke dunia ruhani (dunia immateri), dia selalu memberontak terhadap
tubuh dan pada akhirnya dia berhasil keluar dari belenggu materi, kembali ke
asalnya yang baka. Keberhasilan jiwa lepas dari belanggu tubuh, itulah
kematian.
Berbeda dengan
pendahulunya sang murid Aristoteles dalam proses untuk memahami kematian,
manusia menempuh jalan sendiri. Dia tidak lagi membutuhkan dunia ide (dunia
ruhani) untuk menjelaskan alam semesta termasuk manusia di dalamnya. Aristoteles
justru mengajukan pertanyaan, apakah segala sesuatu mengalami perubahan yang
terus menerus atau tetap dengan kepasifannya? Aristoteles sendiri kemudian
memberikan jawaban bahwa segala sesuatu mengalami proses kelahiran, perubahan dan
kebinasaan yang berlangsung tak henti-hentinya, namun ada juga yang tinggal
tetap yakni perubahan itu sendiri sebagai subjek. Aristoteles merupakan penganut
aliran evolusionisme pertama.
Sementara itu, Martin
Heidegger (1889-1976) seorang filsuf asal Jerman menyatakan bahwa pada
hakikatnya manusia memiliki keterbatasan dalam hal waktu. Terbukti dari
kenyataan bahwa dia dilemparkan—tanpa pilihannya—ke dalam kematian dan di
belakangnya selalu menyertai bayangan akan ketiadaan-nya. “Segera setelah
kelahirannya,” kata Heidegger, “manusia sudah cukup tua untuk mengalami kematian.”
Masa akhir kehidupannya persis dengan permulaan kehidupannya. Keberadaan
manusia merupakan keberadaan menuju mati (being
towards death). Bagi Heidegger, kematian seyogyanya tidak hanya diartikan
sebagai berhentinya kehidupan, atau dalam proses menuju akhir. Proses kematian
adalah cara berada yang diterima manusia segera setelah kelahirannya. Kematian
bukan hanya urusan di masa mendatang, namun selalu hadir di setiap saat masa
sekarang. Maka sikap yang paling baik terhadap kematian adalah secara sadar dan
dalam keputusan pribadi mempersiapkan diri sebaik-baiknya bagi kematian. Dengan
demikian manusia menemukan dirinya yang utuh dan nyata (Hadi, 1996 : 174).
Masih banyak pendapat
para filsuf perihal kematian. Tapi dua pendapat terakhir filsuf lintas abad tersebut
saya kutipkan karena menurut penulis cukup menarik. “Kontruksi usia” mengenai manusia menurut
Aristoteles menimbulkan pertanyaan serius bagi penulis sendiri. Kenyataannya
ada manusia yang dilahirkan berpuluh-puluh tahun lamanya ternyata masih punya
kesempatan merasakan kehidupan meskipun fisiknya tidak bisa disebut muda. Tetapi
ada pula manusia yang menemui kematiannya sejak kelahirannya. Sebagian orang ada
yang belum bisa menerima kenyataan itu. Kematian mendadak selalu menyisakan
tanda-tanya bahkan air mata. Rupaya kontruksi usia yang terbangun dalam benak
manusia telah mengelabuinya bahwa yang namanya kematian harus seiya dan sekata
dengan apa yang ia pikirkan. Tetapi kenyataannya tidak.
Baik Aristoteles maupun
Heideger menyadari bahwa manusia akan menemui kematiannya. Aristoleteles
mengatakan bahwa segala sesuatu termasuk manusia mengalami proses perubahan/siklus.
Adapun Heideger berpendapat bahwa keterbatasan manusia tentang waktu “memaksa”
manusia harus menerima kematiannya dengan sikap mempersiapkan secara sadar
kematiannya dengan sebaik-baiknya.
Magelang, 23
Februari 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar