Minggu, Februari 23, 2014

Imajinasi Kematian


Hingga saat ini belum ada teknologi yang mampu memprediksi kematian seseorang. Kematian memang selalu menyisakan misteri yang tak berkesudahan. Misteriusnya kematian tersebut memunculkan respon yang beragam dikalangan umat manusia. Beragamnya respon tersebut berdasarkan tingkat kemampuan berpikir masyarakat yang beragam dalam memahami kematian. Apa kematian itu?

Sejak era Yunani Kuno pandangan mengenai kematian seiring dengan munculnya pandangan tentang manusia. Salah satu filsuf yang mulai berbicara tentang manusia adalah Socrates (469-399 S.M.). Pemikiran Socrates kemudian dipertajam lagi oleh muridnya bernama Plato (427-347 S.M.). Dialah filsuf yang pertama kali memberi perhatian sepenuhnya kepada manusia (Hatta, 1986 : 84).  Dia berpendapat bahwa semenjak kelahiran, jiwa terperosok masuk ke dalam tubuh. Tubuh yang merupakan unsur materi ini, menjadi penghalang bagi jiwa. Jiwa yang selalu bergerak terhalang olehnya dan dalam hal ini jiwa bagaikan tahanan yang meringkuk dalam penjara tubuh. Pandangan jiwa menjadi terhalang. Pengamatan inderawi menghalangi pandangan jiwa dan mengakibatkannya semakin jauh dari kebenaran. Gerakan jiwa merupakan wujud dari keinginannya untuk lepas dari belenggu tubuh. Hal itu disebabkan jiwa memiliki asal-usul yang lebih luhur daripada kenyataan dunia ini. Karena itu dia tidak tergantung pada proses perubahan terus menerus tetapi dia dekat dengan dunia abadi yang terdiri atas ide-ide. Dunia konkret ini hanyalah sekedar bayangan dari dunia abadi itu. Orientasi jiwa selalu ke dunia ruhani (dunia immateri), dia selalu memberontak terhadap tubuh dan pada akhirnya dia berhasil keluar dari belenggu materi, kembali ke asalnya yang baka. Keberhasilan jiwa lepas dari belanggu tubuh, itulah kematian.
Berbeda dengan pendahulunya sang murid Aristoteles dalam proses untuk memahami kematian, manusia menempuh jalan sendiri. Dia tidak lagi membutuhkan dunia ide (dunia ruhani) untuk menjelaskan alam semesta termasuk manusia di dalamnya. Aristoteles justru mengajukan pertanyaan, apakah segala sesuatu mengalami perubahan yang terus menerus atau tetap dengan kepasifannya? Aristoteles sendiri kemudian memberikan jawaban bahwa segala sesuatu mengalami proses kelahiran, perubahan dan kebinasaan yang berlangsung tak henti-hentinya, namun ada juga yang tinggal tetap yakni perubahan itu sendiri sebagai subjek. Aristoteles merupakan penganut aliran evolusionisme pertama.
Sementara itu, Martin Heidegger (1889-1976) seorang filsuf asal Jerman menyatakan bahwa pada hakikatnya manusia memiliki keterbatasan dalam hal waktu. Terbukti dari kenyataan bahwa dia dilemparkan—tanpa pilihannya—ke dalam kematian dan di belakangnya selalu menyertai bayangan akan ketiadaan-nya. “Segera setelah kelahirannya,” kata Heidegger, “manusia sudah cukup tua untuk mengalami kematian.” Masa akhir kehidupannya persis dengan permulaan kehidupannya. Keberadaan manusia merupakan keberadaan menuju mati (being towards death). Bagi Heidegger, kematian seyogyanya tidak hanya diartikan sebagai berhentinya kehidupan, atau dalam proses menuju akhir. Proses kematian adalah cara berada yang diterima manusia segera setelah kelahirannya. Kematian bukan hanya urusan di masa mendatang, namun selalu hadir di setiap saat masa sekarang. Maka sikap yang paling baik terhadap kematian adalah secara sadar dan dalam keputusan pribadi mempersiapkan diri sebaik-baiknya bagi kematian. Dengan demikian manusia menemukan dirinya yang utuh dan nyata (Hadi, 1996 : 174).
Masih banyak pendapat para filsuf perihal kematian. Tapi dua pendapat terakhir filsuf lintas abad tersebut saya kutipkan karena menurut penulis cukup menarik.  “Kontruksi usia” mengenai manusia menurut Aristoteles menimbulkan pertanyaan serius bagi penulis sendiri. Kenyataannya ada manusia yang dilahirkan berpuluh-puluh tahun lamanya ternyata masih punya kesempatan merasakan kehidupan meskipun fisiknya tidak bisa disebut muda. Tetapi ada pula manusia yang menemui kematiannya sejak kelahirannya. Sebagian orang ada yang belum bisa menerima kenyataan itu. Kematian mendadak selalu menyisakan tanda-tanya bahkan air mata. Rupaya kontruksi usia yang terbangun dalam benak manusia telah mengelabuinya bahwa yang namanya kematian harus seiya dan sekata dengan apa yang ia pikirkan. Tetapi kenyataannya tidak.
Baik Aristoteles maupun Heideger menyadari bahwa manusia akan menemui kematiannya. Aristoleteles mengatakan bahwa segala sesuatu termasuk manusia mengalami proses perubahan/siklus. Adapun Heideger berpendapat bahwa keterbatasan manusia tentang waktu “memaksa” manusia harus menerima kematiannya dengan sikap mempersiapkan secara sadar kematiannya dengan sebaik-baiknya.

Magelang, 23 Februari 2014

Tidak ada komentar: