Sabtu, Februari 22, 2014

"Maskulinisasi" Kaum Perempuan


Pujian positif terhadap kemandirian kaum perempuan dalam menghidupi keluarga terkadang menimbulkan salah persepsi. Sekilas ada perasaan bangga melihat sosok perempuan yang mampu menghidupi keluarga membanting tulang bekerja seharian (singgle fighter). Apalagi tidak tanggung-tanggung pekerjaan yang lakoni adalah pekerjaan yang umumnya dilakukan oleh kaum laki-laki.

Di Jawa Tengah suatu kali saya pernah melihat ada seorang ibu-ibu paruh baya bekerja sebagai sopir sebuah angkutan umum. Saya juga pernah melihat seorang ibu-ibu menjadi buruh dalam sebuah proyek pembuatan jalan raya. Terkadang saya prihatin melihat “sanjungan-sanjungan” yang diberikan publik terhadap keadaan kaum perempuan tersebut. Sanjungan diberitakan seolah-olah memuji dengan menjadikan perempuan tersebut sebagai teladan “perempuan-perempuan tangguh”. Namun dibalik ketangguhan mereka apakah terjadi dalam kondisi normal dimana peran kaum lelaki (baca: suami) sebagai pemimpin rumah tangga berfungsi?. Kebanyakan mereka melakukan pekerjaan-pekerjaan yang umumnya dilakukan laki-laki sebagai reaksi “ketidakberdayaan laki-laki”. Alasan yang lazim dilontarkan seperti “jika tidak bekerja mau diberi makan apa anak-anak dirumah?” Sehingga pekerjaan kasar pun rela mereka lakoni. Artinya sebetulnya mereka melakoni pekerjaan “maskulin” itu secara terpaksa.
Inilah dasar logika yang harus kita pahami. Pengertian “perempuan tangguh” bukanlah identik mampunya kaum perempuan melakukan pekerjaan-pekerjaan kaum maskulin. Tuhan menciptakan laki-laki dan perempuan untuk saling melengkapi. Ada pekerjaan-pekerjaan tertentu yang bisa dioptimalkan melalui tangan laki-laki dan ada pekerjaan-pekerjaan tertentu pula yang bisa dioptimalkan oleh tangan perempuan. Namun demikian dalam kedaan tertentu, laki-laki bisa menjalankan sebagian pekerjaan-pekerjaan kaum perempuan begitupun  juga sebaliknya.
Akan tetapi yang menjadi masalah saat ini adalah sering kali terjadi penegasian oleh sebagian kaum pria atau bahkan lingkungan sekitar terhadap sifat perempuan yang justru dibutuhkan oleh bangsa ini. Dan dampak dari penegasikan itu banyak kaum perempuan merasa “malu” jika ingin bercita-cita menjadi ibu rumah tangga yang baik. Mindset sebagai ibu rumah tangga rupanya sangat buruk bagi masyarakat kita. Banyak perempuan yang lebih mengutamakan karir ketimbang memberikan sayang secara penuh terhadap keluarga (baca: anak). Masing-masing sibuk bekerja mencari nafkah. Sedangkan sang anak diasuh oleh pembantu rumah tangga yang secara jenjang pendidikan umumnya minim. Alhasil anaklah yang menjadi korban. Anak mengalami defisit bimbingan dan kasih sayang orang tua terutama ibu. Wajar saja jika ketika beranjak remaja sang anak mencari kasih sayang “alternatif” di luar rumah. Tragisnya sang anak terjerumus dalam pergaulan yang tidak sehat. Jika demikian masihkah sang anak menjadi objek yang dipersalahkan?
Cara pandang terhadap slogan “perempuan tangguh” harus diluruskan. Perempuan tangguh bukanlah perempuan yang mampu mengejakan pekerjaan kaum laki-laki. Akan tetapi perempuan tangguh  lebih kepada pengotimalan nilai-nilai keperempuannya seperti cinta, kasih sayang, perhatian, kelembutan kepada keluarga dalam upaya membangun kualitas keluarga karena sifat-sifat tersebut amat dibutuhkan dalam upaya membangun bangsa. Sifat-sifat tersebut merupakan sesatu yang imateril (tidak berbentuk benda). Meski demikian sifat tersebut mutlak diperlukan. Oleh sebab itu sudah saatnya marilah kita mulai menghargai hal-hal yang imateril dalam diri perempuan. Sebuah keistimewaan yang dianugrahkan Tuhan untuk kita apresiasi.

Tidak ada komentar: