Pujian positif terhadap kemandirian kaum perempuan
dalam menghidupi keluarga terkadang menimbulkan salah persepsi. Sekilas ada
perasaan bangga melihat sosok perempuan yang mampu menghidupi keluarga
membanting tulang bekerja seharian (singgle
fighter). Apalagi tidak tanggung-tanggung pekerjaan yang lakoni adalah
pekerjaan yang umumnya dilakukan oleh kaum laki-laki.
Di Jawa Tengah suatu kali saya
pernah melihat ada seorang ibu-ibu paruh baya bekerja sebagai sopir sebuah
angkutan umum. Saya juga pernah melihat seorang ibu-ibu menjadi buruh dalam
sebuah proyek pembuatan jalan raya. Terkadang saya prihatin melihat
“sanjungan-sanjungan” yang diberikan publik terhadap keadaan kaum perempuan
tersebut. Sanjungan diberitakan seolah-olah
memuji dengan menjadikan perempuan tersebut sebagai teladan “perempuan-perempuan
tangguh”. Namun dibalik ketangguhan mereka apakah terjadi dalam kondisi normal
dimana peran kaum lelaki (baca: suami) sebagai pemimpin rumah tangga berfungsi?.
Kebanyakan mereka melakukan pekerjaan-pekerjaan yang umumnya dilakukan laki-laki
sebagai reaksi “ketidakberdayaan laki-laki”. Alasan yang lazim dilontarkan seperti “jika tidak bekerja mau
diberi makan apa anak-anak dirumah?” Sehingga pekerjaan kasar pun rela mereka
lakoni. Artinya sebetulnya mereka melakoni pekerjaan “maskulin” itu secara
terpaksa.
Inilah dasar logika yang harus kita
pahami. Pengertian “perempuan tangguh” bukanlah identik mampunya kaum perempuan melakukan
pekerjaan-pekerjaan kaum maskulin. Tuhan menciptakan laki-laki dan perempuan
untuk saling melengkapi. Ada pekerjaan-pekerjaan tertentu yang bisa
dioptimalkan melalui tangan laki-laki dan ada pekerjaan-pekerjaan tertentu pula
yang bisa dioptimalkan oleh tangan perempuan. Namun demikian dalam kedaan
tertentu, laki-laki bisa menjalankan sebagian pekerjaan-pekerjaan kaum
perempuan begitupun juga sebaliknya.
Akan tetapi yang menjadi masalah
saat ini adalah sering kali terjadi penegasian oleh sebagian kaum pria atau
bahkan lingkungan sekitar terhadap sifat perempuan yang justru dibutuhkan oleh
bangsa ini. Dan dampak dari penegasikan itu banyak kaum perempuan merasa “malu”
jika ingin bercita-cita menjadi ibu rumah tangga yang baik. Mindset sebagai ibu rumah tangga rupanya
sangat buruk bagi masyarakat kita. Banyak perempuan yang lebih mengutamakan
karir ketimbang memberikan sayang secara penuh terhadap keluarga (baca: anak).
Masing-masing sibuk bekerja mencari nafkah. Sedangkan sang anak diasuh oleh
pembantu rumah tangga yang secara jenjang pendidikan umumnya minim. Alhasil
anaklah yang menjadi korban. Anak mengalami defisit bimbingan dan kasih sayang
orang tua terutama ibu. Wajar saja jika ketika beranjak remaja sang anak
mencari kasih sayang “alternatif” di luar rumah. Tragisnya sang anak terjerumus
dalam pergaulan yang tidak sehat. Jika demikian masihkah sang anak menjadi
objek yang dipersalahkan?
Cara pandang terhadap slogan
“perempuan tangguh” harus diluruskan. Perempuan tangguh bukanlah perempuan yang
mampu mengejakan pekerjaan kaum laki-laki. Akan tetapi perempuan tangguh lebih kepada pengotimalan nilai-nilai keperempuannya
seperti cinta, kasih sayang, perhatian, kelembutan kepada keluarga dalam upaya
membangun kualitas keluarga karena sifat-sifat tersebut amat dibutuhkan dalam
upaya membangun bangsa. Sifat-sifat tersebut merupakan sesatu yang imateril
(tidak berbentuk benda). Meski demikian sifat tersebut mutlak diperlukan. Oleh sebab
itu sudah saatnya marilah kita mulai menghargai hal-hal yang imateril dalam
diri perempuan. Sebuah keistimewaan yang dianugrahkan Tuhan untuk kita
apresiasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar