Saya
baru menyadari, atau tepatnya sedikit perhatian mengenai peta “Masyarakat Islam
di Indonesia” ketika saya duduk dibangku
kuliah. Adapun pada masa sebelumnya, saya lebih banyak mendapatkan informasi tentang varian “Masyarakat Islam di
Indonesia” lewat cerita-cerita dari
mulut ke mulut.
Di desa-desa biasanya yang menjadi perbicangan hangat adalah seputar perbedaan fiqih antara Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama (NU). Soal apakah shalat shubuh harus memakai qunut atau tidak. Ibu saya sendiri bahkan mewanti-wanti saya agar “menjauhi” ajaran-ajaran Muhammadiyah yang menurut pemahaman ibu saya diluar ajaran yang biasa. Ajaran Muhammadiyah menurut ibu saya melarang mengadakan tahlilan jika ada keluarga yang meninggal. Dengan nada apriori ibu saya berkomentar “Ihhh orang Muhammadiyah itu gak ada tahlilan, emak mah jangan ampe kayak begitu. Masak di kubur begitu aja, kagak diajiin. Kasian amat”.
Dan
saya tidak terlalu memperdulikan ucapan emak saya, karena saya memang belum
terlalu perhatian soal keberagamaan itu. Akan tetapi ketika saya duduk dibangku
kuliah, saya mulai mengerti. Pemahaman itu seiring dengan mulai gemarnya saya
membaca buku. Saya terdaftar sebagai mahasiswa sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro (Undip). Saya berusaha melacak
kembali pemahaman saya tentang sejarah. Sejarah Islam di Indoensia, dan tentang
segala hal yang menjadi tanda tanya selama ini. Lagipula ada motivasi dari
dosen bahwa menjadi mahasiswa sejarah ya harus gemar membaca. Gemar membaca merupakan
modal dasar menjadi mahasiswa jurusan sejarah.
Dampak
dari membaca itulah saya mendapat banyak informasi mengenai Islam dan latar
belakangnya. Saya kebetulan tinggal di kontrakan yang para penghuninya adalah
aktivis Islam kampus. Kadang kala mereka mengajak diskusi tentang perkembangan
Islam. Bagaikan ahli saya ditanya sedemikian rupa tentang Islam padahal saya
masih “sangat hijau” menyandang status mahasiswa sejarah. Dalam hati saya
bertanya-tanya “Ini Mas-masnya mau nge-tes atau gimana kok pertanyaan berat
ditanyakan ke mahasiwa baru gini”. Berhubung waktu itu saya masih “polos” saya
bilang “Gak tahu Mas”. Justru ketika saya bilang “Gak tahu” saya malah dicibir “Lho
katanya mahasiswa sejarah masa gak tahu?”. Itulah momen yang tidak pernah saya
lupakan. Tidak fair memang. Tapi ketidak fair-an itu justru menjadi cambuk bagi
saya agar tetap semangat belajar. Saya mungkin menyimpan dendam “lihat aja
nanti, gua akan tunjukan kapasitas gua sebagai mahasiswa sejarah!”.
Sejak
saat itulah saya menanamkan bahwa membaca merupakan hal yang biasa. Mengenai wawasan
keislaman, saya menjadi semakin mengerti bahwa masuknya Islam ke Indonesia telah
melewati proses panjang. Mengenai masuknya Islam di Indonesia saya berusaha
mendalami hasil-hasil penelitian para ahli baik dari timur maupun barat. Saya berusaha
“menjejalkan” informasi-informasi itu ke dalam kepala saya supaya bisa mengerti
dan jika ada yang bertanya saya mampu menjawabnya. Saya usahakan rajin ke
perpustakaan melihat judul-judul buku. Apalagi di kelas saya menemukan beberapa
teman yang suka bertukar pikiran bahkan ada yang terkesan tidak mau kalah jika
sedang berdiskusi. Dan ini semakin memantik saya agar lebih banyak membaca. Selain
itu kajian-kajian keislaman di kampus juga menambah wawasan saya tentang
problematika umat Islam.
Saya
mulai menyadari posisi Muhammadiyah, Nahdlatul, Ulama (NU), Masyumi Persis,
Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), dll meski
sekias. Selain itu beberapa gerakan mahasiswa Islam seperti HMI, GMNI, CGMI, PMII, PMKRI, GMKI, KAMMI,
Gema Pembebasan (HTI) dll. Semuanya saya pahami ketika duduk di bangku kuliah.
Bahkan bertemu dengan beberapa aktivis-aktivis penggeraknya.
Interaksi saya dengan beberapa gerakan tersebut memang lebih dahulu melalui buku sehingga masih sebatas pengetahuan umum saja. Saya merasakan sekali bahwa terjadi perbedaan cara pandang gerakan masing-masing dalam menginterpretasikan Islam ketika beriteraksi langsung di lapangan.
Interaksi saya dengan beberapa gerakan tersebut memang lebih dahulu melalui buku sehingga masih sebatas pengetahuan umum saja. Saya merasakan sekali bahwa terjadi perbedaan cara pandang gerakan masing-masing dalam menginterpretasikan Islam ketika beriteraksi langsung di lapangan.
Awal sebuah gesekan
Saya merasakan
telah terjadi gesekan ketika diajak ikut seminar kebangsaan di Gunung Pati. Disisi
lain pada hari yang sama di tempat yang berbeda saya juga harus mengikuti
kegiatan mentoring. Namanya GOM (Grand
Opening Mentoring). Jujur saya tidak tahu jika pada hari itu ada kegiatan
mentoring di fakultas saya. Lagi pula memang saya pikir kegiatan mentoring
bukanlah kegiatan wajib kampus bagi mahasiswa.
Saya pun ikut seminar kebangsaan yang saya sendiri sejujurnya
masih belum paham secara detail kegiatannya. Berhubung ada kakak angkatan yang
ngompor-ngompori supaya saya ikut. Ya akhirnya saya pun ikut. Saya pikir itu
adalah kegiatan positif yang tidak salah untuk saya ikuti.
Saya ingat sekali waktu itu, Makrus Ali teman seangkatan saya
mengajak ikut acara seminar selama 3 hari di Gunung Pati. Dia bahkan menjemput
saya di kontrakan. Menunggui saya, memboncengi saya dengan motornya hingga
sampai ke sebuah sekretariat Pergerakan Pemuda Islam Indonesia (PMII) yang
terletak di Gang Nirwanasari III Kelurahan Tembalang Kota Semarang. .....bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar