Minggu, Februari 16, 2014

Umat Islam dalam pengamatan saya


Saya baru menyadari, atau tepatnya sedikit perhatian mengenai peta “Masyarakat Islam di Indonesia”  ketika saya duduk dibangku kuliah. Adapun pada masa sebelumnya, saya lebih banyak mendapatkan  informasi tentang varian “Masyarakat Islam di Indonesia” lewat  cerita-cerita dari mulut ke mulut. 

Di desa-desa biasanya yang menjadi perbicangan hangat adalah seputar perbedaan fiqih antara Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama (NU). Soal apakah shalat shubuh harus memakai qunut atau tidak. Ibu saya sendiri bahkan mewanti-wanti saya agar “menjauhi” ajaran-ajaran Muhammadiyah yang menurut pemahaman ibu saya diluar ajaran yang biasa. Ajaran Muhammadiyah menurut ibu saya melarang mengadakan tahlilan jika ada keluarga yang meninggal. Dengan nada apriori ibu saya berkomentar “Ihhh orang Muhammadiyah itu gak ada tahlilan, emak mah jangan ampe kayak begitu. Masak di kubur begitu aja, kagak diajiin. Kasian amat”. 

Dan saya tidak terlalu memperdulikan ucapan emak saya, karena saya memang belum terlalu perhatian soal keberagamaan itu. Akan tetapi ketika saya duduk dibangku kuliah, saya mulai mengerti. Pemahaman itu seiring dengan mulai gemarnya saya membaca buku. Saya terdaftar sebagai mahasiswa sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro (Undip). Saya berusaha melacak kembali pemahaman saya tentang sejarah. Sejarah Islam di Indoensia, dan tentang segala hal yang menjadi tanda tanya selama ini. Lagipula ada motivasi dari dosen bahwa menjadi mahasiswa sejarah ya harus gemar membaca. Gemar membaca merupakan modal dasar menjadi mahasiswa jurusan sejarah. 

Dampak dari membaca itulah saya mendapat banyak informasi mengenai Islam dan latar belakangnya. Saya kebetulan tinggal di kontrakan yang para penghuninya adalah aktivis Islam kampus. Kadang kala mereka mengajak diskusi tentang perkembangan Islam. Bagaikan ahli saya ditanya sedemikian rupa tentang Islam padahal saya masih “sangat hijau” menyandang status mahasiswa sejarah. Dalam hati saya bertanya-tanya “Ini Mas-masnya mau nge-tes atau gimana kok pertanyaan berat ditanyakan ke mahasiwa baru gini”. Berhubung waktu itu saya masih “polos” saya bilang “Gak tahu Mas”. Justru ketika saya bilang “Gak tahu” saya malah dicibir “Lho katanya mahasiswa sejarah masa gak tahu?”. Itulah momen yang tidak pernah saya lupakan. Tidak fair memang. Tapi ketidak fair-an itu justru menjadi cambuk bagi saya agar tetap semangat belajar. Saya mungkin menyimpan dendam “lihat aja nanti, gua akan tunjukan kapasitas gua sebagai mahasiswa sejarah!”. 

Sejak saat itulah saya menanamkan bahwa membaca merupakan hal yang biasa. Mengenai wawasan keislaman, saya menjadi semakin mengerti bahwa masuknya Islam ke Indonesia telah melewati proses panjang. Mengenai masuknya Islam di Indonesia saya berusaha mendalami hasil-hasil penelitian para ahli baik dari timur maupun barat. Saya berusaha “menjejalkan” informasi-informasi itu ke dalam kepala saya supaya bisa mengerti dan jika ada yang bertanya saya mampu menjawabnya. Saya usahakan rajin ke perpustakaan melihat judul-judul buku. Apalagi di kelas saya menemukan beberapa teman yang suka bertukar pikiran bahkan ada yang terkesan tidak mau kalah jika sedang berdiskusi. Dan ini semakin memantik saya agar lebih banyak membaca. Selain itu kajian-kajian keislaman di kampus juga menambah wawasan saya tentang problematika umat Islam. 

Saya mulai menyadari posisi Muhammadiyah, Nahdlatul, Ulama (NU), Masyumi Persis, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), dll meski sekias. Selain itu beberapa gerakan mahasiswa Islam seperti  HMI, GMNI, CGMI, PMII, PMKRI, GMKI, KAMMI, Gema Pembebasan (HTI) dll. Semuanya saya pahami ketika duduk di bangku kuliah. Bahkan bertemu dengan beberapa aktivis-aktivis penggeraknya. 

Interaksi saya dengan beberapa gerakan tersebut memang lebih dahulu melalui buku sehingga masih sebatas pengetahuan umum saja. Saya merasakan sekali bahwa terjadi perbedaan cara pandang gerakan masing-masing dalam menginterpretasikan Islam ketika beriteraksi langsung di lapangan. 

Awal sebuah gesekan

Saya merasakan telah terjadi gesekan ketika diajak ikut seminar kebangsaan di Gunung Pati. Disisi lain pada hari yang sama di tempat yang berbeda saya juga harus mengikuti kegiatan mentoring. Namanya GOM (Grand Opening Mentoring). Jujur saya tidak tahu jika pada hari itu ada kegiatan mentoring di fakultas saya. Lagi pula memang saya pikir kegiatan mentoring bukanlah kegiatan wajib kampus bagi mahasiswa.

Saya pun ikut seminar kebangsaan yang saya sendiri sejujurnya masih belum paham secara detail kegiatannya. Berhubung ada kakak angkatan yang ngompor-ngompori supaya saya ikut. Ya akhirnya saya pun ikut. Saya pikir itu adalah kegiatan positif yang tidak salah untuk saya ikuti.


Saya ingat sekali waktu itu, Makrus Ali teman seangkatan saya mengajak ikut acara seminar selama 3 hari di Gunung Pati. Dia bahkan menjemput saya di kontrakan. Menunggui saya, memboncengi saya dengan motornya hingga sampai ke sebuah sekretariat Pergerakan Pemuda Islam Indonesia (PMII) yang terletak di Gang Nirwanasari III Kelurahan Tembalang Kota Semarang. .....bersambung...





















Tidak ada komentar: