Selasa, Januari 21, 2014

Ketika Media Jadi Racun




Nuansa kebebasan yang kita rasakan pasca reformasi 1998 haruslah disyukuri sekaligus menjadi bahan renungan mendalam. Bersyukur karena dengan berakhirnya rezim Orde Baru telah membawa negeri ini menuju nuansa yang lebih demokratis. Kebebasan berpendapat, berserikat, serta kritik lebih diaparesiasi. Direnungkan, karena kebebasan yang telah diraih telah membawa negeri ini ke tantangan selanjutnya yang lebih kompleks. Dan negeri ini pun sedang mencari bentuk perihal bagaimana memanfaatkan kebebasannya.
Berbicara mengenai demokrasi, para pakar politik selalu mengatakan ada empat pilar demokrasi, yaitu lembaga yudikatif, eksekutif, legislatif, dan media. Lembaga yudikatif lebih berfungsi sebagai lembaga kehakiman, eksekutif lebih ke pemerintahan, sementara legislatif sebagai lembaga yang membuat undang-undang sekaligus mengawasi kinerja pemerintah. Ada satu lagi yang sering kali luput dari pembicaraan yakni media.  Akan tetapi pilar yang terakhir ini belum mendapatkan sorotan serius.
Media dan Nasionalisme
Dengan nuansa kebebasan yang lebih dilindungi ditambah perkembangan teknologi informasi yang begitu pesat terutama media elektronik kehidupan demokrasi di suatu negara berubah total. Media elektronik memang memudahkan kita dalam berkomunikasi dan mendapatkan informasi. Tapi disisi dunia yang lain media elektronik banyak di gunakan untuk menyampaikan pesan-pesan yang merusak karakter bangsa.
Belum lama Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) melayangkan gugatan kepada beberapa program televisi swasta karena dianggap tidak mendidik bahkan menyeret pada persoalan SARA (http://www.poskotanews.com).
Tindakan KPI harus ditanggapi positif sebagai upaya pencegahan terhadap asupan informasi yang merusak bagi warga terutama generasi muda. Menjadi sebuah pertanyan besar bagi bangsa ini melihat kondisi demikian, apakah negara telah serius membangun rasa cinta tanah air bagi warganya?
Informasi Yang Adil
Jika negara serius membangun karakter bangsa sekaligus ingin memelihara demokrasi, seharusnya arus informasi diatur secara adil. Terlebih-lebih informasi-informasi yang mendukung program pemerintah. Negara harus mampu mengontrol secara tegas tayangan-tayangan yang kurang mendidik. Pastikan tayangan-tayangan yang mendukung program pemerintah harus menjadi arus utama (mainstream) bukan malah terpojokkan oleh program-program “industri” yang semata-mata hanya ingin menaikan rating tanpa memperdulikan dampak negatifnya bagi masyarakat—terutama generasi muda--. .
Sebagai salah satu pendidik di negara yang berjumlah 250 juta jiwa ini, saya merasa usaha kami sebagai pendidik generasi muda kurang mendapatkan dukungan serius dari pemerintah. Mendidik generasi muda bukanlah tugas guru semata, namun tugas semua pihak. Dan negara sebagai pengendali sekaligus fasilitator haruslah berada di garda terdepan.

Tidak ada komentar: