Senin, Juli 21, 2014

Mahasiswa dan Materialisme


Mungkin sebagian besar orang tua pesimis jika anaknya, keponakannya, kerabatnya, memilih masuk jurusan Ilmu-ilmu sosial yang kurang populer.  Jurusan-jurusan yang kurang populer itu antara lain Ilmu Sejarah, Sastra Indonesia, Sosiologi, Antropologi, Filsafat, Arkeologi, bahasa Sunda, D III Kerasipan, Seni Rupa, Seni Tari,  Bahasa Jawa, dll.  Umumnya sikap pesimis tersebut didasari oleh pertanyaan “Nanti mau jadi apa?”, “Kerja dimana?”, dan “Kira-kira dapat gaji berapa?”.

Saya bukan ngarang-ngarang tentang hal ini. Tapi ini merupakan ‘kenyataan’ yang terjadi dalam masyarakat kita (Indonesia). Bahkan dulu ketika saya pertama kali menginjakan kaki di Semarang sebagai mahasiswa baru (mahasiswa ilmu sejarah angkatan 2008), kakak angkatan saya dari jurusan non Sejarah sempat menganggap remeh jurusan yang saya pilih. Dikatakannya jurusan saya adalah jurusan buangan. Selain itu ada juga yang mengatakan bahwa jurusan Sejarah itu tidak prospek, “Meh dadi opo masuk jurusan Sejarah?”. Begitu kira-kira ungkapannya. Argumentasinya karena jumlah mahasiswa yang mendaftar sangat sedikit (angkatan saya klo gak salah berjumlah 28 orang).
Ada momen yang tak terlupakan dimana diskriminasi ini meskipun samar-samar namun begitu terasa. Ketika kami mahasiswa sejarah yang berjumlah sedikit itu mengikuti olahraga. Sikap sinis itu terlihat dari  salah seorang wajah dosen pengampu olahraga dengan intonasi suara yang merendahkan. Tidak perlulah saya ceritakan seperti apa intonasinya. Waktu itu sebagai mahasiswa baru, saya ikut aturan main saja. Saya tidak ambil pusing toh di Undip juga tidak semua dosen pandai. Jadi biasa saja penyikapan saya.
Dan ternyata pandangan sebelah mata itu dialami juga oleh kawan-kawan saya yang lain. Bahkan mungkin karena ‘tekanan’ itu, 2 orang kawan saya pindah jurusan ke Fakultas Ekonomi (sekarang Fakultas Ekonomika dan Bisnis). Dan sebenarnya ada 2 orang lagi yang sampai sekarang saya tidak tahu kejelasannya. Apakah sudah pindah jurusan atau sudah wafat.  Saya juga tidak tahu apakah dulu mereka memilih jurusan sejarah karena ‘kesasar’ ataukah karena memang pilihannya. Jadi bisa saya katakan kondisi mental mahasiswa baru ilmu Sejarah—menurut saya--penuh dengan ‘tekanan’ psikologis yang destruktif. Saya mungkin tidak bisa mengambarkan perasaan teman-teman saya melalui tulisan ini, karena hanya merekalah yang paling mengerti. Bisa jadi tidak seperti apa yang saya ungkapkan.
Saya sendiri tidak memungkiri ‘tekanan’ psikologis itu sempat masuk ke dinding kepala dan menghantui hari-hari saya, plus di tambah pernyataan kakak-kakak angkatan satu jurusan sendiri yang berusaha ‘mendobrak’ keyakinan saya. “Kok mereka malah bikin saya ragu sih bukan malah memotivasi saya? Lalu ngapain mereka bertahan di jurusan Sejarah?”. Mungkin ungkapan-ungkapan kakak-kakak angkatan itu untuk memperkokoh atau menguji keyakinan kami sebagai pendatang baru. Sempat terpikir di benak saya “lu jauh-jauh kuliah di Semarang malah ngambil jurusan Sejarah!”. Benar-benar ‘heboh’ sekali pergulatan batin di awal-awal saya kuliah. Tapi saya berusaha santai saja dengan semua ‘tekanan’ itu.

*
Di lingkungan kampus eksak (sebelum tahun 2010 hanya jurusan Sejarah dan D III kearsipan yang di kampus Tembalang) itu saya bertahan menghadapi ‘tekanan’. Bahkan malah keyakinan saya semakin kuat. Kuatnya keyakinan saya tentu tidak semata-mata berasal dari dalam diri saya sendiri, tapi juga berasal dari motivasi dosen-dosen luar biasa yang menguatkan hati saya agar belajar bersungguh-sungguh. Dosen saya bilang “Banyak alumni kita yang berhasil!”, “Banyak alumni kita yang kerja!”, “Banyak alumni kita yang sukses!”.
            Mungkin saya hidup di “habitat” yang kurang cocok. Semua kawan saya di Tembalang kebanyakan mahasiswa fakutas teknik. Intensitas kesibukan mereka terlihat tinggi sekali. Kerap terdengar ditelinga saya istilah “Praktikum, ngelembur, laporan, asistensi, magang, laboratorium”. Adapun tugas saya paling banter membuat makalah, diskusi, membaca, menerjemah, dan menulis. Jadi gaya hidup belajar saya dan mereka amat mencolok perbedaanya. Lantaran perbedaan gaya belajar itulah terkadang mereka menghakimi saya dengan parameter gaya belajar mereka “Wah santai banget belajarnya lo cuma baca buku doang, kita ini hampir tiap hari ngelembur”. Padahal jika dibilang santai tidak juga.
            Lain halnya ketika saya mulai bergaul dengan “mahasiswa kampus bawah” (sebutan untuk mahasiswa-mahasiswa jurusan ilmu sosial). Tekanan-tekanan psikologis, hebat-hebatan jurusan, tidak lagi terdengar bahkan saya merasa menemukan jati diri saya. Jika di kampus atas sangat kental suasana persaingan, hebat-hebatan jurusan, kaku, justru di kampus bawah saya menemukan suasana yang dinamis. Saat saya pertama kali menginjakan kaki di kampus sastra (sekarang Fakultas Ilmu Budaya) saya melihat kegiatan-kegiatan mahasiswa yang lebih beragam seperti; pentas seni, pembacaan puisi, pergelaran teater, bedah buku, debat-debat “langitan” seputar sastra, filsafat, feminisme, dan gerakan mahasiswa. Itulah gesekan-gesekan saat awal saya masih menjadi mahasiswa baru, dimana setiap orang butuh pengakuan atas eksistensinya. Yang terkadang eksistensi itu dimunculkan tapi meneggelamkan yang lainnya. Selain itu secara visual penampilan anak-anak kampus bawah baik laki maupun perempuannya terlihat lebih glamour dan fashionable. Meskipun ada juga mahasiswa yang kelihatan urak-urakan, kuliah pake jeans robek-robek, sandalan, dan berambut gondrong. Jika di kampus atas dauroh-dauroh, pengajian mahasiswanya begitu rutin dan nampak, sedangkan di bawah justru kegiatan “pesta-pesta” seperti pensi, pergelaran kebudayaan yang nampak. Benar-benar kontras perbedaannya.
 Apa boleh buat saya tinggal di kontrakan yang mayoritas “pegiat angka-angka” semua. Saya tidak bisa mengeksplore lebih dalam mengenai ilmu sejarah. Akhirnya saya lebih sering membaca buku dalam kesendirian. Apalagi di kamar salah satu teman kontrakan saya lumayan banyak buku-buku bacaan yang umumnya buku-buku Islami. Hinaan oknum teman-teman eksak yang arogan menjadi pemicu saya agar melahap buku bacaan yang ada di depan saya. Saya semakin gemar membaca. Di situlah hinaan telah menjadi cambuk bagi saya untuk berubah. Sayangnya cambuk itu bentuknya hinaan sehingga ada unsur dendam di hati saya. Seandainya  cambuk itu berbentuk apresiasi mungkin hasilnya akan lebih baik.
Menariknya di awal saya menjadi mahasiswa baru, saya berkawan dengan beberapa teman dari fakultas teknik yang punya hobi menulis. Bukan menulis laporan, tetapi menulis novel. Saya pernah tanya, “Mas sampeyan itu anak teknik tapi kok hampir tiap hari saya lihat nulis terus?”. Lalu beliau menjawab “Iya saya lagi coba bikin Novel, semoga Novel yang saya buat ini layak diterbitkan”. Agak lama saya berbicara dengan dia, akhirnya dia mengatakan bahwa sebenarnya di lebih suka sastra ketimbang bergelut dengan jurusannya (teknik informatika), Nah lho!.
Saya kira kentalnya perasaan saling merendahkan antar jurusan dilatar belakangi oleh semangat materalisme. Saya pernah bertanya kepada kepada beberapa mahasiswa fakultas teknik tentang persaingan yang terjadi diantara sesama mereka. Ternyata di satu fakultas pun terjadi persaingan antar jurusan. Saya bukan bermaksud mengadu domba, saya hanya ingin bercerita semoga cerita ini patut menjadi renungan. Hebat-hebatan ini lebih di dasari atas jumlah pendapatan yang diperoleh dalam bidang masing-masing. Pendapatan (materi) telah memunculkan saling ejek-mengejek, saling merendahkan.

*
Ada beberapa hal yang bisa saya ambil pelajaran dari fenomena itu semua. Pertama, bahwa materialisme (orientasi terhadap materi) umumnya masih sangat dominan memotivasi seseorang dalam belajar. Niat semacam itu tidak sepenuhnya keliru, toh semua manusia memang butuh kecukupan materi. Tetapi materialisme telah menjadikan seseorang menuntut ilmu hanya semata-mata agar mampu mengeruk materi sebanyak-banyaknya. Kedua, materialisme mempersempit cara berpikir seseorang tentang rezeki. Mereka menganggap bahwa rezeki seseorang itu ditentukan oleh jurusan yang mereka pilih. Padahal rezeki itu urusan Allah. Anggapan itu menjadikan seseorang berani mengklaim kesuksesan seseorang, bahwa seseorang yang tidak mengambil jurusan-jurusan yang populer masa depannya kurang cerah, hidupnya tidak akan lebih baik daripada mahasiswa yang memilih jurusan-jurusan yang populer. Ketiga, materialisme telah mematikan potensi-potensi diri manusia yang harusnya bisa dioptimalkan dengan baik. Seorang mahasiswa yang mungkin minatnya seharusnya di ilmu-ilmu sosial-humaniora (sastra, bahasa, komunikasi, seni, musik, sejarah, dll) hanya karena tidak prestise lalu tidak di pilih. Padahal jika ia memilihnya bisa jadi ia akan menjadi ahli dibidang tersebut. Akan tetapi karena ‘tekanan’ sosial ia merelakan tidak memilihnya. Inilah yang mengakibatkan banyak alumni-alumni perguruan tinggi yang tidak pakar dibidangnya alias sekadar lulus. Jumlah lulusan di negara kita secara kuantitas mungkin banyak, tapi secara kualitas minim. Bukan karena mahasiswa kita yang bodoh, tapi lantaran orientasi materi yang mengarahkan mahasiswa kita hanya sebagai pekerja bukan penemu. Seorang yang bekerja bisa jadi hanya sekadar bisa, ia hanya sebatas jadi alat atau elemen dari sistem yang bekerja. Tapi belum tentu ia bekerja dengan sepenuh cinta. Akan nampak perbedanya seorang yang bekerja atas landasan cinta dengan hanya sekadar bisa tapi tidak cinta. Keempat, materialisme bisa melemahkan mental seseorang dalam berjuang. Untuk memperoleh apa yang dicita-citakan seseorang perlu waktu (proses) yang panjang dan tidak instan. Selain itu seseorang dituntut rela berkorban. Dalam hal ini materialisme menjadikan seseorang memilih menjauh dari tantangan-tantangan kehidupan. Tantangan-tantangan hidup tersebut lantaran tidak mengenakkan  justru malah di hindari bukan di lewati.


Bogor, 21 Juli 2014

Tidak ada komentar: