Mungkin
sebagian besar orang tua pesimis jika anaknya, keponakannya, kerabatnya,
memilih masuk jurusan Ilmu-ilmu sosial yang kurang populer. Jurusan-jurusan yang kurang populer itu
antara lain Ilmu Sejarah, Sastra Indonesia, Sosiologi, Antropologi, Filsafat,
Arkeologi, bahasa Sunda, D III Kerasipan, Seni Rupa, Seni Tari, Bahasa Jawa, dll. Umumnya sikap pesimis tersebut didasari oleh
pertanyaan “Nanti mau jadi apa?”, “Kerja dimana?”, dan “Kira-kira dapat gaji
berapa?”.
Saya bukan ngarang-ngarang tentang hal ini. Tapi ini
merupakan ‘kenyataan’ yang terjadi dalam masyarakat kita (Indonesia). Bahkan
dulu ketika saya pertama kali menginjakan kaki di Semarang sebagai mahasiswa
baru (mahasiswa ilmu sejarah angkatan 2008), kakak angkatan saya dari jurusan
non Sejarah sempat menganggap remeh jurusan yang saya pilih. Dikatakannya
jurusan saya adalah jurusan buangan. Selain itu ada juga yang mengatakan bahwa
jurusan Sejarah itu tidak prospek, “Meh dadi opo masuk jurusan Sejarah?”.
Begitu kira-kira ungkapannya. Argumentasinya karena jumlah mahasiswa yang
mendaftar sangat sedikit (angkatan saya klo gak salah berjumlah 28 orang).
Ada momen yang tak terlupakan dimana diskriminasi ini
meskipun samar-samar namun begitu terasa. Ketika kami mahasiswa sejarah yang
berjumlah sedikit itu mengikuti olahraga. Sikap sinis itu terlihat dari salah seorang wajah dosen pengampu olahraga dengan
intonasi suara yang merendahkan. Tidak perlulah saya ceritakan seperti apa
intonasinya. Waktu itu sebagai mahasiswa baru, saya ikut aturan main saja. Saya
tidak ambil pusing toh di Undip juga tidak semua dosen pandai. Jadi biasa saja
penyikapan saya.
Dan ternyata pandangan sebelah mata itu dialami juga oleh
kawan-kawan saya yang lain. Bahkan mungkin karena ‘tekanan’ itu, 2 orang kawan
saya pindah jurusan ke Fakultas Ekonomi (sekarang Fakultas Ekonomika dan
Bisnis). Dan sebenarnya ada 2 orang lagi yang sampai sekarang saya tidak tahu
kejelasannya. Apakah sudah pindah jurusan atau sudah wafat. Saya juga tidak tahu apakah dulu mereka memilih
jurusan sejarah karena ‘kesasar’ ataukah karena memang pilihannya. Jadi bisa
saya katakan kondisi mental mahasiswa baru ilmu Sejarah—menurut saya--penuh
dengan ‘tekanan’ psikologis yang destruktif. Saya mungkin tidak bisa
mengambarkan perasaan teman-teman saya melalui tulisan ini, karena hanya
merekalah yang paling mengerti. Bisa jadi tidak seperti apa yang saya
ungkapkan.
Saya sendiri tidak memungkiri ‘tekanan’ psikologis itu sempat
masuk ke dinding kepala dan menghantui hari-hari saya, plus di tambah
pernyataan kakak-kakak angkatan satu jurusan sendiri yang berusaha ‘mendobrak’
keyakinan saya. “Kok mereka malah bikin saya ragu sih bukan malah memotivasi
saya? Lalu ngapain mereka bertahan di jurusan Sejarah?”. Mungkin
ungkapan-ungkapan kakak-kakak angkatan itu untuk memperkokoh atau menguji
keyakinan kami sebagai pendatang baru. Sempat terpikir di benak saya “lu
jauh-jauh kuliah di Semarang malah ngambil jurusan Sejarah!”. Benar-benar ‘heboh’
sekali pergulatan batin di awal-awal saya kuliah. Tapi saya berusaha santai
saja dengan semua ‘tekanan’ itu.
*
Di lingkungan kampus eksak (sebelum tahun 2010 hanya jurusan
Sejarah dan D III kearsipan yang di kampus Tembalang) itu saya bertahan
menghadapi ‘tekanan’. Bahkan malah keyakinan saya semakin kuat. Kuatnya
keyakinan saya tentu tidak semata-mata berasal dari dalam diri saya sendiri,
tapi juga berasal dari motivasi dosen-dosen luar biasa yang menguatkan hati
saya agar belajar bersungguh-sungguh. Dosen saya bilang “Banyak alumni kita
yang berhasil!”, “Banyak alumni kita yang kerja!”, “Banyak alumni kita yang
sukses!”.
Mungkin saya hidup di “habitat” yang
kurang cocok. Semua kawan saya di Tembalang kebanyakan mahasiswa fakutas
teknik. Intensitas kesibukan mereka terlihat tinggi sekali. Kerap terdengar
ditelinga saya istilah “Praktikum, ngelembur, laporan, asistensi, magang,
laboratorium”. Adapun tugas saya paling banter membuat makalah, diskusi,
membaca, menerjemah, dan menulis. Jadi gaya hidup belajar saya dan mereka amat
mencolok perbedaanya. Lantaran perbedaan gaya belajar itulah terkadang mereka menghakimi
saya dengan parameter gaya belajar mereka “Wah santai banget belajarnya lo cuma
baca buku doang, kita ini hampir tiap hari ngelembur”. Padahal jika dibilang
santai tidak juga.
Lain halnya ketika saya mulai
bergaul dengan “mahasiswa kampus bawah” (sebutan untuk mahasiswa-mahasiswa
jurusan ilmu sosial). Tekanan-tekanan psikologis, hebat-hebatan jurusan,
tidak lagi terdengar bahkan saya merasa menemukan jati diri saya. Jika di
kampus atas sangat kental suasana persaingan, hebat-hebatan jurusan, kaku,
justru di kampus bawah saya menemukan suasana yang dinamis. Saat saya pertama
kali menginjakan kaki di kampus sastra (sekarang Fakultas Ilmu Budaya) saya
melihat kegiatan-kegiatan mahasiswa yang lebih beragam seperti; pentas seni,
pembacaan puisi, pergelaran teater, bedah buku, debat-debat “langitan” seputar
sastra, filsafat, feminisme, dan gerakan mahasiswa. Itulah gesekan-gesekan saat
awal saya masih menjadi mahasiswa baru, dimana setiap orang butuh pengakuan
atas eksistensinya. Yang terkadang eksistensi itu dimunculkan tapi
meneggelamkan yang lainnya. Selain itu secara visual penampilan anak-anak
kampus bawah baik laki maupun perempuannya terlihat lebih glamour dan
fashionable. Meskipun ada juga mahasiswa yang kelihatan urak-urakan, kuliah
pake jeans robek-robek, sandalan, dan berambut gondrong. Jika di kampus atas
dauroh-dauroh, pengajian mahasiswanya begitu rutin dan nampak, sedangkan di
bawah justru kegiatan “pesta-pesta” seperti pensi, pergelaran kebudayaan yang
nampak. Benar-benar kontras perbedaannya.
Apa boleh buat saya
tinggal di kontrakan yang mayoritas “pegiat angka-angka” semua. Saya tidak bisa
mengeksplore lebih dalam mengenai ilmu sejarah. Akhirnya saya lebih sering
membaca buku dalam kesendirian. Apalagi di kamar salah satu teman kontrakan
saya lumayan banyak buku-buku bacaan yang umumnya buku-buku Islami. Hinaan
oknum teman-teman eksak yang arogan menjadi pemicu saya agar melahap buku
bacaan yang ada di depan saya. Saya semakin gemar membaca. Di situlah hinaan
telah menjadi cambuk bagi saya untuk berubah. Sayangnya cambuk itu bentuknya
hinaan sehingga ada unsur dendam di hati saya. Seandainya cambuk itu berbentuk apresiasi mungkin
hasilnya akan lebih baik.
Menariknya di awal saya menjadi mahasiswa baru, saya berkawan
dengan beberapa teman dari fakultas teknik yang punya hobi menulis. Bukan
menulis laporan, tetapi menulis novel. Saya pernah tanya, “Mas sampeyan itu
anak teknik tapi kok hampir tiap hari saya lihat nulis terus?”. Lalu beliau
menjawab “Iya saya lagi coba bikin Novel, semoga Novel yang saya buat ini layak
diterbitkan”. Agak lama saya berbicara dengan dia, akhirnya dia mengatakan
bahwa sebenarnya di lebih suka sastra ketimbang bergelut dengan jurusannya
(teknik informatika), Nah lho!.
Saya kira kentalnya perasaan saling merendahkan antar jurusan
dilatar belakangi oleh semangat materalisme. Saya pernah bertanya kepada kepada
beberapa mahasiswa fakultas teknik tentang persaingan yang terjadi diantara
sesama mereka. Ternyata di satu fakultas pun terjadi persaingan antar jurusan. Saya
bukan bermaksud mengadu domba, saya hanya ingin bercerita semoga cerita ini
patut menjadi renungan. Hebat-hebatan ini lebih di dasari atas jumlah
pendapatan yang diperoleh dalam bidang masing-masing. Pendapatan (materi) telah
memunculkan saling ejek-mengejek, saling merendahkan.
*
Ada beberapa hal yang bisa saya ambil pelajaran dari fenomena
itu semua. Pertama, bahwa materialisme (orientasi terhadap materi)
umumnya masih sangat dominan memotivasi seseorang dalam belajar. Niat semacam
itu tidak sepenuhnya keliru, toh semua manusia memang butuh kecukupan materi.
Tetapi materialisme telah menjadikan seseorang menuntut ilmu hanya semata-mata agar
mampu mengeruk materi sebanyak-banyaknya. Kedua, materialisme
mempersempit cara berpikir seseorang tentang rezeki. Mereka menganggap bahwa
rezeki seseorang itu ditentukan oleh jurusan yang mereka pilih. Padahal rezeki
itu urusan Allah. Anggapan itu menjadikan seseorang berani mengklaim kesuksesan
seseorang, bahwa seseorang yang tidak mengambil jurusan-jurusan yang populer
masa depannya kurang cerah, hidupnya tidak akan lebih baik daripada mahasiswa
yang memilih jurusan-jurusan yang populer. Ketiga, materialisme telah
mematikan potensi-potensi diri manusia yang harusnya bisa dioptimalkan dengan
baik. Seorang mahasiswa yang mungkin minatnya seharusnya di ilmu-ilmu
sosial-humaniora (sastra, bahasa, komunikasi, seni, musik, sejarah, dll) hanya
karena tidak prestise lalu tidak di pilih. Padahal jika ia memilihnya bisa jadi
ia akan menjadi ahli dibidang tersebut. Akan tetapi karena ‘tekanan’ sosial ia
merelakan tidak memilihnya. Inilah yang mengakibatkan banyak alumni-alumni perguruan
tinggi yang tidak pakar dibidangnya alias sekadar lulus. Jumlah lulusan di
negara kita secara kuantitas mungkin banyak, tapi secara kualitas minim. Bukan
karena mahasiswa kita yang bodoh, tapi lantaran orientasi materi yang
mengarahkan mahasiswa kita hanya sebagai pekerja bukan penemu. Seorang yang
bekerja bisa jadi hanya sekadar bisa, ia hanya sebatas jadi alat atau elemen
dari sistem yang bekerja. Tapi belum tentu ia bekerja dengan sepenuh cinta.
Akan nampak perbedanya seorang yang bekerja atas landasan cinta dengan hanya
sekadar bisa tapi tidak cinta. Keempat, materialisme bisa melemahkan
mental seseorang dalam berjuang. Untuk memperoleh apa yang dicita-citakan
seseorang perlu waktu (proses) yang panjang dan tidak instan. Selain itu seseorang
dituntut rela berkorban. Dalam hal ini materialisme menjadikan seseorang
memilih menjauh dari tantangan-tantangan kehidupan. Tantangan-tantangan hidup
tersebut lantaran tidak mengenakkan justru malah di hindari bukan di lewati.
Bogor, 21 Juli 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar