Selasa, Juli 15, 2014

Cinta, Keyakinan, Perjuangan


Saya merasakan betapa tidak enaknya jatuh cinta saat masih duduk di bangku SMA. Awalnya saya tidak terpikir bisa jatuh cinta. Boro-boro mikir jatuh cinta.  Saat itu saya sangat minder dengan keadaan. Keadaan keuangan keluarga yang fluktuatif menguras batin saya. Meskipun masalah keuangan adalah masalah orang tua, tapi sebagai anak yang menginjak usia remaja dan setiap hari melihat keseharian kehidupan keluarga, saya tidak seratus persen tenang belajar.

Kondisi ini berawal ketika saya bersama ayah melakukan daftar ulang di SMUN 1 Parung (sekarang SMAN 1 Parung). Ayah saya berbisik pelan ketelinga saya dengan wajah agak panik. “Ton bapak cuma bawa duit 600 ribu ih boleh gak ya klo bayar segitu dulu...?”. Saya lagsung lemes dan berkeringat, ternyata bapak saya tidak punya uang. Sembari menunggu antrean, wajah saya agak murung, dalam hati sempat berbisik “Ya Allah apa saya gak usah melanjutkan sekolah saja ya? Kasihan bapak saya...”. Ayah berada diurutan ke-5 dari antrean tersebut. Dengan perasaan khawatir, saya lihat ada seorang petugas daftar ulang sedang sibuk menghitung dan mengecek keaslian uang. “Alangkah banyak sekali uang itu” gumam saya.
Seorang ibu dengan wajah yang juga panik sedang bernegosiasi kepada petugas daftar ulang. Dengan ekspresi memohon sang ibu meminta “Bu...saya baru ada uang satu juta, apa saya bisa daftar ulang anak saya?”. Sontak saya dan Bapak jadi semakin panik. Si Ibu yang punya uang 1 Juta saja sedemikian memohon, lalu bagaimana dengan kami?. Ayah saya langsung meminta saya tetap di tempat. “Jangan kemana-mana bapak mau pinjam ke Bu Neran dulu”. Ayah langsung keluar dari barisan antrean menemui Bu Neran untuk meminjam uang. Kebetulan ayah saya kenal dengan Bu Neran yang juga orang kaya di desa sebelah. Bu Neran pun sama, ia sedang mendaftarkan ulang si Riyan, teman SD saya yang juga mendaftar di SMUN. Saya tidak tahu persis apakah ayah bertemu  Bu Neran, tapi ketika kembali, wajah ayah tidak berubah, tetap tidak sumringah. “Bu Neran kagak punya!” kata ayah saya.  Saya ingat sekali bahwa total yang harus dibayar berjumlah Rp. 2.540.000
Tibalah saatnya saya dan ayah daftar ulang. Sebelum ditanya, ayah langsung bilang jika baru ada uang 600 ribu. Alhamdulillah ternyata boleh mencicil pembayaran. Benar-benar lega rasanya. Setelah itu saya mengikuti kegiatan wawancara, membaca al quran dan mengukur seragam. Saat wawancara perasaan saya sangat terobati karena ibu yang mewawancarai begitu empati mendengar keluh kesah ayah saya. Sejak saat itulah entah mengapa saya menyadari bahwa keluarga saya memang miskin. Waktu itu mungkin saya terlalu berlebihan berkesimpulan. Akan tetapi momen itulah yang menghabisi kepercayaan diri saya. Dalam hati saya sempat bertanya-tanya “Apa saya salah daftar sekolah?”. SMUN 1 Parung memang sekolah Negeri yang ada di tingkat kecamatan. Akan tetapi kualitasnya terkenal di masyarakat sebagai sekolah negeri unggulan. Ketika saya diterima di SMUN, guru-guru saya pun memuji. Bahkan ada kawan-kawan saya yang sama juga mendaftar tidak diterima.
Kondisi seperti itu membuat saya tidak kepikiran tentang hal yang lain seperti cinta-cintaan, perempuan, dan main-main. Saya masih berjuang membangun kepercayaan diri. Ternyata membangun kepercayaan diri, meyakinkan diri jika kita mampu itu tidak gampang butuh perjuangan dan logika.
Hal yang paling membebani perasaan saya ialah saat-saat masa orientasi siswa disini kakak-kakak pemimbing memerintahkan kami para siswa baru membawa perlengkapan yang dibutuhkan untuk MOS. Saya waktu itu sangat khawatir tidak mampu mengikuti MOS dengan baik. Bukan karena tidak suka dengan kegiatan tersebut, tetapi karena perlengkapan yang diminta oleh panitia MOS itu bagi saya cukup memberatkan keuangan orang tua saya.
Ketika saya meminta tambahan uang untuk membeli perlengkapan kepada orang tua, ayah dan ibu saya dengan penuh keberatan berkata “Wah kok banyak banget keluarin uang sih”. Meskipun demikian ayah dan ibu selalu memberikan uang. Kata-kata itulah yang membuat saya tidak enak kepada orang tua. Saya serasa selalu membebani mereka. Jujur saya adalah tipe anak yang sangat tidak betah meminta banyak hal kepada orang tua. Mungkin bagi sebagian kawan, ini bukanlah permasalahan, tapi bagi keluarga buruh ternak seperti ayah saya, hal seperti ini sangat memberatkan. Hal semacam ini juga yang membuat pikiran saya tidak tenang selama mengikuti kegiatan MOS. Orang tua saya tidak mengerti apa itu MOS. Mereka pikir saya bisa langsung bersekolah saja. Kondisi seperti itula yang membuat saya benar-benar tidak bisa bergerak leluasa berkegiatan di sekolah termasuk alasan mengapa saya selalu menjaga jarak dengan perempuan. Saya sangat yakin jika saya niat ingin berpacaran, saya pasti bisa melakukannya. Saya pernah dekat dengan beberapa perempuan yang jika di perhatikan sikapnya juga menaru perhatian kepada saya. Bahkan saya yakin seandainya saya “tembak” dia akan mau. Tapi apa daya waktu itu banyak sekali beban pikiran yang membuat saya tidak sampai melakukan itu. Dulu hati kecil saya protes dengan keadaan serba tak berdaya itu, namun perlahan-lahan mata saya mulai terbuka bahwa Allah begitu menyayangi saya.
Mungkid, 14 Juli 2014

Tidak ada komentar: