Saya
merasakan betapa tidak enaknya jatuh cinta saat masih duduk di bangku SMA.
Awalnya saya tidak terpikir bisa jatuh cinta. Boro-boro mikir jatuh cinta. Saat itu saya sangat minder dengan keadaan.
Keadaan keuangan keluarga yang fluktuatif menguras batin saya. Meskipun masalah
keuangan adalah masalah orang tua, tapi sebagai anak yang menginjak usia remaja
dan setiap hari melihat keseharian kehidupan keluarga, saya tidak seratus
persen tenang belajar.
Kondisi ini berawal ketika saya bersama ayah melakukan
daftar ulang di SMUN 1 Parung (sekarang SMAN 1 Parung). Ayah saya berbisik
pelan ketelinga saya dengan wajah agak panik. “Ton bapak cuma bawa duit 600
ribu ih boleh gak ya klo bayar segitu dulu...?”. Saya lagsung lemes dan
berkeringat, ternyata bapak saya tidak punya uang. Sembari menunggu antrean,
wajah saya agak murung, dalam hati sempat berbisik “Ya Allah apa saya gak usah
melanjutkan sekolah saja ya? Kasihan bapak saya...”. Ayah berada diurutan ke-5
dari antrean tersebut. Dengan perasaan khawatir, saya lihat ada seorang petugas
daftar ulang sedang sibuk menghitung dan mengecek keaslian uang. “Alangkah
banyak sekali uang itu” gumam saya.
Seorang
ibu dengan wajah yang juga panik sedang bernegosiasi kepada petugas daftar
ulang. Dengan ekspresi memohon sang ibu meminta “Bu...saya baru ada uang satu
juta, apa saya bisa daftar ulang anak saya?”. Sontak saya dan Bapak jadi
semakin panik. Si Ibu yang punya uang 1 Juta saja sedemikian memohon, lalu
bagaimana dengan kami?. Ayah saya langsung meminta saya tetap di tempat. “Jangan
kemana-mana bapak mau pinjam ke Bu Neran dulu”. Ayah langsung keluar dari
barisan antrean menemui Bu Neran untuk meminjam uang. Kebetulan ayah saya kenal
dengan Bu Neran yang juga orang kaya di desa sebelah. Bu Neran pun sama, ia
sedang mendaftarkan ulang si Riyan, teman SD saya yang juga mendaftar di SMUN. Saya
tidak tahu persis apakah ayah bertemu Bu
Neran, tapi ketika kembali, wajah ayah tidak berubah, tetap tidak sumringah. “Bu
Neran kagak punya!” kata ayah saya. Saya
ingat sekali bahwa total yang harus dibayar berjumlah Rp. 2.540.000
Tibalah
saatnya saya dan ayah daftar ulang. Sebelum ditanya, ayah langsung bilang jika
baru ada uang 600 ribu. Alhamdulillah ternyata boleh mencicil pembayaran. Benar-benar
lega rasanya. Setelah itu saya mengikuti kegiatan wawancara, membaca al quran
dan mengukur seragam. Saat wawancara perasaan saya sangat terobati karena ibu
yang mewawancarai begitu empati mendengar keluh kesah ayah saya. Sejak saat
itulah entah mengapa saya menyadari bahwa keluarga saya memang miskin. Waktu
itu mungkin saya terlalu berlebihan berkesimpulan. Akan tetapi momen itulah
yang menghabisi kepercayaan diri saya. Dalam hati saya sempat bertanya-tanya
“Apa saya salah daftar sekolah?”. SMUN 1 Parung memang sekolah Negeri yang ada
di tingkat kecamatan. Akan tetapi kualitasnya terkenal di masyarakat sebagai
sekolah negeri unggulan. Ketika saya diterima di SMUN, guru-guru saya pun
memuji. Bahkan ada kawan-kawan saya yang sama juga mendaftar tidak diterima.
Kondisi
seperti itu membuat saya tidak kepikiran tentang hal yang lain seperti
cinta-cintaan, perempuan, dan main-main. Saya masih berjuang membangun
kepercayaan diri. Ternyata membangun kepercayaan diri, meyakinkan diri jika
kita mampu itu tidak gampang butuh perjuangan dan logika.
Hal
yang paling membebani perasaan saya ialah saat-saat masa orientasi siswa disini
kakak-kakak pemimbing memerintahkan kami para siswa baru membawa perlengkapan
yang dibutuhkan untuk MOS. Saya waktu itu sangat khawatir tidak mampu mengikuti
MOS dengan baik. Bukan karena tidak suka dengan kegiatan tersebut, tetapi
karena perlengkapan yang diminta oleh panitia MOS itu bagi saya cukup
memberatkan keuangan orang tua saya.
Ketika
saya meminta tambahan uang untuk membeli perlengkapan kepada orang tua, ayah
dan ibu saya dengan penuh keberatan berkata “Wah kok banyak banget keluarin
uang sih”. Meskipun demikian ayah dan ibu selalu memberikan uang. Kata-kata
itulah yang membuat saya tidak enak kepada orang tua. Saya serasa selalu
membebani mereka. Jujur saya adalah tipe anak yang sangat tidak betah meminta
banyak hal kepada orang tua. Mungkin bagi sebagian kawan, ini bukanlah
permasalahan, tapi bagi keluarga buruh ternak seperti ayah saya, hal seperti
ini sangat memberatkan. Hal semacam ini juga yang membuat pikiran saya tidak
tenang selama mengikuti kegiatan MOS. Orang tua saya tidak mengerti apa itu
MOS. Mereka pikir saya bisa langsung bersekolah saja. Kondisi seperti itula
yang membuat saya benar-benar tidak bisa bergerak leluasa berkegiatan di
sekolah termasuk alasan mengapa saya selalu menjaga jarak dengan perempuan. Saya
sangat yakin jika saya niat ingin berpacaran, saya pasti bisa melakukannya. Saya
pernah dekat dengan beberapa perempuan yang jika di perhatikan sikapnya juga
menaru perhatian kepada saya. Bahkan saya yakin seandainya saya “tembak” dia
akan mau. Tapi apa daya waktu itu banyak sekali beban pikiran yang membuat saya
tidak sampai melakukan itu. Dulu hati kecil saya protes dengan keadaan serba
tak berdaya itu, namun perlahan-lahan mata saya mulai terbuka bahwa Allah
begitu menyayangi saya.
Mungkid, 14 Juli 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar