Saya
tidak habis pikir dengan munculnya sekolah-sekolah swasta yang menyediakan
“jasa” kuliah super singkat untuk mengejar gelar. Kok bisa-bisanya pemerintah
memberikan izin kepada lembaga-lembaga tersebut?. Bukankah tujuan utama
didirikannya lembaga pendidikan adalah untuk melahirkan manusia yang
berkebudayaan?. Dari niatnya saja sudah tercium pekat aroma pragmatisme. Bukan
ilmu pengetahuan yang di kembangkan dalam lembaga itu akan tetapi “dagang sapi”
belaka. Bagaimana mungkin kepalsuan ini dipelihara secara nyata di negeri ini?
Pembiaran
ini menyuburkan mental-mental pragmatisme yang serius. Pragmatisme yang saya
maksud bukan bermakna positif tetapi negatif. Mungkin sebelumnya orang akan lebih
bersungguh-sungguh belajar. Di dasar hatinya tergerak ingin bersungguh-sungguh
menuntut ilmu. Namun apa mau di kata keinginan-keinginan mulia itu harus
berhadapan dengan dunia yang penuh kepalsuan. Dunia yang menuntut segalanya
harus nyata (materi) secara cepat (instan) dan menjanjikan. Dunia yang secara
tidak sadar menuhankan hedonisme atau kesenang-senangan belaka. Kesenangan
tidak dipungkiri diinginkan semua orang. Tetapi jangan dilupakan, ada
kesenangan tentu ada kesusahan. Orang tidak akan mengenal istilah “susah” jika
ia tidak merasakan “senang”. Begitu juga sebaliknya. Inilah prinsip yang harus
dipahami bahwa hidup bukan hanya ada senang-senang belaka tetapi juga ada
susahnya. Tapi akhir-akhir ini saya melihat kebanyakan orang lupa, sehingga
seakan-akan kesusahan harus dihindari bukan dilewati.
Bahkan
yang paling parah adalah sampai ada orang yang menghalalkan segala cara demi
meraup materi. Ia beranggapan bahwa dengan banyaknya materi yang ia tumpuk,
maka akan dipandang mulia oleh manusia dan membahagiakan hidupnya. Di hadapan
sebagian manusia mungkin prestise itu membahagiakan batinnya sesaat. Ia terbuai
dengan pujian dan tersanjung sedemikian tinggi. Namun belum tentu sanjungan di
mata manusia itu mulia dihadapan Tuhan, apalagi proses memperoleh materi itu
mendzalimi manusia yang lainnya, atau diperoleh dengan cara-cara yang tidak di
kehendaki Tuhan. Di hadapan manusia-pun belum tentu di pandang mulia.
Persis
seperti semangat Merkantilisme Eropa pada abad 18-19 yang menjadikan materi (logam
mulia) sebagai tolak ukur kejayaan. Padahal
menurut saya kemuliaan bukanlah ujug-ujug dipandang dari aspek materi dengan
mengabaikan nilai-nilai yang tak nampak, akan tetapi juga proses memperolehnya.
Dalam
dunia pendidikan di Indonesia, saya melihat pramatisme telah menjadi racun
mematikan nilai-nilai perjuangan. Seseorang yang hidup dalam kondisi demikian melihat
pendidikan bukan lagi sarana untuk mengembangkan ilmu yang mencerahkan
kehidupan manusia. Para pencari ilmu harus berhadap-hadapan dengan iming-iming
sesaat yang begitu menggoda. Alhasil kondisi ini mau tidak mau semakin melunturkan
semangat juang, dedikasi, para pencari ilmu. Ada yang tetap konsisten berjuang mengembangkan
ilmu pengetahuan meski ia tak bergelimang harta. Namun ada juga yang menyerah
takluk pada rayuan keadaan. Begitulah hidup terkadang dilematis.
Mungkid
4 Juli 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar