Jumat, Juli 04, 2014

Saat Hedonisme, Pragmatisme, Meracuni Dunia Pendidikan


Saya tidak habis pikir dengan munculnya sekolah-sekolah swasta yang menyediakan “jasa” kuliah super singkat untuk mengejar gelar. Kok bisa-bisanya pemerintah memberikan izin kepada lembaga-lembaga tersebut?. Bukankah tujuan utama didirikannya lembaga pendidikan adalah untuk melahirkan manusia yang berkebudayaan?. Dari niatnya saja sudah tercium pekat aroma pragmatisme. Bukan ilmu pengetahuan yang di kembangkan dalam lembaga itu akan tetapi “dagang sapi” belaka. Bagaimana mungkin kepalsuan ini dipelihara secara nyata di negeri ini?

Pembiaran ini menyuburkan mental-mental pragmatisme yang serius. Pragmatisme yang saya maksud bukan bermakna positif tetapi negatif. Mungkin sebelumnya orang akan lebih bersungguh-sungguh belajar. Di dasar hatinya tergerak ingin bersungguh-sungguh menuntut ilmu. Namun apa mau di kata keinginan-keinginan mulia itu harus berhadapan dengan dunia yang penuh kepalsuan. Dunia yang menuntut segalanya harus nyata (materi) secara cepat (instan) dan menjanjikan. Dunia yang secara tidak sadar menuhankan hedonisme atau kesenang-senangan belaka. Kesenangan tidak dipungkiri diinginkan semua orang. Tetapi jangan dilupakan, ada kesenangan tentu ada kesusahan. Orang tidak akan mengenal istilah “susah” jika ia tidak merasakan “senang”. Begitu juga sebaliknya. Inilah prinsip yang harus dipahami bahwa hidup bukan hanya ada senang-senang belaka tetapi juga ada susahnya. Tapi akhir-akhir ini saya melihat kebanyakan orang lupa, sehingga seakan-akan kesusahan harus dihindari bukan dilewati.

Bahkan yang paling parah adalah sampai ada orang yang menghalalkan segala cara demi meraup materi. Ia beranggapan bahwa dengan banyaknya materi yang ia tumpuk, maka akan dipandang mulia oleh manusia dan membahagiakan hidupnya. Di hadapan sebagian manusia mungkin prestise itu membahagiakan batinnya sesaat. Ia terbuai dengan pujian dan tersanjung sedemikian tinggi. Namun belum tentu sanjungan di mata manusia itu mulia dihadapan Tuhan, apalagi proses memperoleh materi itu mendzalimi manusia yang lainnya, atau diperoleh dengan cara-cara yang tidak di kehendaki Tuhan. Di hadapan manusia-pun belum tentu di pandang mulia.

Persis seperti semangat Merkantilisme Eropa pada abad 18-19 yang menjadikan materi (logam mulia) sebagai tolak ukur kejayaan.  Padahal menurut saya kemuliaan bukanlah ujug-ujug dipandang dari aspek materi dengan mengabaikan nilai-nilai yang tak nampak, akan tetapi juga proses memperolehnya.

Dalam dunia pendidikan di Indonesia, saya melihat pramatisme telah menjadi racun mematikan nilai-nilai perjuangan. Seseorang yang hidup dalam kondisi demikian melihat pendidikan bukan lagi sarana untuk mengembangkan ilmu yang mencerahkan kehidupan manusia. Para pencari ilmu harus berhadap-hadapan dengan iming-iming sesaat yang begitu menggoda. Alhasil kondisi ini mau tidak mau semakin melunturkan semangat juang, dedikasi, para pencari ilmu.  Ada yang tetap konsisten berjuang mengembangkan ilmu pengetahuan meski ia tak bergelimang harta. Namun ada juga yang menyerah takluk pada rayuan keadaan. Begitulah hidup terkadang dilematis.

Mungkid 4 Juli 2014

Tidak ada komentar: