Kematian merupakan
kepastian. Kematian berlaku bagi semua makhluk Allah. Yang tua maupun muda,
yang kaya maupun miskin, pejabat maupun rakyat jelata, yang pandai maupun yang
belum pandai, yang berkulit hitam ataupun yang putih. Semuanya yang bernyawa
pasti akan mati. Yang saat ini sedang gagah-gagahnya lambat laun akan rapuh,
menua lalu mati. Yang saat ini sedang berbangga-bangga dengan hartanya,
kecantikannya, kekuasaanya pun lambat laun akan hilang dimakan usia. Mau tidak
mau, suka tidak suka, rela tidak rela, jika sudah waktunya, tidak ada yang
mampu menunda, tidak ada yang mampu bernegosiasi dengan ajal.
Kematian makhluk atau ajal seseorang tidak ada kaitannya
dengan proses, tidak ada kaitannya dengan celotehannya Charles Darwin (1809-1882) Si
Pencetus teori evolusi. Bahwa seakan-akan segala hal selalu mengikuti hukum
proses. Kematian terlepas dari konstruksi pikiran manusia yang mengimajinasikan
kematian seseorang selalu melalui proses---kelahiran, anak-anak, remaja,
dewasa, tua, manula, sakit-sakitan, dan wafat---. Memang dalam tumbuh
kembangnya makhluk hidup, akal mampu membuka sedikit tabir tentang penciptaan
makhluk dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun bukan
berarti akal adalah segala-galanya yang mampu menjawab semua hal.
Contoh kecil saja sebagaimana sering kali diberitakan di
media massa ada seorang ibu melahirkan bayi,
namun selang beberapa hari sang bayi harus menghembuskan nafas terakhir, bahkan
ada yang wafat ketika masih di dalam rahim sang ibu. Di sisi lain ada manusia
yang lahir sejak zaman perang kemerdekaan dan hingga saat ini ia masih menikmati
hidup. Bagaimana akal menjelaskan tentang kematian atau ajal seseorang?. Di sini
lah akal mengalami kebuntuan, dimana memang bukan ranah akal untuk menjawab
itu. Kontruksi pikiran yang terbayang bahwa ajal manusia selalu melalui proses
terbantahkan. Nalar manusia mengalami kebuntuan. Nampaknya ada benarnya
ungkapan sebagian pakar yang membuat analogi
“Timbangan perhiasan (emas) tidaklah cocok digunakan untuk mengukur
beratnya gunung”. Bukan timbangannya yang salah, tetapi pada penggunaannya yang
tidak tepat.
Rupanya rasionalisme Barat pada abad 15 M telah begitu dalam
mengakar di kepala banyak orang di Timur (baca: Islam). Padahal rasionalisme
Barat perlu di lihat secara kritis konteksnya. Rasionalisme Barat yang di
pelopori Rene Decartes (1596-1650)kalau kita cermati merupakan reaksi euforia
yang tanpa disadari justru “menghabisi” keutuhan manusia. Euforia membabi buta
ini dampaknya terasa hingga saat ini.
Kematian atau ajal
tidak dapat diprediksi oleh manusia. Seorang dokter yang mengerti hal ini akan
selalu optimis dalam memperjuangkan kesembuhan pasiennya, sehingga ia total
mendayagunakan seluruh kemampuannya. Beberapa fenomena menunjukkan seorang
pasien yang diprediksi tidak akan lama lagi hidup justru sembuh total dari
segala penyakit mematikan yang dideritanya.
Inilah salah satu kejutan-kejutan yang Allah tunjukkan kepada
manusia yakni kematian. Ada yang berusaha menerimanya dengan lapang dada meski
gunungan pertanyaan tetap membayangi nalarnya. Bisikan-bisikan pertanyaan atas
kebuntuan nalar ini sejatinya ingin menunjukkan bahwa manusia amat tergantung
pada bimbingan Allah. Kematian mahkluk adalah otoritas Allah. Bukan otoritas
siapa-siapa, bukan otritas akal. Dan yang harus kita ingat bersama bahwa jiwa
kita ada dalam genggaman-Nya dan sedang menunggu giliran saja.
Innalillahi Wainnailaihi Roojiuun Uwa
Mi’in
Semoga Allah Melapangkan Kuburnya dan Di masukkan Ke
Surga.
Mungkid, 25 Juni 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar