Syukur alhamdulillah saya masih diberikan kesempatan menemui banyak manusiadi dunia ini. Mereka
memiliki karakter berbeda-beda dan banyak memberikan pelajaran berharga dalam
mengarungi kehidupan. Mulai dari yang paling “kanan” sampai dengan yang “kiri
mentok” (yang seperti apa ya yang kiri mentok????), mulai dari yang keras hingga yang paling lembut, mulai dari yang
radikal hingga yang liberal.
Terkadang saya
termenung dalam suatu kesempatan dan bertanya-tanya dalam hati jika bertemu
dengan seseorang yang tidak mengenakkan “Mengapa saya harus ketemu dengan
dia?”. Namun ada juga yang baik sikapnya dan bikin nyaman dalam berkawan
sehingga batin saya pun berkata “Saya beruntung sekali kenal sama dia...”. Uniknya
tipe orang yang tidak mengenakkan ini ternyata bukan dari manusia yang secara
prinsip hidup berbeda, bukan lantaran perbedaan ideologi, agama, usia, dan
suku. Akan tetapi ketika bertemu dengan orang yang kurang sensitif terhadap
kesepakatan-kesepakatn umum dalam bermasyarakat. Ataukah karena kurang
singkron-nya pertautan hati diantara kita? entahlah.
Dan yang paling tidak
mengenakkan adalah berteman dengan orang yang sulit menjaga harmoni baik
perkataan maupun tindakannya. Terkadang lisannya sangat mengganggu lingkungan.
Ia berbicara seakan-akan dunia hanya miliknya sendiri. Ingin selalu didengarkan
pendapatnya tetapi tidak terlihat respek terhadap pendapat orang lain. Ingin di
hormati, tetapi tidak terlihat penghormatannya terhadap orang lain.
Saya kira tidak ada
manusia yang bebas cela. Semua manusia punya cela, punya aib. Setiap manusia
punya kekurangan dan kelebihan. Saya kira tidak ada manusia yang ingin
dipermalukan dihadapan orang lain, sekalipun si pencela itu sendiri. Tidak ada
manusia yang ingin dijatuhkan martabatnya di hadapan manusia lainnya. Salah
satu kebutuhan imateril manusia adalah mendapatkan pengakuan dari lingkungan
sekitarnya.
Saya kira pada sisi
kemampuan menjaga harmoni inilah seseorang/manusia akan terlihat kedalaman
ilmunya atau kedewasaannya dalam berpikir. Kedalaman ilmu itulah yang akhirnya
mengendalikan lisan dan perbuatannya dalam bertindak. Ia menyadari sebagai
makhluk sosial bukan makhluk individu. Sebagai makhluk sosial ia segera
menangkap “kesepakatan-kesepakatan” tak tertulis (adab) dalam menjaga hubungan
antar manusia.
Lain halnya dengan
seseorang yang tidak bisa menjaga harmoni. Akan nampak sekali sisi ketidakedewasaanya
dalam berpikir dan bertindak. Padahal jika seandainya seseorang ingin dituruti
egonya, niscaya hancur sudah hubungan antar manusia lantaran “perang
kepentingan” yang tak berkesudahan.
Benar sekali ungkapan
seorang bijak yang mengatakan bahwa kedalaman agama seseorang akan terlihat
ketika ia berinteraksi dengan sesama. Pada kenyataanya di dunia ini sering kali
di jumpai pradoks-paradoks. Ada seorang yang fasih bicara dalil agama, luar
biasa bukan main, sayangnya ternyata ia adalah tipe “pembantai”. Maksud
pembantai adalah tatkala berucap, lisannya tidak enak di
dengar—menyakitkan—orang-orang sekitar pada umumnya. Lisannya tidak bisa
memberikan rasa nyaman bagi lawan bicaranya. Bukan berarti saya
menggeneralisasi kaum agamawan. Bukan!. Saya hanya ingin menyampaikan bahwa
menjaga harmoni sosial merupakan bagian dari ilmu yang diperlukan manusia agar
hidup menjadi lebih berkualitas.
Mungkid, 20 Juni
2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar