Sabtu, Juni 21, 2014

Masihkah Ada Harmoni diantara kita?



Syukur alhamdulillah saya masih diberikan kesempatan menemui banyak manusiadi dunia ini. Mereka memiliki karakter berbeda-beda dan banyak memberikan pelajaran berharga dalam mengarungi kehidupan. Mulai dari yang paling “kanan” sampai dengan yang “kiri mentok” (yang seperti apa ya yang kiri mentok????), mulai dari yang keras hingga yang paling lembut, mulai dari yang radikal hingga yang liberal.

Terkadang saya termenung dalam suatu kesempatan dan bertanya-tanya dalam hati jika bertemu dengan seseorang yang tidak mengenakkan “Mengapa saya harus ketemu dengan dia?”. Namun ada juga yang baik sikapnya dan bikin nyaman dalam berkawan sehingga batin saya pun berkata “Saya beruntung sekali kenal sama dia...”. Uniknya tipe orang yang tidak mengenakkan ini ternyata bukan dari manusia yang secara prinsip hidup berbeda, bukan lantaran perbedaan ideologi, agama, usia, dan suku. Akan tetapi ketika bertemu dengan orang yang kurang sensitif terhadap kesepakatan-kesepakatn umum dalam bermasyarakat. Ataukah karena kurang singkron-nya pertautan hati diantara kita? entahlah.

Dan yang paling tidak mengenakkan adalah berteman dengan orang yang sulit menjaga harmoni baik perkataan maupun tindakannya. Terkadang lisannya sangat mengganggu lingkungan. Ia berbicara seakan-akan dunia hanya miliknya sendiri. Ingin selalu didengarkan pendapatnya tetapi tidak terlihat respek terhadap pendapat orang lain. Ingin di hormati, tetapi tidak terlihat penghormatannya terhadap orang lain.

Saya kira tidak ada manusia yang bebas cela. Semua manusia punya cela, punya aib. Setiap manusia punya kekurangan dan kelebihan. Saya kira tidak ada manusia yang ingin dipermalukan dihadapan orang lain, sekalipun si pencela itu sendiri. Tidak ada manusia yang ingin dijatuhkan martabatnya di hadapan manusia lainnya. Salah satu kebutuhan imateril manusia adalah mendapatkan pengakuan dari lingkungan sekitarnya.

Saya kira pada sisi kemampuan menjaga harmoni inilah seseorang/manusia akan terlihat kedalaman ilmunya atau kedewasaannya dalam berpikir. Kedalaman ilmu itulah yang akhirnya mengendalikan lisan dan perbuatannya dalam bertindak. Ia menyadari sebagai makhluk sosial bukan makhluk individu. Sebagai makhluk sosial ia segera menangkap “kesepakatan-kesepakatan” tak tertulis (adab) dalam menjaga hubungan antar manusia.

Lain halnya dengan seseorang yang tidak bisa menjaga harmoni. Akan nampak sekali sisi ketidakedewasaanya dalam berpikir dan bertindak. Padahal jika seandainya seseorang ingin dituruti egonya, niscaya hancur sudah hubungan antar manusia lantaran “perang kepentingan” yang tak berkesudahan.

Benar sekali ungkapan seorang bijak yang mengatakan bahwa kedalaman agama seseorang akan terlihat ketika ia berinteraksi dengan sesama. Pada kenyataanya di dunia ini sering kali di jumpai pradoks-paradoks. Ada seorang yang fasih bicara dalil agama, luar biasa bukan main, sayangnya ternyata ia adalah tipe “pembantai”. Maksud pembantai adalah tatkala berucap, lisannya tidak enak di dengar—menyakitkan—orang-orang sekitar pada umumnya. Lisannya tidak bisa memberikan rasa nyaman bagi lawan bicaranya. Bukan berarti saya menggeneralisasi kaum agamawan. Bukan!. Saya hanya ingin menyampaikan bahwa menjaga harmoni sosial merupakan bagian dari ilmu yang diperlukan manusia agar hidup menjadi lebih berkualitas.
Mungkid, 20 Juni 2014

Tidak ada komentar: