Saya
belajar banyak hal setelah 5 bulan menjadi pengajar di Pondok Pesantren Ihsanul
Fikri Mungkid Magelang terutama hal-hal yang berkaitan dengan keasramaan. Satu
hal yang saya catat adalah bahwa membentuk karakter murid tidaklah mudah. Banyak faktor penunjang yang terlibat di
dalamnya. Faktor penunjang itu tidak bisa dominan pada aspek tertentu saja tapi
harmonisasi dari beberapa aspek seperti pengasuh (guru), sarana-prasarana,
sistem, dan leadership (kepemimpinan).
Faktor
penunjang yang terakhirlah yang pada akhirnya menjadi penyebab
keberjalananannya faktor-faktor yang lainnya. Sejujurnya saya memang sangat
baru di dalam dunia keasramaan. Banyak hal yang belum saya ketahui tentang
karakter-karakter anak di asrama. Kebiasaan saya bergaul kepada
mahasiswa-mahasiswa di kampus jelas berbeda dengan kondisi di asrama.
Di
Sekolah saya hanya mengajar anak kelas X-XII sedangkan di keasramaan saya
berinteraksi mulai dari kelas VII sampai dengan kelas XII. Karakter anak setiap
jenjang tidak sama. Terutama Kelas VII-IX, pada awalnya saya mengangap semua
anak di kelas tersebut bisa diatur dengan cara verbal atau pemaksimalan
komunikasi lisan saja kepada mereka. Namun kenyataannya banyak pelanggaran
justru dilakukan oleh mereka. Agaknya anak-anak pada jenjang tersebut belum
bisa diajak komitmen atau membuat kesepakatan-keepakatan. Tingkat kedewasaan
berfikir mungkin yang belum matang. Oleh sebab itu untuk mengkondisikan
anak-anak pada jenjang ini, gaya komunikasi yang digunakan harus lebih dominan
tipe perintah (instruksi).
Pelanggaran-pelanggaran
yang mereka lakukan jika diamati bisa menjadi sumber pertimbangan oleh pihak
yayasan. Saya melihat mereka yang melakukan pelanggaran bukan karena
semata-mata bersumber dari perilaku anak itu sendiri. Tapi lebih karena
kurangnya dukungan dari sarana-prasarana yang mewadahi ekspresi mereka. Anak-anak
seusia mereka tentu perlu diwadahi serta diarahkan ekspresi mereka dengan
dukungan sarana–prasarana penunjang. Inilah kadang-kadang yang menyebabkan saya
merenung saat mengingatkan anak-anak saat
mereka melakukan beberapa pelanggaran. Misalkan: Main sepak bola di
kamar, main tenis meja, dan lain sebagainya. Namun bukan berarti saya berempati
lalu membiarkan anak-anak. Upaya peringatan tetap saya lakukan sembari memberikan
pengertian tentang fasilitas yang belum lengkap.
Dari
kasus di atas saya menjadi mengerti bahwa sebuah persoalan jangan dilihat dari
satu aspek saja, dalam hal ini anak. Tapi harus mempertimbangan aspek yang
lainnya. Jangan sampai kita menghakimi anak-anak kita sendiri. Jangan terlalu
banyak menuntut kepada anak harus begini, harus begitu akan tetapi hak anak
sendiri seperti sarana-prasarana sebagai
bagian dari proses tumbuh kembangnya kita abaikan begitu saja. Keseimbangan
antara pembangunan fisik dengan sarana prasarana pendukung lainnya harus
berjalan seiring. Tidak boleh satu aspek dominan dari aspek lainnya. Yang kita
bentuk adalah manusia bukan robot.
Mungkid,
19 Juni 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar