Sabtu, Juni 21, 2014

Lentera Hidup 2



Saya belajar banyak hal setelah 5 bulan menjadi pengajar di Pondok Pesantren Ihsanul Fikri Mungkid Magelang terutama hal-hal yang berkaitan dengan keasramaan. Satu hal yang saya catat adalah bahwa membentuk karakter murid tidaklah mudah.  Banyak faktor penunjang yang terlibat di dalamnya. Faktor penunjang itu tidak bisa dominan pada aspek tertentu saja tapi harmonisasi dari beberapa aspek seperti pengasuh (guru), sarana-prasarana, sistem, dan leadership (kepemimpinan).
Faktor penunjang yang terakhirlah yang pada akhirnya menjadi penyebab keberjalananannya faktor-faktor yang lainnya. Sejujurnya saya memang sangat baru di dalam dunia keasramaan. Banyak hal yang belum saya ketahui tentang karakter-karakter anak di asrama. Kebiasaan saya bergaul kepada mahasiswa-mahasiswa di kampus jelas berbeda dengan kondisi di asrama.

Di Sekolah saya hanya mengajar anak kelas X-XII sedangkan di keasramaan saya berinteraksi mulai dari kelas VII sampai dengan kelas XII. Karakter anak setiap jenjang tidak sama. Terutama Kelas VII-IX, pada awalnya saya mengangap semua anak di kelas tersebut bisa diatur dengan cara verbal atau pemaksimalan komunikasi lisan saja kepada mereka. Namun kenyataannya banyak pelanggaran justru dilakukan oleh mereka. Agaknya anak-anak pada jenjang tersebut belum bisa diajak komitmen atau membuat kesepakatan-keepakatan. Tingkat kedewasaan berfikir mungkin yang belum matang. Oleh sebab itu untuk mengkondisikan anak-anak pada jenjang ini, gaya komunikasi yang digunakan harus lebih dominan tipe perintah (instruksi).

Pelanggaran-pelanggaran yang mereka lakukan jika diamati bisa menjadi sumber pertimbangan oleh pihak yayasan. Saya melihat mereka yang melakukan pelanggaran bukan karena semata-mata bersumber dari perilaku anak itu sendiri. Tapi lebih karena kurangnya dukungan dari sarana-prasarana yang mewadahi ekspresi mereka. Anak-anak seusia mereka tentu perlu diwadahi serta diarahkan ekspresi mereka dengan dukungan sarana–prasarana penunjang. Inilah kadang-kadang yang menyebabkan saya merenung saat mengingatkan anak-anak saat  mereka melakukan beberapa pelanggaran. Misalkan: Main sepak bola di kamar, main tenis meja, dan lain sebagainya. Namun bukan berarti saya berempati lalu membiarkan anak-anak. Upaya peringatan tetap saya lakukan sembari memberikan pengertian tentang fasilitas yang belum lengkap.

Dari kasus di atas saya menjadi mengerti bahwa sebuah persoalan jangan dilihat dari satu aspek saja, dalam hal ini anak. Tapi harus mempertimbangan aspek yang lainnya. Jangan sampai kita menghakimi anak-anak kita sendiri. Jangan terlalu banyak menuntut kepada anak harus begini, harus begitu akan tetapi hak anak sendiri seperti sarana-prasarana  sebagai bagian dari proses tumbuh kembangnya kita abaikan begitu saja. Keseimbangan antara pembangunan fisik dengan sarana prasarana pendukung lainnya harus berjalan seiring. Tidak boleh satu aspek dominan dari aspek lainnya. Yang kita bentuk adalah manusia bukan robot.

Mungkid, 19 Juni 2014

Tidak ada komentar: