Selasa, Agustus 05, 2014

Menafsir Cerita Si Doel Anak Betawi


Ada hal-hal yang tidak bisa di peroleh hanya dengan bekal pengetahuan. Mungkin telah banyak buku, cerita, yang pernah kita baca/dengarkan tentang suatu hal. Mungkin kita menduga-duga pada usia sekian “saya akan mengalami ini dan itu, saya akan  menghadapi tantangan ini dan itu, saya akan berhadapan dengan masalah ini dan itu”. Namun itu semua barulah prediksi yang masih samar alias bukan sebenarnya. Baru sebatas berupaya empati dengan kondisi-kondisi yang kita bayangkan kelak. Pengetahuan-pengetahuan tersebut bukanlah keadaan yang seutuhnya, akan tetapi hanya serpihan-serpihan yang tersisa dari pengalaman seseorang. Meskipun demikian, tentu hal tersebut cukup berguna bagi setiap orang agar kelak di masa depan seseorang tidak mengalami ke-kagetan (Shock) yang bisa menjurus kepada hal-hal yang tidak baik. Artinya dengan memperbanyak pengetahuan di masa depan tentang segala hal, seseorang telah berupaya melakukan antisipasi agar mampu mengambil keputusan yang terbaik, tepat, untuk masa depan.

Ijinkanlah saya bercerita dalam catatan singkat ini. Selama hampir 2 minggu ini, saya banyak sekali mendapatkan pelajaran hidup. Momen liburan menjelang hari Raya Idul Fitri di tahun 2014 ini cukup berkesan bagi saya. Pelajaran hidup ini saya dapatkan dari keluarga dan lingkungan sekitar. Banyak sekali kondisi-kondisi yang telah saya bayangkan di masa lalu, kini saya alami. Pengetahuan itu saya telah prediksikan dengan mempelajari karakter keluarga dan lingkungan sekitar yang saya tinggali. Tentu saya tidak berupaya menggeneralisir apa yang saya alami ini akan serupa dengan yang dialami orang lain. Pengalaman hidup ini adalah spesifik bagi saya.
Ketika saya di tanya “Masih Kuliah?, Kerja dimana?, Gandengannya mana?, Udah Nikah?”. Sekilas pertnyaan-pertanyaan ini mungkin telah saya perediksi sebelumnya. Tidak terlalu menjadi persoalan besar. Toh hanya sekadar pertanyaan. Namun secara emosional bagi saya yang saat ini  berondongan pertanyaan tersebut menyimpan kesan tersendiri. Bisa jadi hal serupa dialami oleh teman-teman seumuran saya.
Ada hal yang ingin saya ungkapkan di sini yakni tentang tanggung jawab sebagai manusia, sebagai anak dalam sebuah entitas (kelompok)  keluarga, sebagai bagian dalam masyarakat. Ketika kecil mungkin saya ringan-ringan saja, seolah tidak memiliki beban apapun. Lalu, semakin beranjak remaja, dewasa, tuntutan semakin kompleks. Kemauan saya tidak selamanya harus dituruti terus-menerus, saya tidak bisa terus menerus menuntut keadaan, malah sebaliknya keadaan yang kini menuntut saya. Ketika keadaan menuntut, siap tidak siap saya harus siap.
Ada saat-saat dilematis bagi perasaan ketika kedaan luar menuntut saya harus begini-begitu tetapi saya belum mampu berbuat banyak. Orang-orang di sekitar saya tentu tidak akan mengerti apa yang saya alami sekarang. Bahkan lingkungan terdekat seperti keluarga saja, sering kali kurang pengertian. Meskipun tidak perlu juga saya memohon-mohon agar mereka mengerti kondisi saya. Di sinilah letak kegalauan itu, kegalauan yang tidak hanya diketahui saja, tapi kegalauan yang saya rasakan sendiri.  Saya sengaja menulis kegalauan ini dengan tujuan bagi siapa saja yang memiliki kemiripan kisah degan kondisi saya saat ini bisa mengambil pelajaran berharga. Semoga coretan ini bisa menjadi amal shalih bagi saya.
Dulu waktu kecil saya senang sekali melihat Sinetron Si Doel Anak Betawi lantaran ceritanya yang –bagi saya—membumi. Ceritanya meski tidak sama, benar-benar mewakili kondisi keluarga saya. Ketika menonton sinetron tersebut, saya begitu simpati dengan perjuangan si Doel dan keluarganya. Banting tulang Sang Ayah dan ibu membiayai kuliah si Doel. Sang Ayah narik Oplet, dan Ibu-nya membuka warung kecil-kecilan di rumah. Bahkan dalam waktu-waktu luang si Doel turut membantu Sang Ayah narik Oplet Butut untuk menyambung hidup.
Si Doel yang “anak kuliahan” dimana secara pemikiran sudah begitu maju hidup di tengah-tengah keluarga yang begitu-begitu aja. Sungguh kondisi yang tak mengenakkan. Apalagi harus bertahan dengan gempuran materialisme masyarakat yang kuat. Beban moral Si Doel sebagai “anak kuliahan” berhadapan dengan pandangan masyarakat yang menunutut bahwa sebagai “anak kuliahan” ya harus sukses, dan kaya. Jadi masyarakat yang seperti itu menuntut dan berpandangan bahwa konsekuensi seorang yang “berpendidikan tinggi” tidak bisa tidak, harus dibuktikan eksistensinya dengan harta benda. Sungguh bukanlah persoalan yang mudah menghadapi tipe masyarakat seperti itu. Menjadi beban moral tersendiri.
Saya menafsirkan bahwa tantangan yang harus dihadapi Si Doel berasal dari dalam dan dari luar. Tantangan dari dalam berasal dari lingkungan keluarganya sendiri. Di tengah keluarga yang berpendidikan rendah dan kolot, ia harus meyakinkan bahwa suatu saat nanti dengan bekal pendidikan yang sedang  ia jalani, akan memberikan harapan yang lebih baik di masa depan. Setidaknya lebih baik dari kondisi keluarga saat ini. Tapi permasalahannya Si Doel belum bisa memberikan jawaban dan pembuktian kapan kondisi yang diharapkan itu akan terwujud.
Patut diapresiasi setinggi mungkin bagi keluarga Si Doel yang optimis menyekolahkannya hingga jenjang perguruan tinggi, meski tidak bisa tidak diiringi dengan tuntutan yang begitu besar. Bahkan sang Ayah rela jual ‘banda’ untuk menutup biaya kuliah yang mahal demi Si Doel. Inilah tantangan dari dalam yang dihadapi Si Doel bahwa sekolah tinggi yang ia sedang jalani menyimpan harapan besar keluarga. Dengan kondisi seperti ini, boro-boro bisa memberikan ketenangan bagi Si Doel untuk menyelesaikan kuliah dengan baik, berpikir idealis dibidang yang digelutinya, namun justru menimbulkan kecemasan bagi Si Doel karena berhadapan dengan kebutuhan mendesak yang pragmatis. Impian bahwa dengan melanjutkan kuliah diperguruan sebagai satu-satunya cara menggapai kesuksesan telah memenjara pikiran Si Doel. Di saat yang sama Si Doel melihat kawan-kawan seumurannya yang meski pendidikannya tidak setinggi dia telah melakukan banyak hal, misal telah mendirikan usaha meski kecil-kecilan, telah menikah, telah bekerja entah sebagai pegawai di pabrik, buruh, dan semacamnya. Teman-temannya tersebut setidaknya sudah bisa menghasilkan uang di depan mata meski secara nominal tidak terlalu besar.
Tantangan dari luar yakni dari celotehan-celotehan kerabat, tetangga, dan lingkungan sekitar. Jika tidak kuat hati celotehan-celotehan tersebut sangat mengganggu perasaan dan konsentrasi dalam belajar. Pergolakan batin itulah yang saya lihat dari sinetron Si Doel Anak Betawi. Menjadi anak kuliahan bukan hanya perkara menguras otak guna memperoleh nilai IPK semata. Saya kira untuk mendapatkan IPK bukanlah persoalan yang sulit. Tapi yang saya lihat dari perjalanan Si Doel selain nilai IPK adalah melawan arus besar (mainstream) lingkungannya sendiri yang kurang nyaman (matreialistis). Inilah tantangan yang sesungguhnya. Antara masyarakat yang materialistik dan tanggung jawab beradu di sini.
Dalam kondisi seperti itu, kekuatan mental seseorang diuji. Apakah ia mampu bertahan atau tidak. Apakah tergerus arus besar tersebut, berdiri tegak bertahan, ataukah melawan arus. Dalam kondisi tersebut saya melihat banyak teman-teman saya yang tergerus. Bahkan saya sendiri nyaris tergerus. Bukan berarti saya mengklaim bahwa jalan yang saya pilih ini benar. Tapi itulah konsekuensi hidup. Itulah pilihan seseorang dimana dirinya sendirilah yang paling mengerti.
Poisi saya hari ini laksana Si Doel yang baru sebatas memberikan harapan kepada orang tua. Saya sedang mengamati dan menganalisis diri saya sendiri.terlalu dini saya memberikan jawaban tentang nasib. Saya sedang berupaya membuktikan sekeras tenaga kepada orang tua dan lingkungan sekitar. Saya yakin bahwa apa yang saya pilih adalah jalan yang terbaik tanpa tergerus dengan arus besar. Saya yakin dengan berbeda-nya saya dengan teman-teman sejawat di desa, kualitas hidup saya akan lebih baik.

Bogor, 5 Agustus 2014