Ada hal-hal yang tidak bisa di peroleh hanya dengan
bekal pengetahuan. Mungkin telah banyak buku, cerita, yang pernah kita
baca/dengarkan tentang suatu hal. Mungkin kita menduga-duga pada usia sekian
“saya akan mengalami ini dan itu, saya akan
menghadapi tantangan ini dan itu, saya akan berhadapan dengan masalah
ini dan itu”. Namun itu semua barulah prediksi yang masih samar alias bukan
sebenarnya. Baru sebatas berupaya empati dengan kondisi-kondisi yang kita
bayangkan kelak. Pengetahuan-pengetahuan tersebut bukanlah keadaan yang
seutuhnya, akan tetapi hanya serpihan-serpihan yang tersisa dari pengalaman
seseorang. Meskipun demikian, tentu hal tersebut cukup berguna bagi setiap
orang agar kelak di masa depan seseorang tidak mengalami ke-kagetan (Shock)
yang bisa menjurus kepada hal-hal yang tidak baik. Artinya dengan memperbanyak
pengetahuan di masa depan tentang segala hal, seseorang telah berupaya
melakukan antisipasi agar mampu mengambil keputusan yang terbaik, tepat, untuk masa
depan.
Ijinkanlah saya bercerita dalam
catatan singkat ini. Selama hampir 2 minggu ini, saya banyak sekali mendapatkan
pelajaran hidup. Momen liburan menjelang hari Raya Idul Fitri di tahun 2014 ini
cukup berkesan bagi saya. Pelajaran hidup ini saya dapatkan dari keluarga dan
lingkungan sekitar. Banyak sekali kondisi-kondisi yang telah saya bayangkan di
masa lalu, kini saya alami. Pengetahuan itu saya telah prediksikan dengan
mempelajari karakter keluarga dan lingkungan sekitar yang saya tinggali. Tentu
saya tidak berupaya menggeneralisir apa yang saya alami ini akan serupa dengan
yang dialami orang lain. Pengalaman hidup ini adalah spesifik bagi saya.
Ketika saya di tanya “Masih
Kuliah?, Kerja dimana?, Gandengannya mana?, Udah Nikah?”. Sekilas pertnyaan-pertanyaan
ini mungkin telah saya perediksi sebelumnya. Tidak terlalu menjadi persoalan
besar. Toh hanya sekadar pertanyaan. Namun secara emosional bagi saya yang saat
ini berondongan pertanyaan tersebut
menyimpan kesan tersendiri. Bisa jadi hal serupa dialami oleh teman-teman
seumuran saya.
Ada hal yang ingin saya
ungkapkan di sini yakni tentang tanggung jawab sebagai manusia, sebagai anak
dalam sebuah entitas (kelompok) keluarga, sebagai bagian dalam masyarakat.
Ketika kecil mungkin saya ringan-ringan saja, seolah tidak memiliki beban
apapun. Lalu, semakin beranjak remaja, dewasa, tuntutan semakin kompleks. Kemauan
saya tidak selamanya harus dituruti terus-menerus, saya tidak bisa terus
menerus menuntut keadaan, malah sebaliknya keadaan yang kini menuntut saya. Ketika
keadaan menuntut, siap tidak siap saya harus siap.
Ada saat-saat dilematis bagi
perasaan ketika kedaan luar menuntut saya harus begini-begitu tetapi saya belum
mampu berbuat banyak. Orang-orang di sekitar saya tentu tidak akan mengerti apa
yang saya alami sekarang. Bahkan lingkungan terdekat seperti keluarga saja,
sering kali kurang pengertian. Meskipun tidak perlu juga saya memohon-mohon
agar mereka mengerti kondisi saya. Di sinilah letak kegalauan itu, kegalauan
yang tidak hanya diketahui saja, tapi kegalauan yang saya rasakan sendiri. Saya sengaja menulis kegalauan ini dengan
tujuan bagi siapa saja yang memiliki kemiripan kisah degan kondisi saya saat ini
bisa mengambil pelajaran berharga. Semoga coretan ini bisa menjadi amal shalih
bagi saya.
Dulu waktu kecil saya senang
sekali melihat Sinetron Si Doel Anak Betawi lantaran ceritanya yang –bagi saya—membumi.
Ceritanya meski tidak sama, benar-benar mewakili kondisi keluarga saya. Ketika menonton
sinetron tersebut, saya begitu simpati dengan perjuangan si Doel dan
keluarganya. Banting tulang Sang Ayah dan ibu membiayai kuliah si Doel. Sang
Ayah narik Oplet, dan Ibu-nya membuka warung kecil-kecilan di rumah. Bahkan
dalam waktu-waktu luang si Doel turut membantu Sang Ayah narik Oplet Butut
untuk menyambung hidup.
Si Doel yang “anak kuliahan”
dimana secara pemikiran sudah begitu maju hidup di tengah-tengah keluarga yang begitu-begitu
aja. Sungguh kondisi yang tak mengenakkan. Apalagi harus bertahan dengan
gempuran materialisme masyarakat yang kuat. Beban moral Si Doel sebagai “anak
kuliahan” berhadapan dengan pandangan masyarakat yang menunutut bahwa sebagai “anak
kuliahan” ya harus sukses, dan kaya. Jadi masyarakat yang seperti itu menuntut
dan berpandangan bahwa konsekuensi seorang yang “berpendidikan tinggi” tidak
bisa tidak, harus dibuktikan eksistensinya dengan harta benda. Sungguh bukanlah
persoalan yang mudah menghadapi tipe masyarakat seperti itu. Menjadi beban moral
tersendiri.
Saya menafsirkan bahwa tantangan
yang harus dihadapi Si Doel berasal dari dalam dan dari luar. Tantangan dari
dalam berasal dari lingkungan keluarganya sendiri. Di tengah keluarga yang
berpendidikan rendah dan kolot, ia harus meyakinkan bahwa suatu saat nanti
dengan bekal pendidikan yang sedang ia
jalani, akan memberikan harapan yang lebih baik di masa depan. Setidaknya lebih
baik dari kondisi keluarga saat ini. Tapi permasalahannya Si Doel belum bisa
memberikan jawaban dan pembuktian kapan kondisi yang diharapkan itu akan
terwujud.
Patut diapresiasi setinggi
mungkin bagi keluarga Si Doel yang optimis menyekolahkannya hingga jenjang
perguruan tinggi, meski tidak bisa tidak diiringi dengan tuntutan yang begitu
besar. Bahkan sang Ayah rela jual ‘banda’ untuk menutup biaya kuliah yang mahal
demi Si Doel. Inilah tantangan dari dalam yang dihadapi Si Doel bahwa sekolah
tinggi yang ia sedang jalani menyimpan harapan besar keluarga. Dengan kondisi
seperti ini, boro-boro bisa memberikan ketenangan bagi Si Doel untuk
menyelesaikan kuliah dengan baik, berpikir idealis dibidang yang digelutinya, namun
justru menimbulkan kecemasan bagi Si Doel karena berhadapan dengan kebutuhan
mendesak yang pragmatis. Impian bahwa dengan melanjutkan kuliah diperguruan sebagai
satu-satunya cara menggapai kesuksesan telah memenjara pikiran Si Doel. Di saat
yang sama Si Doel melihat kawan-kawan seumurannya yang meski pendidikannya
tidak setinggi dia telah melakukan banyak hal, misal telah mendirikan usaha
meski kecil-kecilan, telah menikah, telah bekerja entah sebagai pegawai di pabrik,
buruh, dan semacamnya. Teman-temannya tersebut setidaknya sudah bisa menghasilkan
uang di depan mata meski secara nominal tidak terlalu besar.
Tantangan dari luar yakni dari
celotehan-celotehan kerabat, tetangga, dan lingkungan sekitar. Jika tidak kuat
hati celotehan-celotehan tersebut sangat mengganggu perasaan dan konsentrasi
dalam belajar. Pergolakan batin itulah yang saya lihat dari sinetron Si Doel
Anak Betawi. Menjadi anak kuliahan bukan hanya perkara menguras otak guna memperoleh
nilai IPK semata. Saya kira untuk mendapatkan IPK bukanlah persoalan yang
sulit. Tapi yang saya lihat dari perjalanan Si Doel selain nilai IPK adalah
melawan arus besar (mainstream) lingkungannya sendiri yang kurang nyaman
(matreialistis). Inilah tantangan yang sesungguhnya. Antara masyarakat yang
materialistik dan tanggung jawab beradu di sini.
Dalam kondisi seperti itu,
kekuatan mental seseorang diuji. Apakah ia mampu bertahan atau tidak. Apakah tergerus
arus besar tersebut, berdiri tegak bertahan, ataukah melawan arus. Dalam kondisi
tersebut saya melihat banyak teman-teman saya yang tergerus. Bahkan saya
sendiri nyaris tergerus. Bukan berarti saya mengklaim bahwa jalan yang saya
pilih ini benar. Tapi itulah konsekuensi hidup. Itulah pilihan seseorang dimana
dirinya sendirilah yang paling mengerti.
Poisi saya hari ini laksana Si
Doel yang baru sebatas memberikan harapan kepada orang tua. Saya sedang
mengamati dan menganalisis diri saya sendiri.terlalu dini saya memberikan
jawaban tentang nasib. Saya sedang berupaya membuktikan sekeras tenaga kepada
orang tua dan lingkungan sekitar. Saya yakin bahwa apa yang saya pilih adalah
jalan yang terbaik tanpa tergerus dengan arus besar. Saya yakin dengan
berbeda-nya saya dengan teman-teman sejawat di desa, kualitas hidup saya akan
lebih baik.
Bogor, 5 Agustus 2014
1 komentar:
semangatz broh
Posting Komentar