Sabtu, Agustus 02, 2014

Pilpres 2014!


Bagi saya Pilpres tahun 2014 ini cukup seru dan panas.  Masing-masing calon punya pendukung yang fanatik.  Peran sosial media, dan pers cukup massif. Tiap detik masing-masing pendukung saling serang–menyerang, counter mengkounter. Perang opini terasa betul mewarnai pilpres kali ini. Di tambah peran lembaga survei ‘bayaran’ dengan wajah ilmiah merilis perolehan suara masing-masing calon semakin membingungkan masyarakat. Ada yang melaporkan bahwa pasangan No. 1 unggul dan ada pula yang melaporkan pasangan No. 2 yang unggul. Saya sempat heran, ternyata bukan hanya kata-kata yang bersayap, namun angka-angka, rumus, statistik pun bisa bersayap dan dimanipulasi. Jelas pasti ada lembaga survei yang tidak jujur!. Selain itu peran masyarakat sipil di sosial media cukup besar. Kemajuan teknologi informasi menjadikan masyarakat aktif menyebarkan berita. Berita tidak hanya dimonopoli oleh lembaga-lembaga pers tapi juga oleh masarakat luas.

Kampanye begitu ramai di lakukan oleh para pendukung melalui dunia nyata dan maya. Kampanye di dunia maya agaknya yang telihat begitu ramai. Ketika saya buka FB, Twitter, dan yang lainnya, masing-masing pendukung saling berhadap-hadapan berkampanye. Betul-betul tidak ada jarak. Tentu mereka mengunggulkan calonnya masing-masing, bahkan sembari menjelek-jelekkan calon yang lainnya. Akibatnya saling serang pun terjadi, balas-membalas komentar tak terelakan, kata-kata kasar berseliweran di sosial media. Sosial media terasa begitu keruh dengan ulah para masing-masing pendukung. Banyak pendukung yang belum mampu menahan diri.  Kondisi semacam itu berlangsung tiap hari bahkan tiap detik!. Di dunia nyata iringan-iringan masyarakat begitu ramai dan bising. Knalpot-knalpot motor sengaja di copot, di raung-raungkan untuk menarik perhatian masyarakat. Saya melihat masyarakat pun jijik dengan tindakan itu. Wajah mereka marah dengan perilaku pendukung capres yang—kelihatan---bodoh itu.
Pada pilpres 2014 kali ini, kekuatan politik terbagi menjadi dua, yakni kekuatan politik pendukung capres Prabowo-Hata dan capres Joko Widodo-Yusuf Kalla. Pendukung capres Prabowo-Hatta terhimpun dalam Koalisi Besar yakni Golkar, PKS, Gerindra, PPP, PAN, PBB, dan Demokrat. Adapun pendukung capres Joko Widodo-Yusuf Kalla yakni PDI Perjuangan, Hanura, Nasdem, PKB, dan PKPI.  Selain itu Untuk basis suara di daerah, masing-masing pemimpin daerah seperti gubernur, bupati hingga lurah menjadi timsesnya masing-masing partai yang dulu menjadi pengusungnya.
Siaran televisi mainstream sangat nyata terbelah menjadi dua. Metro tv adalah media yang gencar mendukung pasangan no.2 dan menyerang no.1, sedangkan tv one adalah media yang gencar mendukung pasangan no.1 dan menyerang no.2. Jadi bisa saya katakan selama hampir beberapa bulan menjelang pilpres secara psikis masyarakat kita terbelah/dibelah menjadi dua. Namun bukan berarti yang apatis tidak ada. Yang apatis plus nyinyir juga banyak. Luar biasa sekali peran media, ini yang saya amati. Bahkan saya sendiri sempat geram dengan kerja-kerja beberapa media yang jauh dari kode etik. Entah mengapa media justru jadi “pengacau” masyarakat. Bukan mencerdaskan, mencerahkan, malah mengadu domba masyarakat. Menjijikan sekali media-media murahan ini!.
Polarisasi kekuatan politik menjadu dua menimbulkan kondisi baru yang--bagi saya—di satu sisi memperkecil perbedaan dalam masyarakat, namun di sisi lain menjadi pemicu adu domba antar masing-masing pendukung. Selain itu kondisi seperti itu juga benar-benar memperlihatkan afiliasi tokoh (akademisi, ulama, pengusaha, dll). Pertama, Coba perhatikan partai-partai pendukung pasangan capres. Partai-partai tersebut melakukan fusi dalam rangka membentuk koalisi, padahal secara flatform mungkin berbeda. Tentu partai-partai tersebut telah melakukan kesepakatan-kesepakatan penting untuk mengusung capres. Inilah yang unik sekaligus bikin saya bingung. Idealnya, partai-partai Islam berfusi dengan sesama partai Islam karena menyangkut banyaknya aspirasi umat Islam  yang harus diakomodasi, tapi kenyataannya tidak. PKS, PPP, PAN, PBB, gabung dengan Gerindra membentuk koalisi “Merah-Puth, sedangkan PKB bergabung dengan PDI Perjuangan. Agaknya saat ini partai-partai di Indonesia belum begitu jelas jenis kelaminnya. Apa mungkin tak berlaku lagi analisis sederhana saya tentang partai-partai di atas?.
Sepertinya berfusinya partai-partai pendukung capres tersebut menunjukkan ada semacam agenda mendesak yang harus dilakukan dalam waktu dekat oleh bangsa kita. Inilah mungkin dimana—untuk sementara---partai-partai tersebut “menangguhkan” idealismenya, menangguhkan perbedaan-perbedaannya untuk menghadapi ancaman yang lebih serius bagi Indonesia, sehingga berfusinya partai pengusung tersebut lebih didasari kesamaan program.
Kedua, adu domba masing-masing pendukung begitu marak. Saat pileg dulu mungkin keadaan berbeda, karena masing-masing partai fokus membesarkan partai dan caleg masing-masing. Terkadang mencela partai yang saat ini duduk bersamaan dalam koalisi besar. Kondisi ini dijadikan amunisi untuk memecah masing-masing pendukung. Kata-kata “hipokrit, munafik, haus kekuasaan, berseliweran di sosial media. Ada benarnya memang. Tapi inilah politik. Tidak ada partai yang benar-benar bersih. Jika tidak ingin kotor-kotoran. Jadilah pengamat! Jadilah penonton!. Analogi-nya, ibarat tukang pel, tukang sapu, jika ingin membersihkan ruangan yang kotor maka harus siap kena kotoran juga! Siap berbasah-basahan, siap kena bau-baunya. Jika ingin bersih, tidak usah terjun ke dunia politik, tapi diam saja tidak usah beraktivitas. Politik itu memilih, mengambil posisi bukan tidak berposisi. Lagi pula tidak ada yang tidak berposisi.
Ketiga, dalam pilpres kali ini, tokoh-tokoh yang biasanya jauh dari kritik seperti akademisi, pegiat sosial dll pun banyak yang kecipratan bau-bau tak sedap politik. Inilah konsekuensinya ketika terjun ke dunia politik. Dunia yang penuh kepentingan yang punya posisi strategis dalam menghasilkan kebijakan dalam masyarakat. Di sini akan terlihat watak orang, sikap asli orang. Jadi marilah kita semakin sadar dengan politik. Tidak usah sok-sok-an anti politik, sok bersih (tidak ada manusia yang bersih!). Kita semua sama-sama kotor. Dalam keadaan kotor tersebut kita jangan menganggap diri paling bersih atau mengklaim orang lain kotor. Biasa aja!.
Bogor, 2 Agustus 2014

Tidak ada komentar: