Bagi saya Pilpres tahun 2014 ini cukup seru dan
panas. Masing-masing calon punya
pendukung yang fanatik. Peran sosial
media, dan pers cukup massif. Tiap detik masing-masing pendukung saling serang–menyerang,
counter mengkounter. Perang opini terasa betul mewarnai pilpres kali
ini. Di tambah peran lembaga survei ‘bayaran’ dengan wajah ilmiah merilis
perolehan suara masing-masing calon semakin membingungkan masyarakat. Ada yang
melaporkan bahwa pasangan No. 1 unggul dan ada pula yang melaporkan pasangan
No. 2 yang unggul. Saya sempat heran, ternyata bukan hanya kata-kata yang
bersayap, namun angka-angka, rumus, statistik pun bisa bersayap dan
dimanipulasi. Jelas pasti ada lembaga survei yang tidak jujur!. Selain itu peran
masyarakat sipil di sosial media cukup besar. Kemajuan teknologi informasi
menjadikan masyarakat aktif menyebarkan berita. Berita tidak hanya dimonopoli
oleh lembaga-lembaga pers tapi juga oleh masarakat luas.
Kampanye begitu ramai di lakukan
oleh para pendukung melalui dunia nyata dan maya. Kampanye di dunia maya
agaknya yang telihat begitu ramai. Ketika saya buka FB, Twitter, dan yang
lainnya, masing-masing pendukung saling berhadap-hadapan berkampanye.
Betul-betul tidak ada jarak. Tentu mereka mengunggulkan calonnya masing-masing,
bahkan sembari menjelek-jelekkan calon yang lainnya. Akibatnya saling serang
pun terjadi, balas-membalas komentar tak terelakan, kata-kata kasar
berseliweran di sosial media. Sosial media terasa begitu keruh dengan ulah para
masing-masing pendukung. Banyak pendukung yang belum mampu menahan diri. Kondisi semacam itu berlangsung tiap hari
bahkan tiap detik!. Di dunia nyata iringan-iringan masyarakat begitu ramai dan
bising. Knalpot-knalpot motor sengaja di copot, di raung-raungkan untuk menarik
perhatian masyarakat. Saya melihat masyarakat pun jijik dengan tindakan itu. Wajah
mereka marah dengan perilaku pendukung capres yang—kelihatan---bodoh itu.
Pada pilpres 2014 kali ini,
kekuatan politik terbagi menjadi dua, yakni kekuatan politik pendukung capres
Prabowo-Hata dan capres Joko Widodo-Yusuf Kalla. Pendukung capres Prabowo-Hatta
terhimpun dalam Koalisi Besar yakni Golkar, PKS, Gerindra, PPP, PAN, PBB, dan
Demokrat. Adapun pendukung capres Joko Widodo-Yusuf Kalla yakni PDI Perjuangan,
Hanura, Nasdem, PKB, dan PKPI. Selain
itu Untuk basis suara di daerah, masing-masing pemimpin daerah seperti
gubernur, bupati hingga lurah menjadi timsesnya masing-masing partai yang dulu
menjadi pengusungnya.
Siaran televisi mainstream sangat
nyata terbelah menjadi dua. Metro tv adalah media yang gencar mendukung
pasangan no.2 dan menyerang no.1, sedangkan tv one adalah media yang gencar
mendukung pasangan no.1 dan menyerang no.2. Jadi bisa saya katakan selama
hampir beberapa bulan menjelang pilpres secara psikis masyarakat kita terbelah/dibelah
menjadi dua. Namun bukan berarti yang apatis tidak ada. Yang apatis plus nyinyir
juga banyak. Luar biasa sekali peran media, ini yang saya amati. Bahkan saya
sendiri sempat geram dengan kerja-kerja beberapa media yang jauh dari kode etik.
Entah mengapa media justru jadi “pengacau” masyarakat. Bukan mencerdaskan,
mencerahkan, malah mengadu domba masyarakat. Menjijikan sekali media-media
murahan ini!.
Polarisasi kekuatan politik
menjadu dua menimbulkan kondisi baru yang--bagi saya—di satu sisi memperkecil
perbedaan dalam masyarakat, namun di sisi lain menjadi pemicu adu domba antar
masing-masing pendukung. Selain itu kondisi seperti itu juga benar-benar memperlihatkan
afiliasi tokoh (akademisi, ulama, pengusaha, dll). Pertama, Coba perhatikan
partai-partai pendukung pasangan capres. Partai-partai tersebut melakukan fusi
dalam rangka membentuk koalisi, padahal secara flatform mungkin berbeda. Tentu
partai-partai tersebut telah melakukan kesepakatan-kesepakatan penting untuk
mengusung capres. Inilah yang unik sekaligus bikin saya bingung. Idealnya,
partai-partai Islam berfusi dengan sesama partai Islam karena menyangkut
banyaknya aspirasi umat Islam yang harus
diakomodasi, tapi kenyataannya tidak. PKS, PPP, PAN, PBB, gabung dengan
Gerindra membentuk koalisi “Merah-Puth, sedangkan PKB bergabung dengan PDI
Perjuangan. Agaknya saat ini partai-partai di Indonesia belum begitu jelas
jenis kelaminnya. Apa mungkin tak berlaku lagi analisis sederhana saya tentang
partai-partai di atas?.
Sepertinya berfusinya
partai-partai pendukung capres tersebut menunjukkan ada semacam agenda mendesak
yang harus dilakukan dalam waktu dekat oleh bangsa kita. Inilah mungkin dimana—untuk
sementara---partai-partai tersebut “menangguhkan” idealismenya, menangguhkan
perbedaan-perbedaannya untuk menghadapi ancaman yang lebih serius bagi
Indonesia, sehingga berfusinya partai pengusung tersebut lebih didasari
kesamaan program.
Kedua, adu domba masing-masing
pendukung begitu marak. Saat pileg dulu mungkin keadaan berbeda, karena
masing-masing partai fokus membesarkan partai dan caleg masing-masing. Terkadang
mencela partai yang saat ini duduk bersamaan dalam koalisi besar. Kondisi ini
dijadikan amunisi untuk memecah masing-masing pendukung. Kata-kata “hipokrit,
munafik, haus kekuasaan, berseliweran di sosial media. Ada benarnya memang. Tapi
inilah politik. Tidak ada partai yang benar-benar bersih. Jika tidak ingin
kotor-kotoran. Jadilah pengamat! Jadilah penonton!. Analogi-nya, ibarat tukang
pel, tukang sapu, jika ingin membersihkan ruangan yang kotor maka harus siap
kena kotoran juga! Siap berbasah-basahan, siap kena bau-baunya. Jika ingin
bersih, tidak usah terjun ke dunia politik, tapi diam saja tidak usah
beraktivitas. Politik itu memilih, mengambil posisi bukan tidak berposisi. Lagi
pula tidak ada yang tidak berposisi.
Ketiga, dalam pilpres kali ini,
tokoh-tokoh yang biasanya jauh dari kritik seperti akademisi, pegiat sosial dll
pun banyak yang kecipratan bau-bau tak sedap politik. Inilah konsekuensinya
ketika terjun ke dunia politik. Dunia yang penuh kepentingan yang punya posisi
strategis dalam menghasilkan kebijakan dalam masyarakat. Di sini akan terlihat
watak orang, sikap asli orang. Jadi marilah kita semakin sadar dengan politik. Tidak
usah sok-sok-an anti politik, sok bersih (tidak ada manusia yang bersih!). Kita
semua sama-sama kotor. Dalam keadaan kotor tersebut kita jangan menganggap diri
paling bersih atau mengklaim orang lain kotor. Biasa aja!.
Bogor, 2 Agustus 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar