Peta
sejarah Indonesia berubah ketika munculnya kaum terpelajar dari kalangan kaum pribumi
awal abad 20. Robert Van Niel dalam bukunya “Munculnya Elite Modern Indonesia”,
menyebut kaum terpelajar ini dengan istilah Kelompok Elit Modern. Ia mengatakan:
“Dua puluh lima tahun pertama dari abad ke dua puluh muncul suatu pertumbuhan
dan perkembangan Indonesia yang pada zaman itu disebut Hindia Belanda, yang
tidak dapat diduga sebelumnya”.
Buku
Sebagai Pewaris Semangat
Kebijakan Politik Etis
telah memberi akses kepada anak-anak muda (terutama kaum ningrat) untuk bersekolah.
Pada kenyataanya kebijakan yang diusulkan oleh Van De Venter sebagai hutang
budi ini lebih sekadar mencetak para pekerja yang siap ditempatkan di pabrik-pabrik
pemerintah. Meskipun demikian, dimasa yang akan datang sistem pendidikan diskriminatif
ini justru menjadi bomerang bagi eksistensi pemerintah.
Lewat sekolah,
anak-anak muda itu secara leluasa membaca buku. Mereka terilhami oleh
paham-paham baru yang berkembang di Eropa seperti liberalism, Komunisme,
demokrasi dan Pan Islamisme. Mereka juga terinspirasi dari kisah Revolusi Amerika,
Revolusi Prancis, Revolusi Rusia, Revolusi
Cina dan sebagainya. Ide-ide perlawanan itu akhirnya merasuk dalam benak mereka.
Mereka menyadari bahwa kaum pribumi tidak disejajar dengan bangsa Eropa. Mereka
mulai berontak. Mereka juga menyadari bahwa subordinasi penjajah begitu kuat,
sehingga perlu metode yang modern untuk melakukan perlawanan. Kekalahan demi
kekalahan para leluhur sepanjang abad 16, 17, 18, dan 19 dalam melawan penjajah
dijadikan pelajaran berharga bahwa perlu metode baru dalam berjuang yakni dengan
membentuk organisasi dan pers. Muncul organisasi-organisasi pergerakan nasional
dengan beragam corak aliran dan jalan perjuangan. Ada yang bercorak kebudayaan,
ekonomi, agama dan politik.
Lemahnya
budaya baca dan menulis masyarakat kita adalah sebab utama sulitnya bangsa kita
bangkit dalam keterpurukan. Menurut Koordinator Perpustakaan Nasional RI
Suharyanto yang juga anggota Forum Aktif Menulis (FAM) bahwa jumlah buku yang
diterbitkan di Indonesia masih tergolong rendah, tidak sampai 18.000 judul per
tahun. Jumlah ini menurutnya lebih rendah dibandingkan sejumlah negara, di
antaranya Jepang yang mencapai 40.000 judul buku per tahun dan India 60.000
judul (Kompas, 13/12/14)
Peran Buku dalam Membangun
Peradaban
Sepertinya
terdapat korelasi antara tingginya peradaban suatu bangsa dengan tingginya
minat baca. Berdasarkan data yang dirilis oleh Wikipedia tahun 2013 dari 112
negara, negara yang jumlah terbitan tertinggi ditempati oleh Republik Rakyat
Cina (RRC) dengan jumlah 440.000 eksemplar pertahun, Amerika Serikat 301.192
eksemplar, Britania Raya 184.000 eksemplar. Adapun posisi terkahir ditempati
oleh Republik Demokratik Konggo 64 eksemplar. Seorang ahli bahasa T. S Elliot
mengatakan mustahil lahir suatu peradaban besar jika masyarakatnya tidak
memiliki minat baca dan menulis. Bahkan seorang astronom kenamaan asal Amerika
Serikat Prof. Carl Sagan menyesalkan jika seandainya perpustakaan Alexandria
tidak dibakar oleh kaum Kristen fanatic, mungkin telah lahir lima abad yang
lalu seorang Albert Einstein atau bahkan di zaman modern saat ini Einstein
tidak pernah ada. Oleh sebab itu buku memiliki peran yang sangat penting dalam
pembangunan sumber daya manusia. Oleh sebab itu pemerintah perlu mendorong masyarakat
untuk gemar membaca lewat kampanye-kampanye di berbagai forum. Mendorong
aktivitas penerbitan buku, sehingga harga buku bisa dijangkau oleh masyarakat
secara luas. Selain itu memberi penghargaan yang tinggi kepada pihak-pihak yang
secara sukarela mencerdaskan masyarakat lewat pendirian taman bacaan secara
swadaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar