“Ilmu
tanpa agama buta, agama tanpa ilmu lumpuh”
(Albert
Einstein 1879-1955)
Tanggal
2 Mei selalu diperingati sebagai hari pendidikan. Tanggal tersebut dipilih
untuk mengenang jasa seorang pahlawan pendidikan yakni Ki Hajar Dewantara.
Entah apakah hanya sebatas seremonial belaka atau benar-benar merenungi buah
pemikiran tokoh tersebut.
Slogan-slogan seperti ingarso sung tuladha (di depan memberikan keteladanan), ing madio mangun karso (Di tengah-tengah memberikan semangat), tut wuri handayani (di belakang memberikan dorongan) cukup populer di telinga kita. Akan tetapi nyatakah dalam praktek dalam dunia pendidikan kita saat ini? Ataukah hanya berslogan saja tanpa mempraktekannya? Sudah 3 generasi lebih berselang pasca kemerdekaan, tapi mengapa bangsa kita tidak berdaya dalam mengelola arus globalisasi. Mudah saja melihat mental anak-anak muda saat ini. Mereka mengidolakan tokoh-tokoh yang sebetulnya tidak layak dijadikan idola. Selain itu adab bericara dan berpakaian sudah jauh melenceng dari nilai-nilai kesopanan. Lalu dimanakah dampak pendidikan karakter yang digaung-gaungkan selama ini?.
Slogan-slogan seperti ingarso sung tuladha (di depan memberikan keteladanan), ing madio mangun karso (Di tengah-tengah memberikan semangat), tut wuri handayani (di belakang memberikan dorongan) cukup populer di telinga kita. Akan tetapi nyatakah dalam praktek dalam dunia pendidikan kita saat ini? Ataukah hanya berslogan saja tanpa mempraktekannya? Sudah 3 generasi lebih berselang pasca kemerdekaan, tapi mengapa bangsa kita tidak berdaya dalam mengelola arus globalisasi. Mudah saja melihat mental anak-anak muda saat ini. Mereka mengidolakan tokoh-tokoh yang sebetulnya tidak layak dijadikan idola. Selain itu adab bericara dan berpakaian sudah jauh melenceng dari nilai-nilai kesopanan. Lalu dimanakah dampak pendidikan karakter yang digaung-gaungkan selama ini?.
Penjajahan Sebagai Mata Rantai
Perjalanan
sejarah menunjukkan bahwa saat “Barat” mengalami masa pencerahan (Aufklarung),
banyak sekali perubahan terjadi diberbagai aspek kehidupan. Di awali berkembangnya
rasionalisme di “Barat” yang melahirkan beberapa cabang ilmu pengetahuan
seperti politik, ekonomi, biologi, dsb hingga terciptanya alat-alat canggih
seperti mesin uap, mobil, mesin ketik, mesin cetak, mesin tenun, radio, kapal
selam, tv, pesawat terbang bahkan senjata pemusnah masal (nuklir). Sebelumnya
“Barat” terkungkung dengan dogma-dogma agama (kristen) hingga seribu tahun!.
Pencapaian-pencapaian
“Barat” sejak zaman Aufklarung hingga saat ini menyisakan banyak tragedi
kemanusiaan yang memilukan. Kemajuan sains di “Barat” justru memunculkankan
ketakutan dan kebencian antar sesama manusia. Praktek kolonialisme dan imperialisme
di kawasan Asia, Perang Dunia I dan II, bom atom di Hirosima dan Nagasaki Jepang
merupakan contoh nyata bahwa berkembangnya sains di “Barat” tidak disertai ketinggian
adab. Kondisi tersebut tentunya sangat terkait dengan paradigma pendidikan yang
dibangun masyarakatnya. Ideologi liberal baru sekadar memacu potensi rasio
(rasio sentris) namun minus moral (adab). Kemauan keras untuk mengotimalkan
rasio dalam melihat fenomena alam perlu mendapatkan pujian. Namun sayangnya
porsinya meminggirkan aspek-aspek lainnya. Adab-adab dalam menuntut ilmu serta
pengamalanya tidak terlalu diperhatikan. Singkatnya Sains di Barat baru sebatas
alat untuk mengeksploitasi alam dan sesama manusia. Inilah persoalan yang
dihadapi manusia hingga abad 21 ini.
Kebijakan
politik etis yang di bawa oleh penjajah (pemerintah Kolonial Hindia Belanda)
pada awal abad 20 memberikan dampak yang
sangat luas bagi perkembangan sejarah dan pendidikan di Indonesia. Bahkan
dampaknya masih terasa hingga saat ini. Isu liberalisme, balas budi, dan hak
asasi manusia adalah dalih untuk menutupi niat kaum kapitalis untuk menguasai
Sumber Daya Alam (SDA) Indonesia. Tidak ada keinginan yang tulus dari
pemerintah kolonial Belanda untuk mencerdaskan kaum pribumi. Diskriminasi dalam
dunia pendidikan justru ditanamkan. Pembangunan sekolah di Hindia Belanda
(Indonesia) adalah alat untuk mencetak tukang-tukang yang siap pakai untuk
mengisi pabrik-pabrik kaum kapitalis. Di sinilah asal muasalnya “industrialisasi”
pendidikan dimulai. Pendidikan bukanlah sarana untuk memperhalus akal budi,
namun sebagai alat pencetak tukang. Praktek pendidikan seperti ini harus diakui
masih kental dalam dunia pendidikan kita saat ini sehingga melahirkan
manusia-manusia cerdas yang merusak alam dan kemanusiaan. Mungkin secara formal
jenjang pendidikannya sudah S1, S2 bahkan S3, namun masih saja melakukan
praktek korup, suap, menindas, bahkan merusak alam sekitar untuk kepentingan
pribadi.
Para Ulama memprioritaskan Adab
dalam menuntut Ilmu
Ibarat pisau bermata dua, ilmu bisa digunakan untuk kebaikan, namun
bisa juga digunakan untuk keburukan. Tergantung siapa yang memegangnya. Akan
sangat berbahaya sekali seandainya ilmu dimiliki oleh orang yang berkarkater
buruk. Orang seperti itu jusru berpotensi merusak. Oleh sebab itu penting
sekali adab-adab dimiliki oleh para penuntut ilmu, agar kelak di masa yang akan
datang, ia tidak menyalahgunakan ilmunya.
Para ulama Islam
tedahulu memiliki pandangan yang jauh lebih dalam mengenai ilmu. Pendidikan
bukan hanya sebatas transfer ilmu pengetahuan dari guru dan murid, namun juga
sebagai sarana untuk membentuk manusia yang beradab. Sehingga persoalan adab
merupakan proritas utama.
Menurut
Said Hawa adab pertama seorang penuntut ilmu yakni memprioritaskan kebersihan
hati dari segala perangai buruk. Kedua, mengurangi keterkaitan dengan dunia. Ketiga,
tidak sombong kepada orang alim. Keempat, jangan dengarkan perbedaan namun
fokuskan dulu pada disiplin/mazhab tertentu. Kelima, mengetahui tujuan dan
maksud semua ilmu. Keenam, menjaga prioritas dalam mempelajari suatu ilmu.
Ketujuh, menguasai ilmu satu persatu. Kedelapan, mengatahui alasan mengapa
suatu ilmu dianggap peting dan mulia. Kesembilan, memiliki tujuan yang baik. Masih
banyak pendapat-pendapat ulama lainnya mengenai adab dalam menuntut llmu. Menuntut
ilmu bukan semata-mata menguasai ilmu itu sendiri. Proses memperoleh dan pengamalannya pun perlu mendapatkan prioritas utama agar ilmu
memberikan kemaslahatan bagi umat manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar