Sabtu, November 28, 2015

Pembelajaran Sejarah di Abad 21




“Belajar sejarah itu membingungkan!
Banyak kontoversi! Banyak versi! Sarat dengan kepentingan!”.

Pasca Orde Baru (Orba) lengser tahun 1998 hingga saat ini (tahun 2015) Indonesia berupaya menjadi negara yang demokratis. Kebebasan berekspresi lebih terjamin dibandingkan rezim sebelumnya. Dahulu orang tidak berani ngomong yang pedes-pedes kepada pemerintah. Rupanya stabilitas nasional benar-benar telah diamalkan secara nyata oleh pemerintah Orba saat itu. Pemerintah benar-benar mampu mengedalikan rakyat. Rakyat harus manut sama maunya pemerintah. Kalau enggak manut, ya siap-siap diciduk, diamankan, oleh intel-intel yang berkeliaran. Paling ngeri dibilang subversif atau PKI. Pemerintah Orba memang hebat dalam hal mengendalikan informasi. Monopoli informasi dilakukan secara ketat. Termasuk belajar , mengajar dan menulis sejarah.

Materi sejarah di sekolah-sekolah dan diperguruan tinggi semuanya seragam. Harus mengacu kepada buku babon sejarah dari pemerintah jilid 1 sd 6 terbitan pemerintah, kalau tidak ya dianggap “sesat”. Mau tidak mau guru, dosen, harus menyampaikan “kebenaran” sejarah versi pemerintah tersebut. Selama satu generasi lebih kebijakan itu berlangsung sehingga seolah-olah “kebenaran” sejarah itu suci tidak bisa berubah. Materi sejarah nyaris seperti doktrin agama. Namun kondisi semacam itu telah menjadi masa lalu, dan kini di abad 21 ini pasca 1998 semuanya bebas menyampaikan ekspresinya, termasuk belajar dan mengajar sejarah. Guru, dosen dan siapapun boleh berbicara tentang sejarah.

Lalu, apa yang menjadi masalah pembelajaran sejarah diabad 21 ini? Pembelajaran sejarah dinegeri ini (bukan berupaya menggeneralisir) mengalami gagal move on.  Esensi belajar sejarah sebagai sumber pelajaran hidup, sejarah sebagai sumber hikmah sebagai mana dikatakan Ibnu Khaldun, sejarah sebagai guru kehidupan sebagaimana dikatakan Cicero belum terejahwantahkan ditengah-tengah masyarakat.


Pembelajaran sejarah harus sarat nilai
Pada kenyataanya sebagaimana ungkapan Kuntowijoyo, sejarah banyak ditulis orang disetiap peradaban, disetiap waktu dan tempat, telah menjadi bukti bahwa sejarah itu perlu. Perlunya orang menulis sejarah motivasi seseorang belajar, mengajar, dan menulis sejarah. Ada yang berniat baik, dan ada pula yang berniat buruk. Ada yang menulis sejarah untuk kepentingan pribadi, kelompok, dan institusi/negara. Khusus bagi para pengajar sejarah, untuk kepentingan apa dan siapa kita mengajar sejarah?

Sejarah memang banyak kontroversi!. Sejarah bukan ilmu pasti.  Sejarah berbicara tentang manusia bukan hewan atau materi (dalam artian menjelaskan secara detail kandungan/susunan kimiawinya). Hal ini perlu dicatat baik-baik. Sejarah memang sarat dengan kepentingan manusia. Contoh dalam peristiwa 1965, para pengajar sejarah hanya berputar-putar mencari siapa yang salah dan siapa yang benar. Padahal sejarah bukanlah dogma yang suci. Bisa jadi banyak kekeliruan dalam penelitian sejarah, sehingga sangat mungkin terjadi perubahan. Sayangnya ketika ada yang mengungkapkan versi lain selain versi pemerintah tentang peristiwa 1965, tiba-tiba langsung dicap sebagai agen komunis, agen PKI. Padahal bisa jadi seorang peneliti itu bukan pengurus PKI atau simpatisan PKI sekalipun. Sehingga kondisi ini menjadikan pembelajaran sejarah menjadi gagal move on. Di sisi lain esensi sejarah sebagai sumber pelajaran hidup, sumber hikmah terlupakan.

Belajar sejarah bukanlah mengajarkan kebencian dan dendam. Bagaimana mungkin sebuah bangsa akan maju jika hanya berisi kebencian demi kebencian dalam masyarakat?. Tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini. Tidak ada kelompok organisasi masyarakat yang sempurna. Masing-masing punya kelemahan dan kelebihan. PKI memang banyak kesalahnnya, PKI memang keterlaluan dalam berpolitik. Nah disinilah kita bisa menepatkan diri mendidik generasi-generasi yang akan datang agar lebih berhati-hati dalam berpolitik. Berpolitik dengan cara yang santun bukan menghalalkan segala cara. Kesalahan PKI memang banyak bukan berarti kita menutup diri dari kelebihan-kelebihannya. Harus diakui PKI sangat solid dan rapi dalam mengatur organisasi. Inilah sikap yang perlu kita ambil. Soekarno, Hatta, Natsir, Semaoen, Tan Malaka, Muso, Kartosuwiryo, Kahar Muzakar dll, semuanya memiliki kelebihan dan juga kekurangan. Begitu juga organisasi seperti Budi Utomo, Sarekat Islam, PKI, PNI, PI, IP dll juga masing-masing memiliki kekurangan dan kelebihan.

Sering kali dalam penyampaiannya seorang guru terjebak dalam glorifikasi (mitos kejayaan/kebesaran) yang irasional. Mitos memang diperlukan sewaktu-waktu tapi bukan berarti semuanya harus berpijak pada mitos. Belanda memang menjajah bangsa Indonesia tapi bukan berarti semua yang berasal dari Belanda harus dicaci. Banyak hal-hal positif dari bangsa Belanda yang perlu kita pelajari seperti  kehebatan bangsa Belanda merencanakan tata kota. Bagaimana bangsa Belanda membangun gedung-gedung yang sesuai dengan kondisi tempat. Begitu juga tidak semua yang berasal dari Indonesia harus dipuji seperti banyaknya pamong desa yang rela menjadi antek Belanda dalam kebijakan Tanam Paksa. Demi mendapatkan bonus dari Belanda (cultuurprocenten) para pamong desa menekan para petani untuk bekerja ekstra keras.

Paradigma Pembelajaran Sejarah di abad 21
Berganti-gantinya kurikulum pendidikan memang cukup membingungkan guru di seluruh Indonesia. Tahun 2013 lalu, Kurikulum 2013 diberlakukan dan usianya hanya satu tahun. Berbagai alasan disampaikan terkait kesiapan kurikulum tersebut. Metode pembelajaran pun disosialisasikan di sekolah-seolah melalui dinas pendidikan di masing-masing wilayah. Di tingkat perguruan tinggi mahasiswa menggebu-gebu melakukan dekonstruksi terhadap metode pembelajaran yang dianggap ketinggalan zaman. Seolah-olah metode-metode lama seperti ceramah tidak diperlukan lagi. Demi berorientasi siswa, banyak ide-ide segar bermunculan dalam metode pembelajaran sejarah. Contoh: demi merangsang keaktifan siswa, pembelajaran sejarah sering kali di isi diskusi. Padahal diskusi bukanlah metode satu-satunya. Demi mengimplementasikan Kurikulum 2013 tentang pengunaan teknologi sebagai sarana pembelajaran, akhirnya guru sangat ketergantungan dengan teknologi. Jika tidak ada sarana penunjang seolah-olah akan menghambat proses pembelajaran. Jangan-jangan semua metode tadi adalah upaya kita bersembunyi dibalik ketidakmampuan diri dalam menyampaikan materi sejarah.

Semua metode pembelajaran baik ceramah, diskusi, portofolio dll semuanya memiliki kekuatan masing-masing sehingga diperlukan pada kondisi-kondisi tertentu. Tidak bisa hanya menggunakan satu metode saja. Namun agaknya dari semua metode tersebut ceramah adalah metode yang paling utama dalam mengajar sejarah karena disitulah kesempatan guru dalam menyampaikan nilai-nilai sejarah. Hakekat pembelajaran sejarah adalah nilai. Tidak ada guannya belajar sejarah jika tidak ada nilai yang bisa diambil. Keberhasilan pembelajaran sejarah harus didukung oleh beberapa elemen, pertama yakni kebijakan pemerintah yang akomodatif terhadap semua elemen masyarakat. Indonesia sangat beragam, sehingga dalam pembelajaran sejarah, negara (pemerintah) harus menjunjung tinggi semangat persatuan diantara msyarakat. Yang kedua, adanya kebebasan dalam upaya pengembangan materi sejarah. Pemerintah memberikan jaminan kebebasan pihak-pihak dalam mengkaji/menafsirkan peristiwa sejarah. Yang ketiga dalam menujang pembelajaran tetap dibutuhkan kurikulum sesuai kebutuhan siswa. Dan yang terakhir adalah guru yang professional.

Bogor, 28 November 2015

catatan:
Sumber gambar : Google
Sumber Inspirasi : Sarasehan Sejarah oleh Bapak Hamdan Tri Atmaja, "Paradigma Pembelajaran Sejarah Abad 21" di Unnes

Tidak ada komentar: