Bahaya terbesar dalam hidup ini
adalah ketika “gagal” mengenal diri sendiri. Ketidakmampuan itu menjadikan
hidup ini menjadi bias dan mudah diombang-ambing oleh orang lain. Apalagi jika
arus besar pemikiran luar masuk menyerbu hingga merasuk ke dalam pikiran.
Menyerbu identitas kita dan semuanya tentang kita. Kita adalah seperti yang
mereka katakan.
Serangan Stigmatisasi
Pada abad 19, saat Eropa mulai gencar-gencarnya
mengembangkan sains, para avonturir mereka melakukan penjelajahan ke berbagai
negeri. Mereka mengatakan bahwa bangsanyalah yang paling beradab atau modern, sedangkan
lainnya tidak alias perlu diberi pelajaran adab. Stigmatisasi itu begitu kuat
dipropagandakan demi melancarkan kepentingan kolonialisme.
“Bangsa yang bodoh, Primitif, budak, inlander”
adalah stigmatisasi yang selalu dibenamkan dalam pikiran bangsa kita.
Stigmatisasi itu kemudian diwujudkan dalam hukum kolonial. Sebagaimana kita
tahu bahwa pada masa kolonial, masyarakat kita dibagi dalam kelas-kelas social.
Kelas pertama ditempati oleh kaum Eropa, kelas kedua ditempati orang-orang
timur asing dan para bangsawan pribumi, dan kelas terbawah ditempati masyarakat
umum pribumi. Dampak dari pembagian kelas itu sangat nyata dalam kehidupan
sehari-hari dalam hal hak dan kewajiban. Soal nonton bioskop saja diatur
sedemikian rupa. Barisan pertama hanya untuk kalangan Eropa dan bangsawan
pribumi sedangkan barisan selanjutnya untuk golongan-golongan rendahan.
Begitulah kondisi bangsa kita saat
itu. Bangsa kita menghadapi dominasi sekaligus hegemoni. Dominasi berarti
penguasaan secara fisik, hegemoni berarti penjajahan secara mental. Penjajahan
terakhir inilah yang menjadi faktor lamanya bangsa kita dijajah.
Penjajahan itu menyakitkan, menyengsarakan,
dan masyarakat kita sebenarnya sebagian besar bosan dijajah dan ingin bebas
dari segala bentuk penjajahan. Sayangnya bangsa kita pada masa itu mayoritas
tidak berpendidikan alias bodoh atau dibodohi. Alhasil pikiran mereka untuk
lepas dari penjajahan hanya menjadi gunung harapan semata. Mereka bingung harus
memulai darimana untuk melakukan perubahan. Parahnya lagi mereka terjebak dalam
keyakinan mistis bahwa suatu hari nanti akan ada sosok Ratu Adil yang akan
membawa mereka lepas dari segala kesusahan!.
Sejarah Sebagai Cermin
Saat Thomas Stamford Rafless menemukan
Candi Borobudur di Magelang, Ia berbisik-bisik kepada sahabatnya, “Ternyata
kita menjajah bangsa besar yang sedang tertidur lelap”. Kata-kata Rafless
bukanlah sekadar kata-kata biasa, namun sarat makna. Ia menyadari bahwa leluhur
bangsa Indonesia adalah bangsa besar namun mengalami keterputusan sejarah, sehingga
kehilangan identitasnya. Kehilangan kebanggaanya.
Barulah pada awal abad 20 suara-suara
perlawanan mulai menggema. Di awali dari diskusi-diskusi kecil di kelas-kelas
sekolah Belanda. Benih-benih kesadaran atas ketidaksejajaran itu muncul
dipermukaan. Sejarah masa lampau dipahami secara kritis. Kegemilangan dan kekeliruan
para leluhur dipahami secara bijaksana. Bangsa Indonesia pelan tapi pasti tumbuh
menusuk ke jantung kekuasaan. Dan semua itu dipelopori oleh anak-anak muda yang
bersemangat. Anak muda yang sadar identitasnya sebagai bangsa yang besar namun
terhinakan oleh praktek kolonialisme.
Oleh sebab itu, menjaga identitas merupakan modal
awal untuk bangkit. Di era gadget saat
ini ancaman-ancaman pengaburan identitas sangat besar. Anak-anak muda kita
dinina bobokan oleh kehidupan populis yang penuh hiburan semata. Masa keemasan
anak muda kita terancam oleh kehidupan yang hedonistis. Ini adalah tantangan
terbesar kita yakni menanamkan semangat kepada anak-anak muda kita tentang
peranan mereka sebagai kunci perubahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar