Senin, Mei 23, 2016

Mengenal Diri Untuk Menjaga Harga Diri

Bahaya terbesar dalam hidup ini adalah ketika “gagal” mengenal diri sendiri. Ketidakmampuan itu menjadikan hidup ini menjadi bias dan mudah diombang-ambing oleh orang lain. Apalagi jika arus besar pemikiran luar masuk menyerbu hingga merasuk ke dalam pikiran. Menyerbu identitas kita dan semuanya tentang kita. Kita adalah seperti yang mereka katakan.

Serangan Stigmatisasi
Pada abad 19, saat Eropa mulai gencar-gencarnya mengembangkan sains, para avonturir mereka melakukan penjelajahan ke berbagai negeri. Mereka mengatakan bahwa bangsanyalah yang paling beradab atau modern, sedangkan lainnya tidak alias perlu diberi pelajaran adab. Stigmatisasi itu begitu kuat dipropagandakan demi melancarkan kepentingan kolonialisme.

 “Bangsa yang bodoh, Primitif, budak, inlander” adalah stigmatisasi yang selalu dibenamkan dalam pikiran bangsa kita. Stigmatisasi itu kemudian diwujudkan dalam hukum kolonial. Sebagaimana kita tahu bahwa pada masa kolonial, masyarakat kita dibagi dalam kelas-kelas social. Kelas pertama ditempati oleh kaum Eropa, kelas kedua ditempati orang-orang timur asing dan para bangsawan pribumi, dan kelas terbawah ditempati masyarakat umum pribumi. Dampak dari pembagian kelas itu sangat nyata dalam kehidupan sehari-hari dalam hal hak dan kewajiban. Soal nonton bioskop saja diatur sedemikian rupa. Barisan pertama hanya untuk kalangan Eropa dan bangsawan pribumi sedangkan barisan selanjutnya untuk golongan-golongan rendahan.

Begitulah kondisi bangsa kita saat itu. Bangsa kita menghadapi dominasi sekaligus hegemoni. Dominasi berarti penguasaan secara fisik, hegemoni berarti penjajahan secara mental. Penjajahan terakhir inilah yang menjadi faktor lamanya bangsa kita dijajah.

Penjajahan itu menyakitkan, menyengsarakan, dan masyarakat kita sebenarnya sebagian besar bosan dijajah dan ingin bebas dari segala bentuk penjajahan. Sayangnya bangsa kita pada masa itu mayoritas tidak berpendidikan alias bodoh atau dibodohi. Alhasil pikiran mereka untuk lepas dari penjajahan hanya menjadi gunung harapan semata. Mereka bingung harus memulai darimana untuk melakukan perubahan. Parahnya lagi mereka terjebak dalam keyakinan mistis bahwa suatu hari nanti akan ada sosok Ratu Adil yang akan membawa mereka lepas dari segala kesusahan!.

Sejarah Sebagai Cermin
Saat Thomas Stamford Rafless menemukan Candi Borobudur di Magelang, Ia berbisik-bisik kepada sahabatnya, “Ternyata kita menjajah bangsa besar yang sedang tertidur lelap”. Kata-kata Rafless bukanlah sekadar kata-kata biasa, namun sarat makna. Ia menyadari bahwa leluhur bangsa Indonesia adalah bangsa besar namun mengalami keterputusan sejarah, sehingga kehilangan identitasnya. Kehilangan kebanggaanya.

Barulah pada awal abad 20 suara-suara perlawanan mulai menggema. Di awali dari diskusi-diskusi kecil di kelas-kelas sekolah Belanda. Benih-benih kesadaran atas ketidaksejajaran itu muncul dipermukaan. Sejarah masa lampau dipahami secara kritis. Kegemilangan dan kekeliruan para leluhur dipahami secara bijaksana. Bangsa Indonesia pelan tapi pasti tumbuh menusuk ke jantung kekuasaan. Dan semua itu dipelopori oleh anak-anak muda yang bersemangat. Anak muda yang sadar identitasnya sebagai bangsa yang besar namun terhinakan oleh praktek kolonialisme.


Oleh sebab itu, menjaga identitas merupakan modal awal untuk bangkit.  Di era gadget saat ini ancaman-ancaman pengaburan identitas sangat besar. Anak-anak muda kita dinina bobokan oleh kehidupan populis yang penuh hiburan semata. Masa keemasan anak muda kita terancam oleh kehidupan yang hedonistis. Ini adalah tantangan terbesar kita yakni menanamkan semangat kepada anak-anak muda kita tentang peranan mereka sebagai kunci perubahan. 

Tidak ada komentar: