Selasa, Juli 19, 2016

Islam Maknanya Luas, Dan Jangan dipersempit


Saya kira berislam merupakan sebuah proses  tiada akhir. Setiap kaum muslimin pun melakukannya. Tidak relevan lagi membagi-bagi kaum muslimin dalam kategori-kategori yang kaku seperti Islam abangan dan puritan, Islam modern atau tradisional.  Seolah-olah jika sudah terkategori abangan, ia menjadi abangan selamanya.


Istilah-istilah itu seolah-olah memandang kaum muslimin seperti benda yang statis. Bukankah iman seseorang itu fluktuatif? Hanya Allah yang berhak menghakimi apakah seseorang paling Islam atau tidak. Istilah abangan menunjukkan bahwa seorang telah berislam (Berislam baik dengan sendirinya dianggap Islam karena lahir dalam keluarga Islam maupun berislam dengan persaksian sahadatnya), akan tetapi pada kenyataanya tidak sepenuhnya menjalankan ritual-ritual keagamaan seperti shalat dan puasa dsb.  Terkadang ia masih melakukan ritual-ritual lain yang bukan berdasarkan ajaran Islam, bahkan bertentangan dengan perintah Allah dan Rosulnya. Ia sebatas bersyahadat semata. Istilah puritan menunjukkan bahwa seseorang telah berislam dan telah menjalankan ritual-ritual seperti shalat, puasa dsb dalam kesehariannnya dan telah berupaya menjalankan perintah serta menjauhi segala larangan-larangan Allah dan Rosul-Nya.



Saya kira istilah-istilah itu harus dipahami secara tidak kaku. Jika digunakan sebatas memudahkan dalam melihat komunitas masyarakat, saya kira tidak jadi masalah. Asalkan bukan menjadi rumus yang baku. Masyarakat adalah sekelompok manusia yang beragam dan dinamis, tidak statis seperti benda. Kekakuan memahaminya akan menimbulkan kekeliruan cara berpikir kita dalam memahami masyarakat. Beragam yakni jika dilihat dari latar belakang (ras, etnis, agama dsb). Dinamis yakni gejolak pikiran maupun perasaan setiap manusia dalam memahami realitas disekelilingnya.  Oleh sebab itu tidak pas jika ada sebagian golongan mengklaim diri paling Islam, atau mendominasi kebenaran.


Sebagian kelompok ada yang tidak sabar dengan realitas masyarakat yang menurut pandangan mereka kurang atau bahkan tidak Islami. Padahal wilayah Islami atau tidak Islami adalah wilayah yang terdapat benyak perbedaan pendapat dikalangan ulama. Ketidaksabaran atau bahkan ketidakpahaman itu terwujud dari keinginan ingin menerapkan “Hukum Islam” di Indonesa. Mereka berharap dengan diterapkannya “Hukum Islam” maka kemaksiatan akan segera berakhir dan masyarakat akan menjadi tentram.

Saya ingin menyampaikan beberapa pertanyaan kepada orang-orang yang bersikeras menuntut agar segera diberlakukan “hukum Islam” tersebut. Pertama, Bagaimana profil negara Islam yang ingin di bangun? Kedua, bagaimana detail bentuk pemerintahan serta susunannya? 


Saya seratus persen adalah orang yang mendukung ajaran Islam menjadi “Sumber Hukum” atau “Referensi Hukum”. Saya yakin ajaran Islam sangat detail mengatur kehidupan manusia daripada ajaran-ajaran lainnya, akan tetapi bukan semata-mata menghancurkan kearifan lokal masyarakat yang beragam budayanya. Sekali lagi berislam adalah proses. Masyarakat yang beragama Islam dimanapun berada pada dasarnya sedang berproses menjadi “Islami”.


Saya sempat membayangkan di Indonesia ini, dimana mayoritas masyarakatnya tinggal dipelosok desa. Dan sebagian besar masyarakat desa tidak melanjutkan sekolah. Pemahaman mereka sangat terbatas tentang ajaran Islam. Lalu, ada aturan bahwa semua laki-laki harus shalat berjamaah di masjid jika tidak maka akan mendapatkan hukuman. Para wanitanya harus menggunakan jilbab ditempat umum sesuai dengan “syariat”, jika tidak maka akan mendapatkan hukum cambuk. 

Saya yakin justru agama dan ajarannya akan berubah menjadi sangat otoriter dan menakutkan. Tindakan penyeragaman itu sangat tidak bijaksana di tengah masyarakat yang heterogen pemahamannya. Bukankah tidak ada paksaan dalam agama Islam?. 


Jadi, ajaran Islam sebagai sumber hukum saya sangat setuju. Namun harus disesuaikan, harus dikompromikan dengan masyarakat. Aturan-atauran wahyu itu harus ditransformasikan ke dalam bahasa publik yang heterogen. Dan harus diharmoniskan dengan kearifan lokal masyarakat. Mengapa harus ditransformasikan ke dalam bahasa publik? Hal ini agar masyarakat memahami dengan mudah kesepakatan yang telah dibuat, serta apabila jika terjadi kekeliruan dikemudian hari, masyarakat tidak serta merta merendahkan kemuliaan aturan agama. Akan tetapi akan menjadi evaluasi bersama masyarakat itu sendiri dalam menafsirkan ajaran agama.



Kab. Semarang, 4 Juli 2016




Tidak ada komentar: