Saya kira berislam merupakan sebuah proses tiada
akhir. Setiap kaum muslimin pun melakukannya. Tidak relevan lagi membagi-bagi
kaum muslimin dalam kategori-kategori yang kaku seperti Islam abangan dan
puritan, Islam modern atau tradisional. Seolah-olah jika sudah
terkategori abangan, ia menjadi abangan selamanya.
Istilah-istilah itu seolah-olah memandang kaum
muslimin seperti benda yang statis. Bukankah iman seseorang itu fluktuatif?
Hanya Allah yang berhak menghakimi apakah seseorang paling Islam atau tidak.
Istilah abangan menunjukkan bahwa seorang telah berislam (Berislam baik dengan
sendirinya dianggap Islam karena lahir dalam keluarga Islam maupun berislam
dengan persaksian sahadatnya), akan tetapi pada kenyataanya tidak sepenuhnya
menjalankan ritual-ritual keagamaan seperti shalat dan puasa dsb.
Terkadang ia masih melakukan ritual-ritual lain yang bukan berdasarkan ajaran
Islam, bahkan bertentangan dengan perintah Allah dan Rosulnya. Ia sebatas
bersyahadat semata. Istilah puritan menunjukkan bahwa seseorang telah berislam
dan telah menjalankan ritual-ritual seperti shalat, puasa dsb dalam
kesehariannnya dan telah berupaya menjalankan perintah serta menjauhi segala
larangan-larangan Allah dan Rosul-Nya.
Saya kira istilah-istilah itu harus dipahami secara
tidak kaku. Jika digunakan sebatas memudahkan dalam melihat komunitas
masyarakat, saya kira tidak jadi masalah. Asalkan bukan menjadi rumus yang
baku. Masyarakat adalah sekelompok manusia yang beragam dan dinamis, tidak
statis seperti benda. Kekakuan memahaminya akan menimbulkan kekeliruan cara
berpikir kita dalam memahami masyarakat. Beragam yakni jika dilihat dari latar
belakang (ras, etnis, agama dsb). Dinamis yakni gejolak pikiran maupun perasaan
setiap manusia dalam memahami realitas disekelilingnya. Oleh sebab itu
tidak pas jika ada sebagian golongan mengklaim diri paling Islam, atau
mendominasi kebenaran.
Sebagian kelompok ada yang tidak sabar dengan realitas
masyarakat yang menurut pandangan mereka kurang atau bahkan tidak Islami.
Padahal wilayah Islami atau tidak Islami adalah wilayah yang terdapat benyak
perbedaan pendapat dikalangan ulama. Ketidaksabaran atau bahkan ketidakpahaman
itu terwujud dari keinginan ingin menerapkan “Hukum Islam” di Indonesa. Mereka
berharap dengan diterapkannya “Hukum Islam” maka kemaksiatan akan segera
berakhir dan masyarakat akan menjadi tentram.
Saya ingin menyampaikan beberapa pertanyaan kepada
orang-orang yang bersikeras menuntut agar segera diberlakukan “hukum Islam”
tersebut. Pertama, Bagaimana profil negara Islam yang ingin di bangun? Kedua,
bagaimana detail bentuk pemerintahan serta susunannya?
Saya seratus persen adalah orang yang mendukung ajaran
Islam menjadi “Sumber Hukum” atau “Referensi Hukum”. Saya yakin ajaran Islam
sangat detail mengatur kehidupan manusia daripada ajaran-ajaran lainnya, akan
tetapi bukan semata-mata menghancurkan kearifan lokal masyarakat yang beragam
budayanya. Sekali lagi berislam adalah proses. Masyarakat yang beragama Islam
dimanapun berada pada dasarnya sedang berproses menjadi “Islami”.
Saya sempat membayangkan di Indonesia ini, dimana
mayoritas masyarakatnya tinggal dipelosok desa. Dan sebagian besar masyarakat
desa tidak melanjutkan sekolah. Pemahaman mereka sangat terbatas tentang ajaran
Islam. Lalu, ada aturan bahwa semua laki-laki harus shalat berjamaah di masjid
jika tidak maka akan mendapatkan hukuman. Para wanitanya harus menggunakan
jilbab ditempat umum sesuai dengan “syariat”, jika tidak maka akan mendapatkan
hukum cambuk.
Saya yakin justru agama dan ajarannya akan berubah
menjadi sangat otoriter dan menakutkan. Tindakan penyeragaman itu sangat tidak
bijaksana di tengah masyarakat yang heterogen pemahamannya. Bukankah tidak ada
paksaan dalam agama Islam?.
Jadi, ajaran Islam sebagai sumber hukum saya sangat
setuju. Namun harus disesuaikan, harus dikompromikan dengan masyarakat.
Aturan-atauran wahyu itu harus ditransformasikan ke dalam bahasa publik yang
heterogen. Dan harus diharmoniskan dengan kearifan lokal masyarakat. Mengapa
harus ditransformasikan ke dalam bahasa publik? Hal ini agar masyarakat
memahami dengan mudah kesepakatan yang telah dibuat, serta apabila jika terjadi
kekeliruan dikemudian hari, masyarakat tidak serta merta merendahkan kemuliaan
aturan agama. Akan tetapi akan menjadi evaluasi bersama masyarakat itu sendiri
dalam menafsirkan ajaran agama.
Kab. Semarang, 4 Juli 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar