Senin, Februari 13, 2017

Semua Tentang “Komunisme” di Indonesia (Bagian 1)



Saya mulai menelaah peristiwa “G 30 S/PKI”  tentunya sejak menjadi mahasiswa sejarah di Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Undip. Entah semester berapa pastinya saya mulai konsern membaca literatur-literatur, serta berdiskusi dengan teman-teman berkaitan dengan “G 30 S PKI”.

Rasa penasaran saya terhadap peristiwa sejarah yang buram itu memacu saya mecari tahu, sebenarnya apa sih yang terjadi pada pertengahan tahun 60 tersebut?. Rasanya ingin segera mendapatkan pemahaman yang utuh tentang peristiwa itu, namun belum juga memperoleh jawaban yang memuaskan hati. Lalu saya pun terus membaca. Entah berapa buku, sudut pandang, yang saya temukan dalam pencarian tersebut. Oleh sebab itu dalam catatan ini saya ingin menyampaikan padangan saya dari hasil pencarian tersebut mengenai “Komunisme” di Indonesia. Saya berusaha menelusui Komunisme sejak masa pemerintah kolonial. Pandangan saya ini telah bercampur dengan penafsiran saya sendiri. Dan yang jelas bukanlah pendapat yang bersifat final, namun amat sangat terbuka untuk berubah. 

Tentang Sarekat Islam Merah di Semarang
Pada tahun 1920-an Sarekat Islam pernah menjadi organisasi politik terbesar di Indonesia. Massanya melebihi massa Boedi Utomo yang bersifat elitis karena anggotanya hanya kaum priyayi saja. Adapun sarekat Islam anggotanya lebih merakyat. Inilah yang menyebabkan SI tumbuh dengan pesat, ditambah faktor kepemimpinan kharsmatik HOS Tjokroaminoto. Doktrin-doktrin agama sangat kental mewarnai metode perjuangan SI ini dalam merespon dominasi kolonialisme. Islam anti penindasan dan pro mustadafin. Begitu pula komunisme sebagaimana asalnya juga menentang dominasi kaum kapitalis penindas dan pro terhadap kaum buruh. Nama Snievlet tidak bisa dihilangkan memiliki peran penting menjadi mentor yang mewariskan komunisme kepada tokoh-tokoh SI seperti Semaoen, Alimin, Darsono dan lain sebagainya. 

Komunisme masuk mempengaruhi sebagian kader SI dalam menerjemahkan realitas dan cara memperjuangkannya. Pada awal abad 20 ideologi Marxisme cukup menjadi maistream (arus besar) pemikiran yang harus diketahui para aktivis pergerakan nasional. Sepertinya ada kebanggaan tersendiri bagi sebagian aktivis pergerakan jika memahami ideologi ini. Kondisi masyarakat yang tertindas (kaum ploretar) sebagai dampak sistem kolonialisme menyuburkan benih-benih perlawanan rakyat kepada kolonialisme. Komunisme sebagai “ideologi pembebasan/anti kelas/anti dominasi kaum kapitalisme jahat” tumbuh subur dalam kondisi seperti itu.  Ditambah situasi internasional yang menujukkan bahwa Marxisme--komunisme berhasil menumbangkan rezim totaliter. Kemenangan kaum komunis itu dikenal dengan kemenangan kaum Bolsevik 1917. 

Muso, Alimin, dan Darsono begitu terinspirasi dengan kememangan kaum Bolshevik itu, dan menginginkan agar revolusi seperti itu pun terjadi di Hindia Belanda (Indonesia). Kekaguman itu membuatnya amat yakin bahwa ideologi Marxisme-komunisme lebih “nonjok” ketimbang doktrin-doktrin agama Islam dalam merespon kolonialisme. Nah dari situlah muncul perbedaan pendapat diinternal SI sehingga membentuk kubu-kubu dalam SI. Kubu Haji Agus Salim (SI Putih) berupaya mengimbangi Kubu Muso (SI Merah) dengan menyampaikan pandangan bahwa Islam itu merangkum semua kebaikan-kebaikan dari seluruh ideologi dunia. Selanjutnya HOS Tjokroaminoto pun menegaskan pandangannya bahwa Islam itu sudah sangat sosialis. Sosialisme sudah ada dalam ajaran agama Islam. Bahkan ia sampai menuliskan risalahnya yakni “Islam dan Sosialisme” untuk meyakinkan anggota SI yang mulai goyah terhadap Islam sebagai landasan perjuangannya. 
 
Adapun Muso masih meragukannya. Ia melihat tokoh-tokoh SI Putih tidak konsisten dengan perkataanya. Muso melihat SI putih terlihat lembek bahkan malah bekerjasama dengan pemerintah Kolonial dengan menjadi bagian dalam Dewan Rakyat (Volksraad) bentukan pemerintah. Ambruknya wibawa kepemimpinan tokoh-tokoh SI Putih ini di mata angggota SI Merah, menjadikan pengurus SI merah ini menjalankan kegiatannya di Semarang secara tidak terkendali. Misalnya SI merah memobilisasi kaum buruh kereta api Semarang melakukan mogok massal tanpa meminta persetujuan ketua umum SI (HOS Tjokroaminoto) di Yogya. Tentu hal ini menimbulkan kekacauan. Pemerintah kolonial semakin beringas kepada SI. 

Menanggapi kondisi tersebut, Haji Agus Salim dalam rapat umum menyampaikan ide tentang Disiplin Organisasi. Ide tersebut disambut hangat sebagian besar anggota yang hadir. Adapun inti dari disiplin organisasi tersebut adalah; anggota SI harus setia terhadap organisasi. Anggota SI tidak dipekenankan menjadikan isme lain sebagai landasan perjuangan. Nah dari sinilah Muso dan kawan-kawan “dipecat” dari SI dan mendirikan Partai Komunis Indoensia (PKI)

Tidak ada komentar: