Saya mulai menelaah
peristiwa “G 30 S/PKI” tentunya sejak
menjadi mahasiswa sejarah di Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Undip. Entah
semester berapa pastinya saya mulai konsern membaca literatur-literatur, serta berdiskusi
dengan teman-teman berkaitan dengan “G 30 S PKI”.
Rasa penasaran saya terhadap peristiwa sejarah yang buram itu memacu saya mecari tahu, sebenarnya apa sih yang terjadi pada pertengahan tahun 60 tersebut?. Rasanya ingin segera mendapatkan pemahaman yang utuh tentang peristiwa itu, namun belum juga memperoleh jawaban yang memuaskan hati. Lalu saya pun terus membaca. Entah berapa buku, sudut pandang, yang saya temukan dalam pencarian tersebut. Oleh sebab itu dalam catatan ini saya ingin menyampaikan padangan saya dari hasil pencarian tersebut mengenai “Komunisme” di Indonesia. Saya berusaha menelusui Komunisme sejak masa pemerintah kolonial. Pandangan saya ini telah bercampur dengan penafsiran saya sendiri. Dan yang jelas bukanlah pendapat yang bersifat final, namun amat sangat terbuka untuk berubah.
Rasa penasaran saya terhadap peristiwa sejarah yang buram itu memacu saya mecari tahu, sebenarnya apa sih yang terjadi pada pertengahan tahun 60 tersebut?. Rasanya ingin segera mendapatkan pemahaman yang utuh tentang peristiwa itu, namun belum juga memperoleh jawaban yang memuaskan hati. Lalu saya pun terus membaca. Entah berapa buku, sudut pandang, yang saya temukan dalam pencarian tersebut. Oleh sebab itu dalam catatan ini saya ingin menyampaikan padangan saya dari hasil pencarian tersebut mengenai “Komunisme” di Indonesia. Saya berusaha menelusui Komunisme sejak masa pemerintah kolonial. Pandangan saya ini telah bercampur dengan penafsiran saya sendiri. Dan yang jelas bukanlah pendapat yang bersifat final, namun amat sangat terbuka untuk berubah.
Tentang Sarekat Islam Merah di Semarang
Pada tahun 1920-an
Sarekat Islam pernah menjadi organisasi politik terbesar di Indonesia. Massanya
melebihi massa Boedi Utomo yang bersifat elitis karena anggotanya hanya kaum
priyayi saja. Adapun sarekat Islam anggotanya lebih merakyat. Inilah yang
menyebabkan SI tumbuh dengan pesat, ditambah faktor kepemimpinan kharsmatik HOS
Tjokroaminoto. Doktrin-doktrin agama sangat kental mewarnai metode perjuangan
SI ini dalam merespon dominasi kolonialisme. Islam anti penindasan dan pro
mustadafin. Begitu pula komunisme sebagaimana asalnya juga menentang
dominasi kaum kapitalis penindas dan pro terhadap kaum buruh. Nama Snievlet
tidak bisa dihilangkan memiliki peran penting menjadi mentor yang mewariskan
komunisme kepada tokoh-tokoh SI seperti Semaoen, Alimin, Darsono dan
lain sebagainya.
Komunisme
masuk mempengaruhi sebagian kader SI dalam menerjemahkan realitas dan cara
memperjuangkannya. Pada awal abad 20 ideologi Marxisme cukup menjadi maistream (arus besar) pemikiran yang
harus diketahui para aktivis pergerakan nasional. Sepertinya ada kebanggaan tersendiri
bagi sebagian aktivis pergerakan jika memahami ideologi ini. Kondisi masyarakat
yang tertindas (kaum ploretar) sebagai dampak sistem kolonialisme menyuburkan
benih-benih perlawanan rakyat kepada kolonialisme. Komunisme sebagai “ideologi
pembebasan/anti kelas/anti dominasi kaum kapitalisme jahat” tumbuh subur dalam
kondisi seperti itu. Ditambah situasi
internasional yang menujukkan bahwa Marxisme--komunisme berhasil menumbangkan rezim
totaliter. Kemenangan kaum komunis itu dikenal dengan kemenangan kaum Bolsevik
1917.
Muso, Alimin, dan
Darsono begitu terinspirasi dengan kememangan kaum Bolshevik itu, dan
menginginkan agar revolusi seperti itu pun terjadi di Hindia Belanda (Indonesia). Kekaguman itu
membuatnya amat yakin bahwa ideologi Marxisme-komunisme lebih “nonjok”
ketimbang doktrin-doktrin agama Islam dalam merespon kolonialisme. Nah dari
situlah muncul perbedaan pendapat diinternal SI sehingga membentuk kubu-kubu
dalam SI. Kubu Haji Agus Salim (SI Putih) berupaya mengimbangi Kubu Muso (SI
Merah) dengan menyampaikan pandangan bahwa Islam itu merangkum semua
kebaikan-kebaikan dari seluruh ideologi dunia. Selanjutnya HOS Tjokroaminoto
pun menegaskan pandangannya bahwa Islam itu sudah sangat sosialis. Sosialisme
sudah ada dalam ajaran agama Islam. Bahkan ia sampai menuliskan risalahnya
yakni “Islam dan Sosialisme” untuk meyakinkan anggota SI yang mulai goyah
terhadap Islam sebagai landasan perjuangannya.
Adapun Muso masih
meragukannya. Ia melihat tokoh-tokoh SI Putih tidak konsisten dengan
perkataanya. Muso melihat SI putih terlihat lembek bahkan malah bekerjasama
dengan pemerintah Kolonial dengan menjadi bagian dalam Dewan Rakyat (Volksraad) bentukan pemerintah. Ambruknya
wibawa kepemimpinan tokoh-tokoh SI Putih ini di mata angggota SI Merah,
menjadikan pengurus SI merah ini menjalankan kegiatannya di Semarang secara
tidak terkendali. Misalnya SI merah memobilisasi kaum buruh kereta api
Semarang melakukan mogok massal tanpa meminta persetujuan ketua umum SI (HOS
Tjokroaminoto) di Yogya. Tentu hal ini menimbulkan kekacauan. Pemerintah
kolonial semakin beringas kepada SI.
Menanggapi kondisi
tersebut, Haji Agus Salim dalam rapat umum menyampaikan ide tentang Disiplin
Organisasi. Ide tersebut disambut hangat sebagian besar anggota yang hadir. Adapun inti dari disiplin organisasi tersebut adalah; anggota SI harus
setia terhadap organisasi. Anggota SI tidak dipekenankan menjadikan isme lain
sebagai landasan perjuangan. Nah dari sinilah Muso dan kawan-kawan “dipecat”
dari SI dan mendirikan Partai Komunis Indoensia (PKI)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar