Kebudayaan
sebagai tanda eksistensi manusia tidak selamanya selaras dengan nilai kemanusiaan.
Hingga saat ini kebudayaan sebagai bentuk pencapaian akal budi justru mengancam
kelangsungan hidup makhluk di bumi.
Perhatikanlah
apa yang sedang terjadi disekitar kita! Kerusakan lingkungan, penindasan,
bahkan pembantaian massal (genosida) masih terus berlangsung. Semua itu adalah hasil dari pecapaian ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Dehumanisme
itu dipertontonkan secara vulgar bersamaan dengan kampanye mengenai hak-hak
kemanusiaan. Bahkan sebagian manusia menggunakan dalih agama yang ia tafsirkan
untuk membantai sekelompok manusia lainnya. Lalu, yang terjadi kemudian adalah reaksi
terhadap ajaran agama. Ajaran agama dijadikan kambing hitam. Agama dicurigai. Agama
dianggap menghambat upaya-upaya kampanye hak-hak kemanusiaan. Agama dianggap
sebagai sumber tindakan radikalisme. Dan, yang paling merusak adalah
seolah-olah sumber radikalisme berasal dari ajaran agama an sich.
Agama
lalu dijauhi. Agama disekunderkan. Bahkan sebagian orang mengatakan tidak
relevan lagi beragama. Lalu dari manakah kita harus mengambil nilai-nilai
keadaban? Bukankah banyak sekali nilai-nilai keadaban bersumber dari ajaran
agama? Koreksi terhadap tafsir ajaran agama tentu perlu, koreksi terhadap
perilaku beragama juga penting, namun bukan berarti menihilkan ajaran agama. Kalau
pun ada manusia mendeklarasikan tidak beragama apakah tidak menutup kemungkinan
tidak berbuat radikal?
Akan sangat
berbahaya jika pencapaian-pencapaian manusia dalam bidang ilmu pengetahuan dan
teknologi tidak diimbangi dengan etika/adab dalam pelaksanaanya. Ibarat seorang
yang memiliki mobil baru namun tidak mengindahkan tata cara penggunaanya. Sehingga
mobil itu justru akan mengancam kelangsungan hidupnya dan orang lain. Dan,
karena mobil itu berbahaya, maka kita memilih menolak saja keberadaan mobil. Contoh lainnya
yakni ibarat seorang yang mengonsumsi obat namun tidak mengindahkan aturan
minum sehingga ia mengalami overdosis. Tentu kita tidak harus menolak
keberadaan obat-obatan bukan?
Kebudayaan
dan peradaban sejatinya memang harus seiring sejalan. Yang pertama harus
mendasari yang kedua bukan sebaliknya. Hal itu juga mungkin yang mendorong
Albert Einstein mengatakan bahwa ilmu tanpa agama pincang, dan agama tanpa ilmu
adalah buta.
Sejarah
banyak menunjukkan bahwa manusia bisa menghasilkan karya yang menakjubkan tanpa
menjauhi agama. Malah karya itu bisa tercipta karena penghayatan mendalam
terhadap ajaran agama. Lihatlah Candi Borobudur, Angkor Watt, Stone Hang,
Phyramida Mesir, situs Gunung Padang, dan lain sebagainya adalah bukti yang sangat
otentik. Bangunan itu dilindungi oleh UNESCO. Bangunan itu dikunjungi ribuan
manusia karena kehebatan arsitekturalnya. Bangunan itu masih menjadi objek
kajian oleh para peneliti saat ini.
Memang gerak
sejarah tidak selamanya melaju linier. Ada masanya saat masyarakat terjatuh dan
ada saatnya naik. Ada saat manusia dalam kondisi damai dan ada saat manusia
dalam kondisi kacau. Namun yang ingin saya sampaikan bahwa peran ajaran agama
amat diperlukan sebagai tuntunan manusia dari waktu ke waktu.
Kadang
kita perlu menyamakan persepsi apa yang dimaksud kemunduran dan kemajuan. Apakah
kemudahan manusia Eropa mengeksplorasi hingga merusak alam Nusantara ini
dikatakan kemajuan? ataukah hidup selaras dengan alam adalah sebuah kemunduran
sebagaimana keselarasan manusia pedalaman Indonesia dalam menjaga alam?
Magelang, 21 Januari 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar