Minggu, Januari 21, 2018

Peradaban Mendasari Kebudayaan



Kebudayaan sebagai tanda eksistensi manusia tidak selamanya selaras dengan nilai kemanusiaan. Hingga saat ini kebudayaan sebagai bentuk pencapaian akal budi justru mengancam kelangsungan hidup makhluk di bumi. 


Perhatikanlah apa yang sedang terjadi disekitar kita! Kerusakan lingkungan, penindasan, bahkan pembantaian massal (genosida)  masih terus berlangsung.  Semua itu adalah hasil dari pecapaian ilmu pengetahuan dan teknologi. 

Dehumanisme itu dipertontonkan secara vulgar bersamaan dengan kampanye mengenai hak-hak kemanusiaan. Bahkan sebagian manusia menggunakan dalih agama yang ia tafsirkan untuk membantai sekelompok manusia lainnya.  Lalu, yang terjadi kemudian adalah reaksi terhadap ajaran agama. Ajaran agama dijadikan kambing hitam. Agama dicurigai. Agama dianggap menghambat upaya-upaya kampanye hak-hak kemanusiaan. Agama dianggap sebagai sumber tindakan radikalisme. Dan, yang paling merusak adalah seolah-olah sumber radikalisme berasal dari ajaran agama an sich

Agama lalu dijauhi. Agama disekunderkan. Bahkan sebagian orang mengatakan tidak relevan lagi beragama. Lalu dari manakah kita harus mengambil nilai-nilai keadaban? Bukankah banyak sekali nilai-nilai keadaban bersumber dari ajaran agama? Koreksi terhadap tafsir ajaran agama tentu perlu, koreksi terhadap perilaku beragama juga penting, namun bukan berarti menihilkan ajaran agama. Kalau pun ada manusia mendeklarasikan tidak beragama apakah tidak menutup kemungkinan tidak berbuat radikal?

Akan sangat berbahaya jika pencapaian-pencapaian manusia dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi tidak diimbangi dengan etika/adab dalam pelaksanaanya. Ibarat seorang yang memiliki mobil baru namun tidak mengindahkan tata cara penggunaanya. Sehingga mobil itu justru akan mengancam kelangsungan hidupnya dan orang lain. Dan, karena mobil itu berbahaya, maka kita memilih  menolak saja keberadaan mobil. Contoh lainnya yakni ibarat seorang yang mengonsumsi obat namun tidak mengindahkan aturan minum sehingga ia mengalami overdosis. Tentu kita tidak harus menolak keberadaan obat-obatan bukan?

Kebudayaan dan peradaban sejatinya memang harus seiring sejalan. Yang pertama harus mendasari yang kedua bukan sebaliknya. Hal itu juga mungkin yang mendorong Albert Einstein mengatakan bahwa ilmu tanpa agama pincang, dan agama tanpa ilmu adalah buta. 

Sejarah banyak menunjukkan bahwa manusia bisa menghasilkan karya yang menakjubkan tanpa menjauhi agama. Malah karya itu bisa tercipta karena penghayatan mendalam terhadap ajaran agama. Lihatlah Candi Borobudur, Angkor Watt, Stone Hang, Phyramida Mesir, situs Gunung Padang, dan lain sebagainya adalah bukti yang sangat otentik. Bangunan itu dilindungi oleh UNESCO. Bangunan itu dikunjungi ribuan manusia karena kehebatan arsitekturalnya. Bangunan itu masih menjadi objek kajian oleh para peneliti saat ini. 

Memang gerak sejarah tidak selamanya melaju linier. Ada masanya saat masyarakat terjatuh dan ada saatnya naik. Ada saat manusia dalam kondisi damai dan ada saat manusia dalam kondisi kacau. Namun yang ingin saya sampaikan bahwa peran ajaran agama amat diperlukan sebagai tuntunan manusia dari waktu ke waktu. 

Kadang kita perlu menyamakan persepsi apa yang dimaksud kemunduran dan kemajuan. Apakah kemudahan manusia Eropa mengeksplorasi hingga merusak alam Nusantara ini dikatakan kemajuan? ataukah hidup selaras dengan alam adalah sebuah kemunduran sebagaimana keselarasan manusia pedalaman Indonesia dalam menjaga alam?

 Magelang, 21 Januari 2018

Tidak ada komentar: