Sabtu, Oktober 08, 2011

Di balik Arogansinya Oknum dalam Berjamaah

Sering saya mendengar atau bahkan merasakan sendiri kejadian miris tentang “oknum” dalam jamaah-jamaah Islam. Apalagi mungkin bagi para “aktivis-aktivis pergerakan” juga dikalangan yang bukan “aktivis”. Sering kali perbedaan pendapat terjadi dikala dalam suasana dialog ringan yang di bumbui canda sampai yang serius-serius hingga menyebabkan “saling terkam” satu dengan yang lainnya. Mereka berusaha menyampaikan “celetukannya” dalam upaya menunjukan bahwa cara/metode merekalah yang paing arif dan bijak., cara merekalah yang paing ideal, cara merekalah yang dianggapnya paling sesuai dengan yang terkandung dalam Al-quran dan As-sunnah. Bahkan yang paling menyedihkan adalah antara satu dengan yang lainnya terkesan saling menjatuhkan didepan internal jamaah mereka masing-masing.

Pernahkah sekai-kali kita merenung sejenak “apakah pendapat saya/kita sudah paling benar dan sempurna?, apakah pendapat saya/kita sudah paing arif tanpa cela?. Bisa jadi akan muncul kemungkinan-kemungkinan. Yang pertama pendapat jamaah tertentu yang mengklaim paling benar dan arif terdapat kekeliruan, atau bisa jadi juga pendapat yang diklaim oleh jamaah tertentu yang dianggapnya “tidak/kurang arif” memiiki kemungkinan sebagai pendapat yang benar. Dan yang ketiga bisa jadi kedua-duanya yang keliru. Lalu disini akan muncul pertanyaan siapakah yang berhak memiliki otoritas untuk mengklaim pendapat tertentu itu benar atau salah?

Disitulah menurut saya hingga saat ini yang menyebabkan masing-masing jamaah selalu ribut saling “memenangkan” pendapatnya masing-masing. Seakan-akan belum merasa puas selama belum memboyong dan mensubordinasi jamaah tertentu kedalam jamaahnya. Okelah seperti kita tahu bahwa sepanjang sejarah pergerakan Islam sering kita temui kasus “saling rebut-merebut” jamaah. Hal ini bisa dipahami bahwa dakwah membutuhkan jamaah dan dalam Al-quran pun diseru agar umat Islam mengutamakan hidup berjamaah. Umat Isam menjadi terpecah-pecah dikarenakan terkait masalah penafsiran mengenai ayat-ayat dalam kitab suci Al-quran dan As-sunnah.

Perbedaan pendapat memang akan selalu ada dalam hidup ini. Bayangkan saja jika setiap orang memiliki pemikiran yang seragam. Akan seperti apa dunia ini? Akankah menjadi jamaah malaikat? Atau jamaah setan? Ingat kita ini adalah manusia bukan diantara keduanya.

Terkadang sering kita mempermasalahkan perbedaan-perbedaan paham dalam Islam yang sudah kita tahu secara bersama. Tapi cendrung memfokuskannya kepada masalahnya itu saja tanpa berintrospeksi terhadap diri kita sendiri secara personal dalam menghadapi perbedaan, tanpa berintrospeksi seberapa besar kapasitas kita sebagai umat Isam dalam menghadapi perbedaan itu, tanpa lebih sering berintrospeksi seberapa besar kemanfaatan yang kita berikan kepada masyarakat, seberapa besar sedekah kita untuk masyarakat, seberapa besar ilmu-ilmu kita yang telah kita berikan kepada masyarakat. Lucu sekali jika memperhatikan para oknum dalam jamaah tertentu yang lebih banyak menyibukkan diri untuk beretorika ditengah masyarakat yang “kebingungan” tentang agamanya sendiri. Lebih senang mencibir jamaah lain yang nyata-nyata saudara seimannya sendiri.

Kita tahu bersama bahwa para imam pun tidak selalu se-iya sekata dalam menetapkan hukum. Antara Imam Syafi’i dan guru-nya pun Imam Maliki dalam hal-hal tertentu saling bersilang pandangan. Namun demikian Imam Syafi’i masih menghormati dan memuliakan gurunya Imam Maliki. Mereka tidak saling mencela bahkan mereka saling menghormati pendapat masing-masing. Mereka adalah Ulama-ulama yang tawadhu terhadap ilmunya, mereka merupakan ulama-ulama yang berhati jernih tidak mengedepankan “ambisi” dan “emosi” semata.

Saya pernah menyaksikan dalam sebuah diskusi yang sebenarnya titik perbedaannya tidaklah besar, tidaklah prinsipil, tapi anehnya diskusi itu selalu ramai dibumbui saling serang pendapat satu dengan yang lain hingga memakan waktu yang cukup lama. “dengan gagah dan berapi-apinya” mereka ingin membuktikan bahwa pendapatnya yang paling masuk akal, pendapatnya yang paling benar, dan lucunya sebenarnya pendapat mereka seiring sejalan, tapi anehnya seakan-akan diantara mereka ada sebuah perbedaan yang besar. Usut punya usut ternyata letak permasalahannya terdapat pada hati-hati kedua orang tersebut yang “sakit”. Kedua orang tersebut satu dengan yang lainya ada semacam ketidakcocokan, tidak suka dalam intonasi atau gaya penyampaian pendapatnya masing-masing. Mereka ternyata memiliki permasalahan secara personal.

Itulah buah kesombongan yang sering membutakan mata hati kita, sering menghitamkan jernihnya hati kita. Sehingga perbedaan kecilpun sukar untuk diselesaikan secara bersama-sama, karena hati telah terhinggapi penyakit sombong yang sangat parah. Mana mungkin kita mampu menyelesaikan permasalahan perbedaan-perbedaan yang kita alami sendiri jika hati kita masih bermasalah? Seharusnya kita seperti semboyannya lembaga pegadaian “menyelesaikan masalah tanpa masalah” (bukan promo pegadaian). Kita selesaikan permasalahan-permasalahan dalam hati kita barulah menyelesaikan masalah.

Menarik untuk kita ambil pelajaran dari sekelompok bebek dan semut. Bebek memiliki kelompoknya sendiri-sendiri. Begitu juga semut memiliki kelompoknya sendiri-sendiri tapi mereka tidak saling memperebutkan kelompoknya masing-masing. Bebek tidak memaksa semut masuk kedalam kelompoknya, begitu juga sebaliknya semut tidak mengemis-ngemis meminta bebek masuk dalam kelompoknya.

Analogi itu sebenarnya tidak cocok bagi manusia. Tapi kita sebagai manusia tentunya mengingingkan menjadi lebih baik derajatnya dari bebek dan semut bukan malah sebaliknya lebih hina dari kedua binatang itu dengan selalu mengobarkan api perselisihan.

Mohon maaf jika banyak kekeliruan semuanya semata-mata karena kedangkalan ilmu saya semata.
(wisma m.u, 7 Agustus 2011)

Tidak ada komentar: