Sabtu, Oktober 08, 2011

Sinyal Nurani

Hari itu hari senin tanggal 2 Mei 2011 bertepatan dengan hari buruh se-dunia. Langkah kaki kuayunkan lumayan cepat menuju jalan raya Sirojudin. Maklum saja, hingga semester 6 Allah sangat sayang kepadaku sehingga ia belum mengijinkan aku mengendarai si kuda besi. Jam menunjukan pukul 10.05, aku pacu kedua kakiku agar sesegera mungkin sampai di pinggir jalan raya. Aku ada kelas pukul 10.20 sehingga masih ada waktu sekitar 15 menit untuk menuju kampus. Suara gemeletuk sepatuku terdengar bersahutan menghantam-hantam tanah. Seandainya tanah berlapis aspal itu punya rasa seperti manusia, ia pasti akan mengaduh kesakitan terhantam oleh kuatnya ayunan langkah kakiku.
Jarak antara kontrakanku dengan jalan raya sebenarnya tidak terlalu jauh hanya berjarak 30 meter. Mungkin karena saking dekatnya jalan raya sehingga membuatku terbuai dan menyepelekan waktu. Aku belum mampu konsisten memanfaatkan kesempatan baik ini secara optimal. Aku masih belum mampu memanage waktu dengan baik. Sikap seperti ini aku sadari tapi kesadaranku itu masih belum mampu aku hayati kedalam relung-relung jiwaku. Buktinya kesadaran akan sifat jelek itu belum mampu ku perbaiki. Tapi dalam hatiku yang paling dalam aku berusaha sekuat tenaga sedikit-demi sedikit untuk memperbaikinya.

Ketika dimuka gang, aku dihadang seorang nenek tua renta. Ia renta sekali. Sambil tergopoh-gopoh membawa kain lusuh ditangan kirinya sedangkan tangan kanannya ia tengadahkan kearahku. Tubuhnya sudah membungkuk sekitar 45 derajat. Termegap-megap ia dengan susah payah menyapaku. Kulihat ia amat susah payah berjalan kearahku. Padahal jarakku dengannya tidak lebih dari 5 meter. Akupun mafhum dengan keadaan demikian. Karena rentanyalah ia butuh perjuangan keras mendekatiku. Akupun mendekatinya seraya memberikan uang yang ada di kantongku yang jumlahnya tak seberapa. Suaranya semakin terdengar ketelingaku. Wajah renta itu penuh harap meminta belas kasihku. Samar-samar akupun mendengarkan ucapan-capannya walaupun aku tidak mengerti apa yang diucapkan. Apakah si nenek itu berbicara dalam bahasa “Jawa” ataukah karena faktor usianyakah yang menyebabkan ia semakin tidak jelas dalam berbicara. Yang jelas ketika aku memberikan uang kepadanya ia sangat bahagia dan seperti mendoakanku. Akupun senang dan merasa lega yang sulit aku lukiskan dengan kata-kata.

Setelah memberikan uang ke si nenek, dadaku seperti ada yang menekan. Benakku tiba-tiba selalu tertuju ke raut wajah si nenek renta itu. Bukan karena aku menyesal atau jengkel telah memberi uang ke si nenek, tapi ada suatu hal membuatku galau. Aku teringat dengan wajah neneku dirumah, aku teringat dengan wajah ibuku yang semakin renta. Bahkan aku membayangkan diriku sendiri jika tua nanti akan seperti apa.

Hatiku seolah-olah tersedu-sedu menyaksikan peristiwa itu. Mengapa si nenek renta itu harus mengalami keadaan memprihatinkan seperti itu di akhir-akhir masa tuanya?, kemanakah keluarga-keluarganya yang lain? Dimana tanggung jawab anak-anaknya? Kok tega betul membiarkan nenek kurus renta itu berjalan-jalan sambil mengemis di pinggir jalan raya dibakar oleh panasnya sengatan mata hari siang bumi Semarang?

Sungguh batinku terpukul. Aku merasa iba sekali dengan nenek tua itu. ketika didalam angkotpun aku masih berempati hanya sebatas empati. Dalam angkot yang sesak, pikiranku masih terlempar jauh ke gang dekat kontrakanku. Terbayang dalam pikiran ingin menampung si nenek itu dalam kontrakan. Tapi bagaimana dengan teman-teman yang lain? Akupun tidak mampu menolongnya. Hanya sebatas harapan dan harapan.

Wajah tua itu masih membekas kuat di benakku. Semakin diingat-ingat hatiku semakin terenyuh. Aku belum bisa menerima keadaan yang aku lihat. Aku sedih dan merasa iba. Mungkin sebagian teman-teman yang membaca tulisan ini menganggap aku terlalu lebay atau terlalu mengambil pusing. Aku bukan bermaksud riya atau dianggap sok peduli. Tapi aku hanya berusaha mengekspresikan apa yang aku rasakan. Dan kebetulan aku menyaksikan suatu peristiwa menyedihkan. Ada seorang nenek yang sangat renta yang masih berjuang mempertahankan hidup dengan cara-cara yang sangat memperihatinkan. Padahal disekelilingnya banyak gedung-gedung mewah yang tentunya di huni oleh orang-orang yang berpunya.

Aku yakin kita semua adalah manusia yang memiliki hati nurani dan pernah atau bahkan sering kali menyaksikan fenomena seperti yang aku rasakan. Ketika para fakir dan miskin bertebaran di sekitar kita. Ketika melihat anak kecil polos yang terpaksa meminta-minta dijalan untuk jajan, pengamen di bus atau lampu merah, ibu-ibu yang mengemis sambil mengendong bayinya berpanas-panasan di jalan. Terkadang kita atau mungkin SAYA didalam hati berkecamuk antara ada rasa iba dan ada rasa cuek melihat fenomena itu semua. Rasa cuek pun jika untuk mencari pembenaranpun bisa kita lakukan karena saat ini memang banyak sekali penipuan-penipuan dengan kedok-kedok meminta belas kasihan. Ataupun karena saking seringnya meliht fenomena tersebut sehingga menganggapnya sebagai hal yang sudah lumrah yang memang sudah semestinya terjadi. Tapi rasakanlah getaran pertama didalam relung hati kita yang terdalam ketika melihat kejadian miris tersebut. Ia berteriak-teriak walaupun suaranya kecil, tapi pasti kita semua pernah merasakannya.

Memang kita bukan hidup di dunia malaikat, dan juga bukan hidup di dunia setan. Kita hidup dengan diapit dua dunia. Dunia kebaikan dan dunia keburukan. Kondisi iman yang selalu fluktuatif, serta hati yang selalu bergejolak setiap detik membuat hidup kita menjadi dinamis. Namun kita juga di karuniakan oleh Allah sifat-sifat kebaikan. Walaupun sifat-sifat kebaikan itu sering terhijab oleh banyaknya dosa-dosa akibat kemaksiatan yang telah kita lakukan. Tapi nurani itu selalu Allah pelihara dan akan selalu hidup. Nurani itu akan selalu bergetar, nurani itu adalah hakim yang setiap saat memberikan bisikan kepada kita mana yang benar dan mana yang salah. Ia akan membawa kita kepada kebaikan. Dan semoga kita semua ikhlas menjalankan apa kata hati nurani. (12-13/5/2011)
Wallohu’alam bisshawab

Tidak ada komentar: