Hari itu tanggal 23 November 2011. Mentari seakan-akan abadi. Pagi itu
sinarnya begitu cerah. Bintik-bintik halus kabut memperlihatkan seolah-olah
spectrum warna putih sinar menyapa setiap helai daun rindang yang kokoh
tertanam di depan kontrakanku. Mungkin ia bahagia dengan kehangatan sinar itu,
dan mungkin pula ia tersenyum dan mengucapkan berterima kasih Kepada Allah yang
menciptakan mentari yang setia menyinarinya. Entahlah hanya Allah Sang Pencipta
yang Maha Tahu bahasa kedua makhluk itu.
Burung-burung seperti biasa
menyambut pagi dengan paduan suara yang anggun. Kiacauannya mengingatkan kepada
seluruh makhluk bahwa hari memang masih pagi. Mungkin juga ia sedang bertasbih
menagungkan asma Allah. Mungkin juga ia
sedang menertawakan manusia-manusia yang masih terlelap tidur dikala mentari
sudah meninggi. Entahlah.
“donat-donat”… suara itu begitu
menggema. Suara itu terdengar dari depan kontrakanku. Semakin lama suara itu
semakin menggema keras dan mendekat. “Dia adalah penjual donat keliling yang
disiplin” gumamku dalam hati dari balik jendela. Masih dari balik jendela
kuperhatikan sosok pemuda itu. Ia memang masih cukup muda. Mungkin usianya
sekitar 25 tahun-an. “Apakah ia sudah berkeluarga?” lagi-lagi pertanyaan itu
terbersit dalam benakku.
Sedikit membandingkan dengan diriku, juga kawan-kawan dikonrakan yang
masih bersantai-santai atau mungkin “bermalas-malasan” dikamar. Lagi-lagi
batinku sedikit tersindir oleh si Penjual donat itu. “Ah.. pikiran gw aja yang
terlalu ambil pusing. Setiap orang pasti punya cerita masing-masing! Ku mencoba
meng cover dialog didalam batinku
yang kian menjadi.
Jam dinding menunjukan pukul 06.00
tepat. Waktu yang masih cukup leluasa tuk bersantai-santai pagi. Hari ini aku
ada kelas pukul 08.40. Masih ada kesempatan 2 jam 40 menit. Tapi pukul 07.00 syuro telah menantiku. Seperti biasa ku lihat Handphoneku mengecek inbok yang masuk
untuk hanya sekedar meyakinkan diri sendiri bahwa hari ini memang ada syuro.
SMS itu dari seorang akhwat yang bersemangat sekali.
--------------------------
From: Al-Ukh
22.11.2011
19:40
Asslkum…
Kpd sluruh panitia DM1
KAMMI JARSAT SOSIAL FIB-FISIP-FH-FEB
Tuk hadir dlm syuro persiapan DM
Bsok 23 November @ Masjid Kampus pukul 07.00.
Agenda : Fiksasi pembicara, Jmlh Peserta, transpotasi,
dll
Harap on time!
Berrsemangat!
Allohuakbar!
----------------------------
Setelah mandi dan rapi. Aku
bersiap-siap menuju jalan besar Banjarsari. Kebetulan kontrakanku berada di
Gang Gayamsari No 27 A. Jarak antara kontrakanku dengan jalan besar sekitar 50
meter. Suasanapun sudah terlihat lebih ramai. Teriakan-terikan motor
menggemakan sudut-sudut lorong jalan yang dikanan-kiri nya merupakan bangunan
bertingkat. Bagunan bertingkat itu adalah rumah kost. Aku berjalan kaki menuju jalan besar. Allah
belum memperkenankan aku dibelikan motor oleh ortu. Entahlah… namun aku yakin
bahwa Allah akan memberikannya pada saat yang tepat. Aku teringat pesan guru
spiritualku yang menyampaikan sebuah nasehat. Katanya kurang lebih begini: “Allah Maha Tahu kapasitas Iman
Hamba-hamba-Nya. Ia memberikan yang terbaik bagi hamba-Nya sesuai kepasitas.
Bisa jadi terbaik menurut manusia tapi belum tentu terbaik menurut Allah begitu
juga sebaliknya, sesuatu yang dianggap manusia tidak baik tapi menurut Allah
itu merupakan yang terbaik baginya”.
Menunggu
beberapa saat akhirnya “jemputanku” datang juga. “Kampus Mas” seru Pak Sopir.
Aku menganggukkan kepala dan segera masuk kedalam. ternyata didalam sudah
terlihat sesak sekali. Hanya kursi depan yang terlihat masih kosong. Lalu aku
pilih didepan saja dekat dengan pak Sopir. “wow beruntung sekali aku dapet
kursi depan, longgar dan leluasa!” gumamku dalam hati. Ku tengok kebelakang
ternyata penuh sekali bahkan jika berdasarkan ukuran kapasitas mungkin sudah
tidak layak. Kadang aku suka jengkel dengan sopir-sopir angkot maupun bus yang
terlalu memaksakan kapasitas penumpang.
Pernah
suatu ketika aku sempat bersitegang dengan seorang supir angkot di Patung Kuda
daerah Ngesrep. Penumpang-penumpang yang ada didalam juga terlihat “jengkel”
dengan tingkah Pak Sopir yang “maksa”.
Mereka terlihat menggerutu didalam mobil namun masih terlihat segan. Aku
juga tidak bisa terima dengan kebijakan Pak Sopir. Tanpa bisa ku kendalikan,
akhirnya uneg-unegku terungkap secara verbal. “Pak Ini sudah penuh! Jangan
ditambah lagi donk mau ditaro dimana tuh penumpang!” Akhirnya dengan wajah yang
sama-sama jengkel Pak Sopir tidak menerima para penumpang itu. Itulah
pengalaman tidak mengenakkanku dengan sopir angkot.
Dan semoga
Pak Sopir yang ada disampingku ini tidak seperti sopir yang dahulu bersitegang
denganku. Namun terkadang aku juga merasa prihatin dengan nasib para sopir yang
berlomba-lomba dengan sopir yang lain dalam mencari penumpang. Pernah aku juga
memikirkan kembali sikapku terhadap sopir yang bersitegang denganku dahulu.
Apakah sikapku sudah berlebihan?. Mungkin aku bisa memprotes sikap Pak Sopir
yang menurutku “kelewatan” itu Karena aku tidak di posisi dia sebagai Sopir.
Aku juga belum pernah merasakan menjadi seorang kepala keluarga yang harus
mencari nafkah mencukupi kebutuhan sitri dan anak-anakku. Aku belum pernah
merasakan betapa tangisan seorang anak yang minta jajan kepada bapaknya itu
sungguh menjadi pikiran sang ayah. Terkadang aku berimajinasi seandainya aku
dalam posisi dia mungkinkah aku juga akan bersikap seperti dia. Ya Allah…
betapa masih belum seberapa pengalamanku dalam mengarungi hidup ini.
Angkotpun terus berjalan disekitar
Masjid Al Hidayah Tembalang. Dari Kejauhan ku lihat ada seorang akhwat yang
sedang berdiri dipinggir jalan. Sepertinya ia memang ingin pergi ke kampus.
Pikir punya pikir aku juga mulai panic.
Di belakang penumpang sudah sangat penuh berdesakan. Di depan hanya ada aku
dengan Pak Sopir. “Waduh ni kayaknya mau dipaksain juga duduk didepan nih… wah
gawat kii, walaupun jujur ada sebersit “kegembiraan” (haha^^). Terjadilah
pertempuran batin yang cukup sengit dalam diri ini “klo seandainya ni sopir maksain tuh akhwat
duduk didepan dampingan sama gw, bisa bahaya, ntar muncul cerita macem-macem.
Klo pun misal dalam kondisi yang ky gtu dibolehin tapi gw masih ragu dalam
hukum fiqihnya. Terpaksa gw kudu ngalah!”.
Dan ternyata benar dugaanku. Pak
Sopir mengajak si Akhwat itu naik didepan. Apa yang terjadi? Alhamdulillah,
walaupun sedikit dipaksa oleh Pak Sopir bahwa kursi masih bisa longgar dan
layak ditempati 2 orang. Tapi ia masih bersih keras tidak mau naik. Lega
hatiku. Dan aku sangat salut kepada akhwat itu yang tegas menjaga iffahnya
(kesuciannya). “mantaaaaap” gumamku dalam hati. Akhirnya si akhwat dengan jaket
hitam itu mundur bebarapa langkah kebelakang. Dan kembali keposisi ketempat
duduk pelsteran tempat ia tadi menunggu angkot. Ketika mundur ia sedikit balik
kanan menyerong. Dan aku melihat tulisan dijaketnya “MUSLIM
NEGARAWAN”. Dan akhirnya aku sampai
di depan Masjid Kampus. “kirrri Pak”! “disini mas?” “iya pak” jawabku. Aku keluarkan uang sebesar
2000 rupiah. Pak Sopir itu terlihat senang dan tersenyum riang.
Sekian
Wisma Zaid bin Tsabit, 6 Januari 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar