Rabu, April 25, 2012

Menyusuri Setapak Jejak Langkahku… Ini Ceritaku, Mana Ceritamu?



“Dakwah, Ukhuwah, dan Jihad”. Istilah-istilah yang empat tahun lalu terasa biasa-biasa saja ditelingaku bahkan berkonotasi negatif. Dan saat  mendengarnya-pun aku serasa hampa. Ibarat angin lalu ia datang dan pergi begitu saja tanpa makna.  Ia tidak memberi kesan mendalam. Tak penting kiranya mendramatisasi kata “Dakwah, Ukhuwah dan Jihad” hingga melahirkan emosi didalam dada. Berulang kali kata itu diiucapkan oleh teman-teman disaat acara-acara keislaman di SMA. Aku kira kata itu hanya sekedar “pemantas” saja agar acara ke-Islaman menjadi lebih khidmat. Sinisme didalam hati bagaikan bara dalam sekam. Walau tak terlihat nyalanya, ia tetap merah membara didalam dada. Semacam ada resistensi (penolakan) secara halus.
 Disatu sisi sebagai seorang muslim aku mengerti dan menginginkan Islam menjadi rahmat bagi semua namun disisi lain aku tidak perduli bagaimana agar semua itu bisa terwujud. Bahkan menunjukan simbol-simbol agamapun di lingkungan teman-teman masih tidak percaya diri. Ditengah ketidakpastian sikap itulah langkah-langkahku tak menentu. Setengah hati tepatnya. Masih kuat diingatanku ketika harus selalu “dikompor-kompori” oleh kawan-kawan agar ikut bergabung dalam perkumpulan Rohis (Rohani Islam) SMA. Mengikuti serangkaian kegiatan yang pada waktu itu seperti hanya membuang-buang waktu. Jika mereka mengajak, aku akan ikut, dan jika tidak ya aku tidak perduli. Rasanya waktu itu aku berpendapat bahwa tak perlulah dakwah harus diperjuangkan sedemikian rupa.
Bisa dibilang dalam bergaul waktu itu aku tidak memiliki pendirian yang tegas. Disatu sisi aku masih senang bermain-main, nongkrong-nongkrong ria tanpa terlalu peduli dengan batasan-batasan. Teman perempuan dan laki-laki dari kalangan non-Rohispun banyak. Pada waktu itu ada semacam stigma didalam benakku bahwa berorganisasi itu hanya membuang-buang waktu dan akan membuatku tidak fokus dengan mata pelajaran di Sekolah. Waktu itu pragmatisme sudah muncul dalam diriku. Entah asalnya dari mana, mungkin dari lingkungan keluarga yang sama sekali tidak memberi motivasi kepadaku mengenai pentingnya aktif beroganisasi atau karena faktor ekonomi keluarga yang pas-pasan, dan ongkos sekolah yang pas-pasan juga. Yang pasti dua faktor itu membuat sikapku semakin apatis untuk mengikuti kegiatan-kegiatan di Sekolah. Fokusku hanya satu yakni belajar yang rajin. Apalagi  keluargaku menekankan bahwa yang namanya belajar ya belajar. Dan alhasil setiap pelajaran disekolah usai, aku langsung bergegas pulang.
Kemudian, entah kapan pastinya aku mulai akrab dengan anak-anak Rohis Sekolah. Aku ingat waktu itu ada seorang sahabat yang memberikan undangan acara secara langsung kepadaku (waktu itu aku belum memiliki hape). Undangan itu adalah acara peringatan hari besar Maulid Nabi Muhammad Saw. Akupun mengikutinya dari awal hingga akhir. Hubungan pertemanan-pun terus terjalin. Ketika aku sedang serius membuka-buka buku di Perpustakaan, kawan baruku itu sering menghampiri walau hanya sekedar tanya kabar, berdiskusi seputar mata pelajaran. Hingga pada suatu saat ia mengajakku datang dalam sebuah acara Mentoring. Atas dasar tidak enak untuk menolak ajakannya, akupun datang dalam acara tersebut. Apa itu mentoring? Waktu itu tidak terlalu penting untuk dipikirkan, paling hanya sekedar ngaji-ngaji biasa saja. Akhirnya setelah pulang sekolah pada saat terik matahari waktu itu aku datang dalam acara mentoring. Kurang lebih ada sepuluh orang waktu itu. Memang ketika pertama kali mengikuti mentoring, kesan pertamaku biasa-biasa saja, bahkan aku sempat meremehkan “Kok yang ngajarin ngaji masih muda sekali, dan jarang sekali gunain dalil al-Quran, bahasanya juga kok umum-umum saja dan ketika ada yang bertanya dia seperti kurang menguasai materi?”. Tentu sebagai pelajar yang sudah mengerti arti “menghargai” aku tidak mencelanya secara langsung. Yang pasti kesanku terhadap acara mentoring waktu itu kurang bagus.
Atas dasar itulah ketika mendengar ajakan mentoring hatiku hampa-hampa saja. Bahkan pernah suatu ketika aku mengajak teman sekelasku (waktu itu aku masih kelas dua SMA) ijin agar tidak usah mengikuti mentoring. Penolakan terhadap acara mentoring begitu kuatnya, hingga pada saat Pementor masih menyampaikan materi aku langsung mangajukan diri untuk ijin tidak mengikuti mentoring. Dan itu berlangsung beberapa kali. Dan yang membuatku heran adalah kawan-kawanku yang dari rohis tidak memusuhiku bahkan terus-menerus memotivasiku agar tetap menghadiri kegiatan mentoring. Nah disitu aku mulai bertanya-tanya seberapa penting sih mentoring?. Pada kesempatan lain aku juga mengikuti kembali kegiatan mentoring. Waktu itu hanya sekedar eksis-eksis-an, apalagi teman perempuanku yang juara kelas dengar-dengar ikut kegiatan mentoring juga. Jujur saja saat itu aku memang “menyimpan rasa” dengan teman perempuan itu. Sehingga aku ikut kembali kegiatan mentoring. Sungguh materi yang disampaikan waktu itu sangat menyentuh, apalagi Pementorku waktu itu mempertontonkan video masyarakat Palestina yang sedang dibombardir oleh tentara-tentara Israel. Hatiku tersentuh, air mataku menetes, betapa menyedihkan sekali nasib kaum muslimin diluar sana. Aku menyaksikan keberanian Muhammad Al-Fatih dan saat-saat terakhir bersama ibunya sebelum ia turun ke medan jihad melawan Israel dan syahid atas peperangan tersebut. Pada saat itu hatiku memperoleh sedikit “pencerahan” setelah mengikuti mentoring.
Aku mulai aktif mengikuti Mentoring dan terkadang sering mengikuti kegiatan-kegiatan rohis lainnya selain mentoring. Setelah bergabung di Rohis memang aku bukanlah penggeraknya, aku hanya sebatas penggembira saja. Aku tidak memiliki impian yang jelas ketika bergabung di Rohis. Itu berlangsung hingga menjelang kelulusan. Dan ketika dalam forum syuro pun aku lebih banyak diam. Walaupun demikian aku sering diminta bantu-bantu terkait perlengkapan dan menata-nata ruangan jika ada acara-acara besar keagamaan. Saat itu hatiku memang masih “menyimpan rasa” dengan teman perempuanku.
Setelah lulus memang aku tidak terlalu aktif lagi di Rohis, tetapi dalam acara-acara tetentu mantan-mantan pengurus selalu diundang untuk meramaikan acara. Sering pada waktu-waktu tertentu aku mengikuti acara-acara Mabit (menginap) di masjid sekolah. Hingga pada suatu saat aku mendapatkan info bahwa aku diterima menjadi Mahasiswa di Universitas Diponegoro S1 Ilmu Sejarah. Memang sebelumnya aku telah mendaftar ke beberapa Universitas. Padahal sejujurnya aku masih belum yakin apakah bisa melanjutkan kuliah di perguruan tinggi melihat kondisi ekonomi keluarga yang pas-pasan.
            Setelah melewati tawar menawar yang cukup alot dengan orang tua khususnya ibu, akhirnya beliau mengijinkan aku melanjutkan studi di Universitas Diponegoro Semarang. Sungguh ketika sampai di Semarang, sama sekali tidak terpikirkan untuk mengikuti mentoring lagi seperti di Sekolah. Dan aku pikir kegiatan mentoring cukup hanya di sekolah saja. Tetapi lagi-lagi aku dipertemukan dengan lingkungan dengan aktivitas-aktivitas keislaman kampus. Kebetulan aku satu kontrakan bahkan satu kamar dengan Sekretaris Umum Rohis Fakultas Teknik Universitas Diponegoro, Ketua KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) Komisariat Teknik Universitas Diponegoro. Setiap hari mau tidak mau aku harus berinteraksi dengan para aktifis Rohis kampus yang sering berkunjung ke kontakan untuk mengadakan syuro-syuro. Dengan sendirinya budaya-budaya interaksi anak Rohis mulai merasuk kedalam pribadiku seperti cara mereka menyapa sambil (jika sesama laki-laki) bersalaman, mengucapkan salam, kata-kata sapaan seperti “Akhi” dan “Ukhti”, “ikhwan dan akhwat”, syukron, afwan dan sebagainya. Terkadang aku diajak mengikuti agenda-agenda mereka seperti ikut Tatskif, Dzikir Al-Ma’Tsurat, Munasharah Palestin dan lain-lain.
Aku tidak mengerti. Semuanya ku ikuti dengan serta dan pada saat-saat tertentu aku merasa ingin keluar dari zona itu yang kurasa telah melenceng dari tujuan awal ketika pertama kali aku menginjakan di Semarang. Disisi lain sebagai mahasiswa jurusan Ilmu Sejarah aku sering berinteraksi dengan teman-teman yang pemikirannya cukup ekstrem dan kritis tentang budaya-budaya anak rohis. Teman-temanku bisa dikatakan cukup sinis sambil mereka memaparkan argumen-argumen tajam. Sempat aku terpengaruh dalam menentukan dalam beberapa bulan. Argument-argumen mereka sedikit banyaknya cukup mempengaruhi pola pikirku. Dan sempat aku berupaya berontak dengan sikap kritisku mempertanyakan budaya-budaya yang ada disekelilingku seperti mengapa jika rapat harus selalu memakai hijab yang rapat, mengapa akhwat sangat protektif sekali terhadap laki-laki hingga dilarang berboncengan, mengapa harus menggunakan istilah-istilah arab dalam berbicara, mengapa kumandang takbir selalu dipekikan keras-keras yang terkadang membuat aku “merinding”. Pertanyaan-pertanyaan itu pada saat-saat tertentu sering aku sampaikan saat-saat mengikuti kajian hingga terkadang membuat forum menjadi kurang nyaman. Sempat aku ditegur oleh beberapa kawan yang ‘gemas’ dengan sikapku. Dan aku justru semakin puas jika banyak yang merespon sikapku. “Untuk apa kamu berbuat seperti itu?”. Namun justru aku semakin sinis karena aku tidak memperoleh jawaban yang memuaskan.
Hingga pada suatu saat aku menemukan sebuah momen yang sungguh menggetarkan hati. Lagi-lagi aku diajak dalam sebuah acara nonton bareng. Awalnya aku menolak, aku benar-benar merasa ilfeel dengan anak-anak Rohis. Jujur aku memang ada rasa arrogant. Aku menilai mereka hanya ikut-ikutan saja tanpa tahu dasar dalam bertindak. Aku menolak diajak nonton bareng. Namun seniorku dikontrakan selalu membujukku bahkan akan bersedia membayari tiketnya. Dengan setengah hati aku mengiyakan. Karena ia senior akupun jadi tidak enak hati. Kamipun langsung berangkat dari kontrakan menuju kampus untuk menonton film. Aku duduk dibarisan terdepan. Kebetulan kami datang tepat waktu. Beberapa menit kemudian banyak sekali mahasiswa yang berdatangan, ku tengok kebelakang, para jilbaber sudah memenuhi kursi. Hingga dalam hati aku bertanya-tanya, “bagaimana sih ceritanya kok sepertinya banyak sekali yang antusias menyaksikan film ini?”
Sang Murobbi… itu judul filmnya, dan subhanalloh tak terasa aku terhanyut dalam alur cerita tersebut betapa besar pengorbanan seorang dai. Waktu, harta dan pikirannya tersita untuk dakwah disaat gerakan Islam dikebiri oleh kebijakan pemerintah yang represif. Dengan segala upaya disaat kondisi yang sangat beresiko, aktifitas dakwah tetap dilakukan secara sembunyi-sembunyi agar tidak diketahui intel.
Subhanalloh hatiku benar-benar tersentuh, seakan-akan aku terasa lahir kembali dengan semangat baru. Pada saat itulah ku camkan dalam-dalam dihatiku bahwa aku harus bergabung dalam barisan dakwah ini, aku tidak bisa hanya sebagai penonton bahkan pengkritik saja. Segera aku mencari-cari informasi mengenai Rohis di Jurusanku, aku ingin bergabung dalam kelompok mentoring. Namun sayang seribu sayang disaat benih-benih semangat dakwah ini bersemi, Rohis di Jurusanku belum memiliki departemen mentoring. Bahkan agenda-agenda keislamanpun ternyata sering kali tidak dirayakan. Benar-benar ujian keimanan pertama bagiku. Aku dihadapkan dengan kondisi medan yang demikian terjal. Dan disitu aku dipertemukan Allah dengan seorang akhwat yang begitu gigih berdakwah disana. Kebetulan ia adalah seniorku. Pernah suatu ketika ia berbicara kepadaku. “Dek beginilah keadaan kampus kita, hampir 3 tahun kondisinya seperti ini. Dan adek adalah orang yang mbak rasa mampu membantu mbak untuk membimbing teman-teman dan adik-adik kelas pada masa yang akan datang. Dan mbak berharap aktivitas mentoring bisa hidup kembali, mbak ingin adek yang menjadi penanggung jawab mentoring di jurusan ” Dengan penuh pengharapan ia berbicara kepadaku. Sontak saja aku terkejut, tetapi dengan yakin aku menjawabnya “Insya Alloh mbak, saya akan membantu mbak, mohon bimbingannya”.
Pada saat itulah perjalanan dakwahku berawal. Sempat aku jatuh bangun, bahkan sempat meneteskan air mata. Setiap fase-fase keadaan aku lewati, tantangan demi tantangan benar-benar mendidikku menjadi pemuda yang tegar. Dauroh-dauroh sering aku ikuti, pemahamanku, akhlakku kian hari kian terkendali. Dan satu demi satu pertanyaan-pertanyaan saat dahulu aku lontarkan mulai terjawab. Aku merasakan ketentraman dan kenyamanan dalam barisan dakwah ini. Kedewasanku dari hari-kehari semakin tumbuh. Dan aku harus mengajak sebanyak-banyaknya teman-teman agar bisa bersama-sama bergabung dalam barisan dakwah ini!.
Semarang, 20 April 2012
Anton