Pemuda
itu masih berdiri didepan Toko Buku favoritnya. Toko Buku yang berada di Pojok
Pasar di daerah Antah Berantah. Toko yang biasa menjajakan buku-buku lama
dan murah meriah. Kegemarannya mengoleksi buku-buku memang membanggakan dan
patut diapresiasi. Ia memang ingin menjadi ‘Kutu Buku’ sejak duduk di bangku
kuliah. Menurut teman-teman yang melihatnya ia dijuliki sebagai ‘Si Kutu Buku’.
Saya juga tidak mengerti mulai sejak kapan orang yang rajin membaca buku di
juluki sebagai ‘Si Kutu Buku’. Apakah julukan itu bermakna menghina ataukah
mengapresiasi? Mengapa harus ‘Kutu Buku’ mengapa bukan Kutu Loncat, Kutu Ayam,
Kutu kambing , Kutu Kerbau, bahkan Tom Cat?. Apakahkah karena sering ditemukan
binatang kutu dalam setiap lembaran buku? Nyatanya juga saya jarang melihat
kutu-kutu bertebaran. Memang sesekali saya pernah menemukan binatang kutu
didalam sebuah buku yang tidak terlalu terawat dan biasanya bukunya sudah tua
atau klasik. Saya serahkan kepada anak Sastra Indonesia.
******
Flash back……
Sebuah
keputusan yang sebenarnya aneh dan sedikit ‘memaksa’. Ia (Si Pemuda) memaksakan
harus suka membaca dalam sebuah deklarasi yang sebagian orang masih
menganggapnya lux (mewah) “Mulai saat ini saya harus suka membaca!. Ya,
memang sebuah keputusan hebat sekaligus menantang. Bagaimana tidak aneh, ia
dibesarkan dan bergaul dengan teman-teman yang memang belum menjadikan tradisi
membaca sebagai sebuah gaya hidup lalu tiba-tiba ia ingin berbeda sendiri?.
Tetapi ia jalani saja sikap barunya itu. Awalnya memang biasa-biasa saja.
Diapun merasakan hal biasa-biasa saja setelah deklarasi itu diungkapkan. Mana
mungkin sebuah kebiasaan baru akan dengan mudah mengubah sikapnya hanya
dengan sebuah ‘deklarasi’ ditambah dorongan lingkungan yang minim?
Ia
memaksakan dirinya harus ‘mencintai’ sesuatu yang awalnya tidak diakrabi-nya.
Sebuah keputusan yang aneh menurut sebagian orang. Jika Pujangga Jawa
mengatakan bahwa Witing Tresno Jalaran Soko Kulino adalah sebuah alasan
yang bisa diterima untuk ‘mencintai’, namun hal ini berbeda baginya. Ia harus
‘mencintai’ dalam sekejap hanya karena sebuah keinginan saja. Keinginan
menggebu-gebu yang ia sendiri masih belum merasakan secara nyata apa
manfaatnya. Dan juga atas dasar dari pengalaman yang cukup ‘tragis’ dalam
dirinya sendiri. Ia bosan hanya sekedar jadi pendengar, ia ingin juga
mengetahui apa yang sebenarnya terjadi disekitarnya. Mengapa terjadi seperti
ini dan mengapa terjadi seperti itu. “Rasa-rasanya kok saya banyak tidak tahu”
begitu katanya. Terkadang ia juga merasa minder jika diajak diskusi dengan
teman-temannya yang lain tentang suatu hal. Ia hanya diam dan manggut-manggut
saja. “Saya harus cinta baca walau belum bisa jatuh cinta!” ungkapnya dalam
hati.
Kemudian
ia pun sering mengunjungi tempat-tempat dimana buku-buku bacaan disimpan. Ia
harus menyerap sebanyak mungkin informasi. “Yang terpenting harus memperoleh
sebanyak mungkin informasi” begitu ungkapnya. Pada saat ketika ia berada di
Perpustakaan, sebenarnya ia baru sekedar mondar-madir membaca-baca judul buku
yang telah terbit. Sambil merasa bingung mau baca buku apa. Akhirnya ia ambil
saja buku sastra tebal berhalaman sekitar 500. Teman-teman barunya yang baru
datang dengan serta merta mencap dirinya sebagai ‘Kutu Buku’. Wajar saja
teman-teman barunya itu berasumsi demikian. Bisa jadi stigma terhadap seseorang
akan selalu diingat sesuai dengan citra pertama yang ditunjukaannya.
Temannya berkata: “Wah anda Kutu Buku yaa kok bacaanya tebal sekali,
memang ini kebiasaan anak-anak pinter seperti anda ya …”. Awalnnya si
Pemuda itu juga GR (Gede Rasa). Dalam batinnya “hmmm pujiannya berlebihan,
perasaan saya cuma pegang buku saja deh, belum baca-baca apa-apa. Tapi ya gak
apa-apa sih, wong disebut pinter, semoga aja jadi doa”. Ia pun nyaman dengan
pernyataan sang teman. Dan secara tidak sadar peryataan itu ia identikan dengan
dirinya. “Emang saya pantes ya di sebut pinter?, bangga juga disebut jadi orang
pinter hehe….” Ibarat orang yang sedang kasmaran, pujian sang teman terhadap
dirinya begitu ‘mengena’ dan terus terngiang dalam benaknya, setara dengan
setiap kata dari sang pujaan hati, “sesuatu banget! Begitu mungkin ungkapan
anak zaman sekarang.
Perjuangannya
untuk bisa ‘mencintai’ apa yang belum ia cinta bukan tidak mendapat tantangan.
Cibiran, sinisme, bahkan tertawaan dari teman-temannya terhadap life style
baru nya itu sudah menjadi makanan sehari-hari. Dikala ada waktu senggang ia
sempatkan membaca buku walau hanya sekedar membolak-balikan halaman. Ketika
sedang berada diangkutan umum, ia juga menyempatkan membuka buku. Terkadang ia
juga merasa jengah dengan sikap barunya itu. Suara hatinya berbisik “saya
merasa aneh sendiri ya, apa sikap saya sudah over acting ? tetapi ia
tetap pada pendiriannya toh apa yang saya lakukan sama sekali tidak merugikan
orang lain. Begitu suara hati yang lain membisikinya. “Bukankah justru
sangat mulia dan bisa menjadi contoh bagi orang yang melihat sikap saya.
Sesekali juga ada semacam perasaan ria. Tetapi ia juga masih tetap pada
pendiriannya “Mengapa saya harus menyembunyikan kebaikan yang memang baik,
mengapa saya harus malu jika kebaikan saya memberikan dampak baik, sungguh aneh
hati ini. Jika memang sesuatu yang dilakukan itu baik dan tidak merugikan orang
lain dan bahkan baik jika diikuti orang lain, bukankah itu adalah
tindakan yang mulia, lalu apa alasan saya untuk tidak melaksanakannya?” Si Pemuda
itu pun tegas dengan pendiriannya dan rasa cinta terhadap buku pun kian
bersemi. Dan kebiasaan yang awalnya tidak dicinta itulah yang membentuk
dirinya. Sekian ^^
“Seseorang yang menyembunyikan kebaikan karena takut dilihat
manusia, sesungguhnya ia telah berbuat RIA. Dan seseorang yang memperlihatkan
kebaikan dengan niat ingin di puji manusia, sesungguhnya ia telah berbuat
SYIRIK” (Fudhail bin Iyadh)
Prof. Dr. Anton Saputra. M.Phil
Semarang
Wisma Zaid Bin Tsabit
30 November 2012
- Cerita diatas hanyalah fiksi dan juga tidak bersifat non fiksi. ^^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar