Jumat, Mei 04, 2012

Dimana Cinta, Dimana Nalar

Seorang pemuda-pemudi yang sedang dimabuk asmara akan memandang dunia ini selalu nampak indah. Disaat memandang luasnya langit, terangnya sinar mentari, cahaya rembulan, kerlipan bintang, kebun-kebun bunga yang segar terhampar, maka semuanya akan terasa ramah dan bersahabat. Seakan-akan fenomena alam itu hanya tersetting  untuk mendukung kisah asmara mereka berdua. Yang ada hanyalah kebaikan. Tidak ada tempat untuk segala yang buruk. Hingga sampai-sampai melampaui batas-batas akal sehat. Memang orang yang sedang dimabuk cinta akan secara tiba-tiba menjadi tidak realistis.
Siapa yang tidak bahagia jika ada seseorang yang begitu mencintai kita dan rela melakukan apa saja demi memenuhi keinginan atau apa saja yang kita senangi. Mungkinkah ini yang mendasari seseorang untuk berperilaku “aneh” kepada seseorang pujaan hati?. Mungkin hingga saat ini sikap aneh itu masih menjadi “nyannyian-nyanyian indah” sebuah kewajaran tingkah bagi orang-orang yang sedang dimabuk cinta.
Begitulah cinta. Sebagian pakar mengatakan bahwa cinta memang tidak bisa dijelaskan. Hanya ‘gejala-gejala’nya saja yang bisa diuraikan. Manifestasi cinta ini begitu dahsyat dan mengundang decak kagum namun juga kengerian. Begitu banyak manifestasi-manifestasi cinta kita temukan baik fisik maupun non fisik.
Bukan merupakan hal yang aneh ketika orang dimabuk cinta, ia berani berdusta atas nama cinta. Ia mengatakan hal-hal diluar kemampuannya. Ia memberanikan diri berbuat diluar kewajaraan disaat si pujaan hati meminta kepadanya meskipun permintaan tersebut ‘menyalahi’ hati nuraninya. Akhirnya iapun menjadi tidak merdeka.Dan mungkin saja sikap istimewa itu hanya teruntuk ‘seorang’ saja bukan kepada setiap orang karena ada ‘misi’ tersembunyi. Banyak kisah-kisah orang terdahulu yang bisa kita ambil pelajaran, dimana seseorang yang memiliki kharismatik yang mengagumkan tetapi tunduk dan patuh hanya kepada seorang gadis yang ‘kebetulan’ ditakdirkan berparas cantik. Mungkin bisa kita lihat dari kisah Raja Louis IV Sang Despotik yang menjadi budak istri cantiknya. Sang Raja diperbudak istrinya agar menyalahgunaan kekuasaan dan  menghambur-hamburkan uang rakyat. Alhasil perbuatan merekapun tidak melahirkan kebaikan, bahkan justru mengantarkan mereka ke panggung kematian. Mereka dipancung dengan Gaullotine dihadapan seluruh rakyat Prancis. Sungguh kisah yang tragis!.
Menjadi sebuah hal yang umum dikalangan anak muda saat ini, dimana begitu mudah kata-kata cinta diumbar. Bahkan secara khusus telah disajikan dalam sebuah program acara di salah satu stasiun televisi. Tentu mayoritas penontonnya adalah para anak muda walaupun mungkin sebagian anak-anak dan orang tua juga menontonnya. Memang menggelikan dan sungguh mengundang tawa. Dan para pemain-nya pun berdalih bahwa program ini hanyalah program hiburan. Tetapi saya yakin dalih itu tidak akan menjadi sebuah dalih terhadap suatu yang semua orang akan menganggapnya serius seperti menentukan pasangan dan membina rumah tangga.
Kewajaran sikap memang akan selalu dirindukan setiap orang. Sikap yang wajar dan tidak berlebihan tentu tidak akan membuat orang kecewa. Sebuah kasus yang mungkin kita semua pernah mendengar. Pengakuan seorang istri yang bernada ‘memilukan’.  “Dahulu dia itu romantis sekali ketika masa pacaran tapi kini kata-kata sapaan romantis itu seakan-akan tak berbekas”. “Dahulu ia begitu romantis bahkan sering mengirimi pesan-pesan singkat yang indah-indah, tapi kini semua itu hanya kenangan masa muda saja” begitu ungkapnya. Akhirnya kekecewaanlah yang ia peroleh dari mantan pacarnya (baca:suami) itu. Ya kecewa, karena suaminya itu hanya ‘manis dibibir’ tetapi tidak manis sampai dihati. “Ternyata dahulu kata-kata indahnya hanyalah sebagai senjata untuk ‘menaklukanku’.  Kini ketika aku telah jatu kedalam pelukannya, ia ‘membiarkanku’. Terasa hanya sesaat saja masa-masa indah itu” begitu mungkin suara hatinya. 
Terkadang kita sering mengatakan hal yang diluar batas kewajaran. Tentunya batas kewajaran itu ukurannya adalah ‘feeling’ kita sendiri. Mengatakan apa yang memang sebenarnya ‘belum ada’ pada diri kita  dan mengada-adakannya . Kita masih belum jujur terhadap diri kita sendiri. Kita masih tidak percaya diri dengan apa yang kita miliki. Kita masih terobsesi dengan sebuah ‘kesempurnaan’. Kita ingin menampilkan kesempurnaan kepada orang lain khusunya kepada sosok sang pujaan hati. Sehingga ‘mati-matian’ kita mempertahankan ‘citra’ yang sesungguhnya memang tidak kita miliki. Saya terkadang kasihan melihat ibu-ibu atau mbak-mbak yang menolak kenyataan. Hanya karena ingin terlihat cantik, ia merepotkan diri pergi bolak balik ke rumah kecantikan agar kulitnya selalu  terlihat putih dan kencang serta agar terhindar dari keriput. Padahal dilihat secara kenyataan umurnya memang sudah tua. Kemudian ada seorang laki-laki yang merayu-rayu pacarnya lalu dengan segenap kemampuan ‘diplomasinya’ menjanjikan ini dan itu kepada sang pacar jika kelak akan hidup bersama. Pertanyaannya adalah untuk apa itu semua?
Semarang,  05 Mei 2012

Tidak ada komentar: