Seorang
pemuda-pemudi yang sedang dimabuk asmara akan memandang dunia ini selalu nampak
indah. Disaat memandang luasnya langit, terangnya sinar mentari, cahaya
rembulan, kerlipan bintang, kebun-kebun bunga yang segar terhampar, maka semuanya
akan terasa ramah dan bersahabat. Seakan-akan fenomena alam itu hanya tersetting untuk mendukung kisah asmara mereka berdua. Yang
ada hanyalah kebaikan. Tidak ada tempat untuk segala yang buruk. Hingga
sampai-sampai melampaui batas-batas akal sehat. Memang orang yang sedang
dimabuk cinta akan secara tiba-tiba menjadi tidak realistis.
Siapa yang tidak bahagia jika ada seseorang yang
begitu mencintai kita dan rela melakukan apa saja demi memenuhi keinginan atau
apa saja yang kita senangi. Mungkinkah ini yang mendasari seseorang untuk berperilaku
“aneh” kepada seseorang pujaan hati?. Mungkin hingga saat ini sikap aneh itu
masih menjadi “nyannyian-nyanyian indah” sebuah kewajaran tingkah bagi
orang-orang yang sedang dimabuk cinta.
Begitulah cinta. Sebagian pakar mengatakan bahwa
cinta memang tidak bisa dijelaskan. Hanya ‘gejala-gejala’nya saja yang bisa
diuraikan. Manifestasi cinta ini begitu dahsyat dan mengundang decak kagum namun
juga kengerian. Begitu banyak manifestasi-manifestasi cinta kita temukan baik
fisik maupun non fisik.
Bukan merupakan hal yang aneh ketika orang dimabuk
cinta, ia berani berdusta atas nama cinta. Ia mengatakan hal-hal diluar
kemampuannya. Ia memberanikan diri berbuat diluar kewajaraan disaat si pujaan
hati meminta kepadanya meskipun permintaan tersebut ‘menyalahi’ hati nuraninya.
Akhirnya iapun menjadi tidak merdeka.Dan mungkin saja sikap istimewa itu hanya
teruntuk ‘seorang’ saja bukan kepada setiap orang karena ada ‘misi’ tersembunyi.
Banyak kisah-kisah orang terdahulu yang bisa kita ambil pelajaran, dimana
seseorang yang memiliki kharismatik yang mengagumkan tetapi tunduk dan patuh
hanya kepada seorang gadis yang ‘kebetulan’ ditakdirkan berparas cantik. Mungkin
bisa kita lihat dari kisah Raja Louis IV Sang Despotik yang menjadi budak istri
cantiknya. Sang Raja diperbudak istrinya agar menyalahgunaan kekuasaan dan menghambur-hamburkan uang rakyat. Alhasil
perbuatan merekapun tidak melahirkan kebaikan, bahkan justru mengantarkan
mereka ke panggung kematian. Mereka dipancung dengan Gaullotine dihadapan seluruh rakyat Prancis. Sungguh kisah yang
tragis!.
Menjadi sebuah hal yang umum dikalangan anak muda
saat ini, dimana begitu mudah kata-kata cinta diumbar. Bahkan secara khusus
telah disajikan dalam sebuah program acara di salah satu stasiun televisi.
Tentu mayoritas penontonnya adalah para anak muda walaupun mungkin sebagian
anak-anak dan orang tua juga menontonnya. Memang menggelikan dan sungguh mengundang
tawa. Dan para pemain-nya pun berdalih bahwa program ini hanyalah program
hiburan. Tetapi saya yakin dalih itu tidak akan menjadi sebuah dalih terhadap suatu
yang semua orang akan menganggapnya serius seperti menentukan pasangan dan
membina rumah tangga.
Kewajaran sikap memang akan selalu dirindukan setiap
orang. Sikap yang wajar dan tidak berlebihan tentu tidak akan membuat orang
kecewa. Sebuah kasus yang mungkin kita semua pernah mendengar. Pengakuan
seorang istri yang bernada ‘memilukan’. “Dahulu dia itu romantis sekali ketika masa
pacaran tapi kini kata-kata sapaan romantis itu seakan-akan tak berbekas”. “Dahulu
ia begitu romantis bahkan sering mengirimi pesan-pesan singkat yang
indah-indah, tapi kini semua itu hanya kenangan masa muda saja” begitu
ungkapnya. Akhirnya kekecewaanlah yang ia peroleh dari mantan pacarnya
(baca:suami) itu. Ya kecewa, karena suaminya itu hanya ‘manis dibibir’ tetapi
tidak manis sampai dihati. “Ternyata dahulu kata-kata indahnya hanyalah sebagai
senjata untuk ‘menaklukanku’. Kini
ketika aku telah jatu kedalam pelukannya, ia ‘membiarkanku’. Terasa hanya
sesaat saja masa-masa indah itu” begitu mungkin suara hatinya.
Terkadang kita sering mengatakan hal yang diluar
batas kewajaran. Tentunya batas kewajaran itu ukurannya adalah ‘feeling’ kita sendiri. Mengatakan apa
yang memang sebenarnya ‘belum ada’ pada diri kita dan mengada-adakannya . Kita masih belum jujur
terhadap diri kita sendiri. Kita masih tidak percaya diri dengan apa yang kita
miliki. Kita masih terobsesi dengan sebuah ‘kesempurnaan’. Kita ingin
menampilkan kesempurnaan kepada orang lain khusunya kepada sosok sang pujaan
hati. Sehingga ‘mati-matian’ kita mempertahankan ‘citra’ yang sesungguhnya
memang tidak kita miliki. Saya terkadang kasihan melihat ibu-ibu atau mbak-mbak
yang menolak kenyataan. Hanya karena ingin terlihat cantik, ia merepotkan diri
pergi bolak balik ke rumah kecantikan agar kulitnya selalu terlihat putih dan kencang serta agar terhindar
dari keriput. Padahal dilihat secara kenyataan umurnya memang sudah tua. Kemudian
ada seorang laki-laki yang merayu-rayu pacarnya lalu dengan segenap kemampuan
‘diplomasinya’ menjanjikan ini dan itu kepada sang pacar jika kelak akan hidup
bersama. Pertanyaannya adalah untuk apa itu semua?
Semarang,
05 Mei 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar