Saya teringat
dengan perkataan dosen saya ketika menyampaikan kuliah dikelas. Waktu itu mata
kuliah yang diajarkan adalah Teknik Penulisan Populer (TPP). Ada salah seorang
mahasiswa yang bertanya “ Pak bagaimana caranya agar ide selalu muncul, karena
sering kali saya mendeg ketika ingin menuliskan sesuatu?” begitu kurang lebih
pertanyaannya. Pak Dosen-pun kemudian menjawab “Menulis sesuatu itu harus
diawali oleh hal-hal yang sederhana terlebih dahulu, bisa diawali dengan
pengalaman-pengalaman pribadi, kemudian dilanjutkan oleh menuliskan
realitas-realitas sosial (Politik, Ekonomi, Hukum, dsb) dalam masyarakat, kemudian
meningkat ke arah yang lebih abstrak lagi seperti filsafat” begitu kurang lebih
jawabannya.
Kemudian beliau menjelaskan bahwa yang namanya masalah itu tidak akan ada
habis-habisnya dan sangat banyak. Sedikit berfilosofis beliau menjelaskan rumus
masalah. Katanya masalah adalah ketika harapan tidak sejalan dengan kenyataan. Dan
masalah itu cukup banyak disekitar kita. Sehingga sebenarnya tidak mungkin
sampai kehabisan ide ketika menulis.
Saya pribadi sedikit tergugah “Ada benarnya juga apa yang beliau
sampaikan”. Nah setelah mendapatkan isnpirasi itu saya-pun semakin bersemangat
menuliskan segala sesuatu yang saya alami, sambil melatih jari-jemari dalam
merangkai kata-kata.
Menarik rumusan yang beliau sampaikan terkait bagaimana cara
mengembangkan teknik dalam menulis. “Masalah itu sangat banyak disekitar kita,
ketika harapan tidak sejalan dengan kenyataan itu sudah masalah”,
Kemudian “oleh-oleh” dari kampus itu-pun saya bawa hingga sekarang dan
menjadi pemikiran dalam benak saya. Tidak hanya dalam hal teknik penulisan
tetapi juga bagaimana saya melihat kehidupan. Tidak bisa dipungkiri bahwa kehidupan
ini memang menjadi dinamis ketika masalah hadir menemani kehidupan manusia.
Seandainya manusia bisa terbang, bisa jadi saat ini tidak akan ditemukan
pesawat terbang. Seandainya manusia bisa berjalan diatas air, bisa jadi tidak akan
ditemukan perahu atau kapal, seandainya manusia bisa menyusuri dasar laut tanpa
bernafas, mustahil saat ini akan ditemukan tabung oksigen dan kapal selam, dan
sebagainya. Itu semua berawal ketika harapan manusia tidak seiring sejalan
dengan kenyataan yang dihadapinya. Ingin terbang seperti burung tetapi tidak
mampu. Ingin berenang seperti ikan tetapi juga tidak mampu selincah ikan, ingin
ini ingin itu tapi tidak mampu. Keinginannya banyak tapi kemampuan fisik tidak
mendukung. Niscaya seandainya Allah tidak menganugrahkan Akal, manusia mungkin
termasuk golongan dari mereka (hewan). Bayangkan fisik harimau, Singa, Gajah,
Bison, Banteng, Jerapah, jauh lebih besar dari fisik manusia. Entah dalam
kategori rantai makanan yang manakah “manusia” jika tidak memiliki akal?.
Ya. Mungkin saya hanya mengulang-ngulang bahasan yang sudah sering
didengarkan. Semoga pembaca tidak bosan dengan pengulangan demi pengulangan
ini.
Allah telah memberikan keistimewaan manusia dengan dibekali akal (sekali
lagi akal tidak sama dengan otak. Otak juga dimiliki oleh beberapa hewan
seperti sapi, kambing, ayam, beruang dsb meski bentuk dan volumenya tidak
sama). Selain itu menurut beberapa pakar dan informasi yang saya ketahui, akal
itu sendiri masih terjadi khilaf dikalangan para ulama. Pembahasan ulama tentang hal ini, berkaitan
dengan hadits
“Sesungguhnya
dalam jasad / tubuh terdapat mudghah (sekerat daging), jika ia baik, maka
seluruh jasad pun baik, jika ia rusak, maka rusaklah jasad itu secara
keseluruhan. Ketahuilah, bahwa mudghah itu adalah al-qalb (jantung –namun dalam
bahasa Indonesia diartikan dengan hati-
Sebagian ulama mengatakan
akal itu tempatnya di otak atau di kepala, merupakan madzhab (pendapat) Abu
Hanifah dan tabib/para dokter. Dalil mereka : Secara kedokteran, apabila otak
seseorang rusak, maka pemahamannya juga rusak.
Adapun sebagian ulama dari
kalangan asy-Syafi’iyyah dan kalangan falasifah/filsafat serta jumhur mutakallimin,
mengatakan bahwa akal itu tempatnya di qalbu (dalam bahasa Indonesia diartika
hati). Berdalilkan dengan ayat dalam al-Qur’an surat al-Hajj ayat 46 :
“Maka
apakah mereka tidak berjalan di muka bumi (memperhatikan supaya mereka
menjadikan sebagai ibrah), lalu mereka mempunyai qalbu-qalbu yang dengan itu
mereka berakal atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar?”
Berarti akal itu ada di
qalbu/hati. Dan juga berdalilkan dengan ayat dari al-Qur’an surat Qaaf ayat 37 :
“Sesungguhnya
pada perkara itu terdapat peringatan bagi orang yang memiliki qalbu”
Yakni peringatan bagi orang
yang mempunyai akal. Sebagian Mufassirun (ahli tafsir) menunjukkan bahwa qalbu
itu adalah tempat akal. Dan akal itu dita’birkan (diibaratkan) dengan qalb, padahal
semuanya itu berkaitsn dengan akal, karena qalbu adalah tempat akal tersebut. Ini
merupakan madzhab ulama berkaitan dengan ini.
Adapun sebagian dari ulama
menjawab madzhab Abu Hanifah dan para dokter tersebut denga mengatakan: “Bukan
suatu hal yang tidak mungkin bahwa akal itu sebagaimana ayat yaitu di qalbu,
tapi ada kaitannya dengan otak”. (Syarh
an-Nawawi (11/25) dan Fathul Baari (1/128-129 http://kautsarku.wordpress.com/2008/02/13/dimanakah-letak-akal-kita-di-otak-ataukah-di-qalbu/).
Berberapa dalil serta penafsiran
beberapa kalangan ulama saya kutipkan untuk semakin memberikan gambaran kepada
kita bahwa ada memang “sesuatu” yang istimewa yang telah diberikan Allah SWT
kepada manusia.
Saking luar biasanya potensi “akal” ini bagi manusia, bahkan dibarat
sendiri lahirlah sebuah paham Rasionalisme pada zaman Renaisans dalam hal ini
diawali oleh pemikiran “ulama” barat RenĂ©
Descartes (lahir di di La Haye, Perancis, 31 Maret 1596 – meninggal
di Stockholm, Swedia, 11 Februari 1650 pada umur 53 tahun). Intinya pemikir barat
ini bahwa rasio adalah segalanya dan mampu menyelesaikan segala persoalan
manusia. Kita mungkin sering mendengar ungkapannya yang terkenal yakni cogito
ergosum “ Aku ada karena aku berfikir”. Kemudian berturut-turut lahir
pemikiran-pemikiran kemanusiaan (Humanism), lalu pada abad 18 dikatakan sebagai
zaman pencerahan Eropa (Aufklarung). Manusia tidak butuh agama untuk
menyelesaikan permasalahan. Akhirnya agama dipinggirkan (hal ini merupakan
kegagalan agama Kristen dalam merespon tantangan zaman).
Hingga saat ini posisi
akal masih dianggap sebagai central dalam menyelesaikan persoalan. Seperti saya
katakan diatas manusia dengan akalnya telah berhasil memecahkan
persoalan-persoalan. Tetapi uniknya dalam banyak hal akal juga “gagal” memahami
kehidupan manusia akibat “Harapan yang tidak seiring sejalan dengan kenyataan”.Sebagian
masyarakat mengalami frustasi dalam melihat kenyataan yang tidak sejalan dengan
apa yang ia harapkan. Saking bertolak belakangnya antara harapan dengan
kenyataan, sampai-sampai membuatnya stress bahkan hilang ingatan. Tidak hanya
terjadi dikalangan masyarakat awam saja tetapi juga dikalangan para ilmuan
(terutama ilmuan-ilmuan barat rasionalis-materialis).
Kita tahu salah seorang
ilmuan barat Friedrich Wilhelm Nietzsche (dilahirkan di Rocken, Prusia, pada tanggal 15 Oktober
1844.) seorang filsuf yang melontarkan ide tentang Kematian Tuhan meninggal
dalam keadaan stress yang begitu tragis karena tidak mampu memahami kenyataan.
Mungkin Nietzsche tidak mengambil
pelajaran tentang kisah Sidartha dalam memahami realitas. Tidak juga mengambil
pelajaran berharga dari kisah Nabi Ibrahim ketika mencari Tuhan, begitu juga ia
tidak belajar dari hidup Rosulullah SAW yang selalu berkhalwat di Gua Hira
untuk memahami kenyataan.
Oleh sebab itu kita
dapat mengambil pelajaran bahwa “akal” saja tidak bisa dijadikan sandaran untuk
memahami kenyataan yang telah Allah gariskan. Meskipun dalam beberapa hal ia (akal)
mampu memecahkan persoalan, tetapi itu hanyalah sebagian kecil saja dari sekian
banyak ilmu Allah yang masih menjadi misteri. Dan manusia memang butuh
bimbingan wahyu untuk memahami itu semua.
Bogor 19 Agustus
2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar