Minggu, Agustus 19, 2012

Memahami Harapan dan Kenyataan

Saya teringat dengan perkataan dosen saya ketika menyampaikan kuliah dikelas. Waktu itu mata kuliah yang diajarkan adalah Teknik Penulisan Populer (TPP). Ada salah seorang mahasiswa yang bertanya “ Pak bagaimana caranya agar ide selalu muncul, karena sering kali saya mendeg ketika ingin menuliskan sesuatu?” begitu kurang lebih pertanyaannya. Pak Dosen-pun kemudian menjawab “Menulis sesuatu itu harus diawali oleh hal-hal yang sederhana terlebih dahulu, bisa diawali dengan pengalaman-pengalaman pribadi, kemudian dilanjutkan oleh menuliskan realitas-realitas sosial (Politik, Ekonomi, Hukum, dsb) dalam masyarakat, kemudian meningkat ke arah yang lebih abstrak lagi seperti filsafat” begitu kurang lebih jawabannya. 
Kemudian beliau menjelaskan bahwa yang namanya masalah itu tidak akan ada habis-habisnya dan sangat banyak. Sedikit berfilosofis beliau menjelaskan rumus masalah. Katanya masalah adalah ketika harapan tidak sejalan dengan kenyataan. Dan masalah itu cukup banyak disekitar kita. Sehingga sebenarnya tidak mungkin sampai kehabisan ide ketika menulis.
Saya pribadi sedikit tergugah “Ada benarnya juga apa yang beliau sampaikan”. Nah setelah mendapatkan isnpirasi itu saya-pun semakin bersemangat menuliskan segala sesuatu yang saya alami, sambil melatih jari-jemari dalam merangkai kata-kata.
Menarik rumusan yang beliau sampaikan terkait bagaimana cara mengembangkan teknik dalam menulis. “Masalah itu sangat banyak disekitar kita, ketika harapan tidak sejalan dengan kenyataan itu sudah masalah”,
Kemudian “oleh-oleh” dari kampus itu-pun saya bawa hingga sekarang dan menjadi pemikiran dalam benak saya. Tidak hanya dalam hal teknik penulisan tetapi juga bagaimana saya melihat kehidupan. Tidak bisa dipungkiri bahwa kehidupan ini memang menjadi dinamis ketika masalah hadir menemani kehidupan manusia.
Seandainya manusia bisa terbang, bisa jadi saat ini tidak akan ditemukan pesawat terbang. Seandainya manusia bisa berjalan diatas air, bisa jadi tidak akan ditemukan perahu atau kapal, seandainya manusia bisa menyusuri dasar laut tanpa bernafas, mustahil saat ini akan ditemukan tabung oksigen dan kapal selam, dan sebagainya. Itu semua berawal ketika harapan manusia tidak seiring sejalan dengan kenyataan yang dihadapinya. Ingin terbang seperti burung tetapi tidak mampu. Ingin berenang seperti ikan tetapi juga tidak mampu selincah ikan, ingin ini ingin itu tapi tidak mampu. Keinginannya banyak tapi kemampuan fisik tidak mendukung. Niscaya seandainya Allah tidak menganugrahkan Akal, manusia mungkin termasuk golongan dari mereka (hewan). Bayangkan fisik harimau, Singa, Gajah, Bison, Banteng, Jerapah, jauh lebih besar dari fisik manusia. Entah dalam kategori rantai makanan yang manakah “manusia” jika tidak memiliki akal?.
Ya. Mungkin saya hanya mengulang-ngulang bahasan yang sudah sering didengarkan. Semoga pembaca tidak bosan dengan pengulangan demi pengulangan ini.
Allah telah memberikan keistimewaan manusia dengan dibekali akal (sekali lagi akal tidak sama dengan otak. Otak juga dimiliki oleh beberapa hewan seperti sapi, kambing, ayam, beruang dsb meski bentuk dan volumenya tidak sama). Selain itu menurut beberapa pakar dan informasi yang saya ketahui, akal itu sendiri masih terjadi khilaf dikalangan para ulama.  Pembahasan ulama tentang hal ini, berkaitan dengan hadits
“Sesungguhnya dalam jasad / tubuh terdapat mudghah (sekerat daging), jika ia baik, maka seluruh jasad pun baik, jika ia rusak, maka rusaklah jasad itu secara keseluruhan. Ketahuilah, bahwa mudghah itu adalah al-qalb (jantung –namun dalam bahasa Indonesia diartikan dengan hati-
Sebagian ulama mengatakan akal itu tempatnya di otak atau di kepala, merupakan madzhab (pendapat) Abu Hanifah dan tabib/para dokter. Dalil mereka : Secara kedokteran, apabila otak seseorang rusak, maka pemahamannya juga rusak.
Adapun sebagian ulama dari kalangan asy-Syafi’iyyah dan kalangan falasifah/filsafat serta jumhur mutakallimin, mengatakan bahwa akal itu tempatnya di qalbu (dalam bahasa Indonesia diartika hati). Berdalilkan dengan ayat dalam al-Qur’an surat al-Hajj ayat 46 :
“Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi (memperhatikan supaya mereka menjadikan sebagai ibrah), lalu mereka mempunyai qalbu-qalbu yang dengan itu mereka berakal atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar?”
Berarti akal itu ada di qalbu/hati. Dan juga berdalilkan dengan ayat dari al-Qur’an surat Qaaf ayat 37 :
“Sesungguhnya pada perkara itu terdapat peringatan bagi orang yang memiliki qalbu”
Yakni peringatan bagi orang yang mempunyai akal. Sebagian Mufassirun (ahli tafsir) menunjukkan bahwa qalbu itu adalah tempat akal. Dan akal itu dita’birkan (diibaratkan) dengan qalb, padahal semuanya itu berkaitsn dengan akal, karena qalbu adalah tempat akal tersebut. Ini merupakan madzhab ulama berkaitan dengan ini.
Adapun sebagian dari ulama menjawab madzhab Abu Hanifah dan para dokter tersebut denga mengatakan: “Bukan suatu hal yang tidak mungkin bahwa akal itu sebagaimana ayat yaitu di qalbu, tapi ada kaitannya dengan otak”. (Syarh an-Nawawi (11/25) dan Fathul Baari (1/128-129 http://kautsarku.wordpress.com/2008/02/13/dimanakah-letak-akal-kita-di-otak-ataukah-di-qalbu/).
  Berberapa dalil serta penafsiran beberapa kalangan ulama saya kutipkan untuk semakin memberikan gambaran kepada kita bahwa ada memang “sesuatu” yang istimewa yang telah diberikan Allah SWT kepada manusia.
Saking luar biasanya potensi “akal” ini bagi manusia, bahkan dibarat sendiri lahirlah sebuah paham Rasionalisme pada zaman Renaisans dalam hal ini diawali oleh pemikiran “ulama” barat RenĂ© Descartes (lahir di di La Haye, Perancis, 31 Maret 1596 – meninggal di Stockholm, Swedia, 11 Februari 1650 pada umur 53 tahun). Intinya pemikir barat ini bahwa rasio adalah segalanya dan mampu menyelesaikan segala persoalan manusia. Kita mungkin sering mendengar ungkapannya yang terkenal yakni cogito ergosum “ Aku ada karena aku berfikir”. Kemudian berturut-turut lahir pemikiran-pemikiran kemanusiaan (Humanism), lalu pada abad 18 dikatakan sebagai zaman pencerahan Eropa (Aufklarung). Manusia tidak butuh agama untuk menyelesaikan permasalahan. Akhirnya agama dipinggirkan (hal ini merupakan kegagalan agama Kristen dalam merespon tantangan zaman).
Hingga saat ini posisi akal masih dianggap sebagai central dalam menyelesaikan persoalan. Seperti saya katakan diatas manusia dengan akalnya telah berhasil memecahkan persoalan-persoalan. Tetapi uniknya dalam banyak hal akal juga “gagal” memahami kehidupan manusia akibat “Harapan yang tidak seiring sejalan dengan kenyataan”.Sebagian masyarakat mengalami frustasi dalam melihat kenyataan yang tidak sejalan dengan apa yang ia harapkan. Saking bertolak belakangnya antara harapan dengan kenyataan, sampai-sampai membuatnya stress bahkan hilang ingatan. Tidak hanya terjadi dikalangan masyarakat awam saja tetapi juga dikalangan para ilmuan (terutama ilmuan-ilmuan barat rasionalis-materialis).
Kita tahu salah seorang ilmuan barat Friedrich Wilhelm Nietzsche (dilahirkan di Rocken, Prusia, pada tanggal 15 Oktober 1844.) seorang filsuf yang melontarkan ide tentang Kematian Tuhan meninggal dalam keadaan stress yang begitu tragis karena tidak mampu memahami kenyataan.
Mungkin Nietzsche tidak mengambil pelajaran tentang kisah Sidartha dalam memahami realitas. Tidak juga mengambil pelajaran berharga dari kisah Nabi Ibrahim ketika mencari Tuhan, begitu juga ia tidak belajar dari hidup Rosulullah SAW yang selalu berkhalwat di Gua Hira untuk memahami kenyataan.
Oleh sebab itu kita dapat mengambil pelajaran bahwa “akal” saja tidak bisa dijadikan sandaran untuk memahami kenyataan yang telah Allah gariskan. Meskipun dalam beberapa hal ia (akal) mampu memecahkan persoalan, tetapi itu hanyalah sebagian kecil saja dari sekian banyak ilmu Allah yang masih menjadi misteri. Dan manusia memang butuh bimbingan wahyu untuk memahami itu semua.
Bogor 19 Agustus 2012


Tidak ada komentar: