Suatu ketika saya sedang bercengkrama dengan para
sepupu dirumah. Saya sedikit dibuat terperangah dengan tingkah polah
salah satu sepupu saya itu. Ia laki-laki dan kini usianya menginjak 7 tahun. Ia
masih kelas 1 Sekolah Dasar (SD). Memang ia sangat pro aktif dan sangat senang
berekperimen. Mulai dari memelihara binatang seperti burung perkutut, kelinci,
ayam dan ikan hias. Selain itu ia juga senang membuat rumah-rumahan kecil yang
terbuat dari kayu, terpal, dan plastik. Sepertinya ia akan membuat semacam
tenda perkemahan. Entah darimana ide asalnya?. Selain itu ia juga pandai
membuat layang-layang. Ia seperti ingin mencoba semuanya.
Sejak sore hingga menjelang malam hari, selepas
ba’da Isya, ibunya sudah wanti-wanti mengingatkan agar segera mengerjakan PR
(Pekerjaan Rumah). Namun sedikitpun perintah itu tidak digubrisnya. Ia tetap
asyik bercanda ria dengan sepupu saya yang lainnya. Padahal PR nya itu harus
segera dikumpulkan esok harinya. Dan keesokan harinya ibunya terdengar
kerepotan membangunkannya dari tidur. Hingga saya sendiri mencoba turun tangan
membangunkannya. “Fik bagun Fik, udah siang Fikri masuk Sekolah jam 7.” Setelah
menggoyang-goyang tubuhnya agar segera bangun, alhamdulillah, akhirnya Fikri
bangun juga. Ia bangun dengan sedikit marah-marah. Raut wajahnya seolah-olah
tidak rela dibangunkan. Ditambah PR-nya belum sama sekali dikerjakan. Akhirnya
sang ibulah lagi-lagi yang turun tangan mengerjakan PR-nya. Ia
benar-benar terlihat tidak bersemangat sekolah.
“Haaaa Fikri Ngompooolll….” Teriak salah satu
sepupu saya yang perempuan. Umurnya memang lebih tua 3 tahun dengan Fikri.
Wajah Fikri terlihat tersenyum malu-malu. “Iiiihhh udah gede kok masih ngompol”
ujar sepupu saya yang perempuan itu. “ Mang (Paman), dulu Si Fikri nggak ngaku
klo dia suka ngompol lhoo didepan Bu Guru pas ditanya siapa yang masih suka
ngompol, dia boong tuh Mang” kata sepupu perempuan saya melapor. Fikri akhirnya
membela diri “Kan Iki malu Mang klo ngaku, udah gtu gurunya galaaak banget!
dulu Iki di jewer pas lagi bercanda, yaudah Iki boongin aja” ujar Fikri minta
pengertian.
Mendengar Fikri ngaku kalau dia telah “terpaksa”
berbohong, ada rasa miris dihati saya. Ya, saya merasa miris sekali. Mengapa
anak sekecil itu hingga sampai berbuat seperti itu?. Jujur saja saya sebagai
paman ingin berbicara kepada gurunya. Pendidikan macam apa yang diberikan
kepada keponakan saya hingga membuatnya “terpaksa” berbohong?. Sepertinya ada
yang tidak beres dalam proses mendidik oleh sang guru. Apakah anak sekecil itu
harus seperti apa yang diinginkan gurunya? Monopolistik sekali pendidikan yang
seperti itu?.
Kasus Fikri sebenarnya pernah juga saya alami.
Sehingga sayapun sangat mengerti perasaan keponakan saya itu. Sekolah
seolah-olah bukan menjadi tempat yang menyenangkan. Sekolah seolah-olah menjadi
tempat yang begitu menakutkan. Sekolah seolah-olah penuh dengan tekanan-tekanan
dan persaingan. Seolah-olah sekolah bukanlah tempat bagi murid untuk melakukan
kesalahan. Sekolah terkesan adalah rutinitas yang membosankan. Sekolah menjadi
momok yang dihindari para murid. Hingga membuat seorang anak terpaksa mengubur
sikap jujurnya untuk menghindari kesalahan dan kecaman.
Saya menangkap jika terus-menerus rupa sekolah
seperti ini akan sangat membahayakan bagi generasi muda dalam jangka panjang.
Mustahil akan lahir generasi-generasi yang lebih baik, bermoral yang memiliki
integritas tinggi. Mustahil potensi-potensi luarbiasa murid-murid akan muncul.
Bukankah sekolah adalah tempat untuk “meningkatkan” bukan untuk “menghambat”
apa lagi mengecilkan seseorang?.
Oleh sebab itu urgen kiranya seorang guru
betul-betul memahami perannya sebagai guru. Memahami filosofi pendidikan secara
konprehensif. Bukan hanya sekedar menjalankan kewajiban yang bersifat rutinitas
saja. Bagi murid-murid guru adalah dunianya. Guru sangat berperan dalam
mewujudkan bangkitnya suatu peradaban.
Saya benar-benar memimpikan model sekolah di
negeri ini yang lebih manusiawi, tidak memaksakan kehendak guru, menjunjung
tinggi persamaan (agaliter), tidak membanding-bandingkan (hapus istilah sekolah
favorit dan sekolah tidak favorit, sekolah regular dan sekolah “berstandar
Internasional”, sekolah yang memotivasi (mendorong seseorang agar terus
mengasah potensinya), sekolah yang mengedepankan sikap menghargai murid
(apresiatif), sekolah yang menghindari persaingan namun diganti dengan suasana
kerjasama, sekolah yang meniadakan dominasi kecerdasan bahwa yang cerdas
hanyalah dia yang pandai matematika atau dia yang pandai bahasa Inggris, setiap
anak berhak mengerjakan apa yang diminatinya, sekolah yang tidak bersandarkan
angka-angka dalam menilai sikap murid, karena angka-angka tidak bisa dijadikan
“hakim” dalam menilai keseluruhan sikap seseorang, sekolah tidak hanya menilai
seorang murid dari kegiatan kognitif saja tetapi apresiasi juga
kegiatan-kegiatan selain kegiatan yang berbau kognitif. Sekolah dimana
tugas-tugas belajar diberikan dengan mengajak musyawarah antara guru kepada
seluruh muridnya apakah tugas itu yang mereka inginkan atau tidak, sekolah yang
mengedepankan dialog kepada para murid dalam proses belajar.
Anehnya di negeri ini dalam dunia sekolah (baca:
pendidikan) kita masih saja berkeyakinan bahwa dengan semakin banyaknya
pelajaran yang diberikan akan semakin baik bagi kualitas hidup seseorang.
Seolah-olah ingin segera mencetak generasi hebat secara instan, makanya
sistemnya diperketat. Padahal belum tentu mata pelajaran yang seabrek itu serta
sistem ketat cocok bagi gaya belajar murid yang memiliki keunikan yang tidak sama
satu dengan yang lainnya. Bukankah itu justru mengabaikan kreatifitas murid?.
Di negara Finlandia saja yang diakui sebagai negara dengan sistem pendidikan
terbaik kurikulumnya tidak seketat yang ada dinegara kita.
Saya yakin bahwa banyaknya kasus-kasus penyimpangan
yang akhir-akhir ini marak dilakukan oleh para murid, itu disebabkan muatan
pendidikan yang diajarkan selama ini berorientasi hasil, kental dengan suasana
persaingan, minim apresiasi, minim motivasi, feodalistik, terjadi monopoli
kecerdasan, kurangnya dialog, angkaisme, dan keringnya keteladanan. Pendidikan
kita saat ini cendrung mencetak manusia-manusia pekerja bak robot tak
berperasaan. Hal ini sebenarnya telah disadari oleh pakar pendidikan. Namun
entah mengapa hingga kini para pembuat kebijakan dinegeri kita seakan-akan
belum berani “bongkar gaya lama” alias berhijrah ke metode yang paling
mutakhir? Ada apa?
Ya, itu sekolah masa depan dalam imajinasi saya.
Memang masalah pendidikan tidak hanya itu saja. Masih banyak seabrek tantangan
lain yang harus diselesaikan seperti pemerataan infrastruktur, keterjangkauan
biaya dan sebagainya. Tetapi bagi saya itu hanyalah faktor eksternal yang bisa
dilakukan secara berkelanjutan setahap demi setahap. Namun menurut saya yang
sangat urgen adalah pemaknaan arti dari pendidikan itu sendiri yang harus
secara serius dipahami secara mendalam. Karena masalah ini tidak hanya
menyangkut masa sekarang saja tetapi menyangkut masa depan seseorang, masa
depan bangsa. Karena murid-murid inilah yang nantinya akan melanjutkan estafet
kepemimpinan.
Semarang 27 November 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar