Rabu, November 28, 2012

Sekolah Masa Depan dalam Imajinasi Saya...



Suatu ketika saya sedang bercengkrama dengan para sepupu dirumah.  Saya sedikit dibuat terperangah dengan tingkah polah salah satu sepupu saya itu. Ia laki-laki dan kini usianya menginjak 7 tahun. Ia masih kelas 1 Sekolah Dasar (SD). Memang ia sangat pro aktif dan sangat senang berekperimen. Mulai dari memelihara binatang seperti burung perkutut, kelinci, ayam dan ikan hias. Selain itu ia juga senang membuat rumah-rumahan kecil yang terbuat dari kayu, terpal, dan plastik. Sepertinya ia akan membuat semacam tenda perkemahan. Entah darimana ide asalnya?.  Selain itu ia juga pandai membuat layang-layang. Ia seperti ingin mencoba semuanya.


Sejak sore hingga menjelang malam hari, selepas ba’da Isya, ibunya sudah wanti-wanti mengingatkan agar segera mengerjakan PR (Pekerjaan Rumah). Namun sedikitpun perintah itu tidak digubrisnya. Ia tetap asyik bercanda ria dengan sepupu saya yang lainnya. Padahal PR nya itu harus segera dikumpulkan esok harinya. Dan keesokan harinya ibunya terdengar kerepotan membangunkannya dari tidur. Hingga saya sendiri mencoba turun tangan membangunkannya. “Fik bagun Fik, udah siang Fikri masuk Sekolah jam 7.” Setelah menggoyang-goyang tubuhnya agar segera bangun, alhamdulillah, akhirnya Fikri bangun juga. Ia bangun dengan sedikit marah-marah. Raut wajahnya seolah-olah tidak rela dibangunkan. Ditambah PR-nya belum sama sekali dikerjakan. Akhirnya sang ibulah lagi-lagi  yang turun tangan mengerjakan PR-nya. Ia benar-benar terlihat tidak bersemangat sekolah.

“Haaaa Fikri Ngompooolll….” Teriak salah satu sepupu saya yang perempuan. Umurnya memang lebih tua 3 tahun dengan Fikri. Wajah Fikri terlihat tersenyum malu-malu. “Iiiihhh udah gede kok masih ngompol” ujar sepupu saya yang perempuan itu. “ Mang (Paman), dulu Si Fikri nggak ngaku klo dia suka ngompol lhoo didepan Bu Guru pas ditanya siapa yang masih suka ngompol, dia boong tuh Mang” kata sepupu perempuan saya melapor. Fikri akhirnya membela diri “Kan Iki malu Mang klo ngaku, udah gtu gurunya galaaak banget! dulu Iki di jewer pas lagi bercanda, yaudah Iki boongin aja” ujar Fikri minta pengertian.

Mendengar Fikri ngaku kalau dia telah “terpaksa” berbohong, ada rasa miris dihati saya. Ya, saya merasa miris sekali. Mengapa anak sekecil itu hingga sampai berbuat seperti itu?. Jujur saja saya sebagai paman ingin berbicara kepada gurunya. Pendidikan macam apa yang diberikan kepada keponakan saya hingga membuatnya “terpaksa” berbohong?. Sepertinya ada yang tidak beres dalam proses mendidik oleh sang guru. Apakah anak sekecil itu harus seperti apa yang diinginkan gurunya? Monopolistik sekali pendidikan yang seperti itu?.

Kasus Fikri sebenarnya pernah juga saya alami. Sehingga sayapun sangat mengerti perasaan keponakan saya itu. Sekolah seolah-olah bukan menjadi tempat yang menyenangkan. Sekolah seolah-olah menjadi tempat yang begitu menakutkan. Sekolah seolah-olah penuh dengan tekanan-tekanan dan persaingan. Seolah-olah sekolah bukanlah tempat bagi murid untuk melakukan kesalahan. Sekolah terkesan adalah rutinitas yang membosankan. Sekolah menjadi momok yang dihindari para murid. Hingga membuat seorang anak terpaksa mengubur sikap jujurnya untuk menghindari kesalahan dan kecaman.

Saya menangkap jika terus-menerus rupa sekolah seperti ini akan sangat membahayakan bagi generasi muda dalam jangka panjang. Mustahil akan lahir generasi-generasi yang lebih baik, bermoral yang memiliki integritas tinggi. Mustahil potensi-potensi luarbiasa murid-murid akan muncul. Bukankah sekolah adalah tempat untuk “meningkatkan” bukan untuk “menghambat” apa lagi mengecilkan seseorang?.

Oleh sebab itu urgen kiranya seorang guru betul-betul memahami perannya sebagai guru. Memahami filosofi pendidikan secara konprehensif. Bukan hanya sekedar menjalankan kewajiban yang bersifat rutinitas saja. Bagi murid-murid guru adalah dunianya. Guru sangat berperan dalam mewujudkan bangkitnya suatu peradaban.

Saya benar-benar memimpikan model sekolah di negeri ini yang lebih manusiawi, tidak memaksakan kehendak guru, menjunjung tinggi persamaan (agaliter), tidak membanding-bandingkan (hapus istilah sekolah favorit dan sekolah tidak favorit, sekolah regular dan sekolah “berstandar Internasional”, sekolah yang memotivasi (mendorong seseorang agar terus mengasah potensinya), sekolah yang mengedepankan sikap menghargai murid (apresiatif), sekolah yang menghindari persaingan namun diganti dengan suasana kerjasama, sekolah yang meniadakan dominasi kecerdasan bahwa yang cerdas hanyalah dia yang pandai matematika atau dia yang pandai bahasa Inggris, setiap anak berhak mengerjakan apa yang diminatinya, sekolah yang tidak bersandarkan angka-angka dalam menilai sikap murid, karena angka-angka tidak bisa dijadikan “hakim” dalam menilai keseluruhan sikap seseorang, sekolah tidak hanya menilai seorang murid dari kegiatan kognitif saja tetapi apresiasi juga kegiatan-kegiatan selain kegiatan yang berbau kognitif. Sekolah dimana tugas-tugas belajar diberikan dengan mengajak musyawarah antara guru kepada seluruh muridnya apakah tugas itu yang mereka inginkan atau tidak, sekolah yang mengedepankan dialog kepada para murid dalam proses belajar.

Anehnya di negeri ini dalam dunia sekolah (baca: pendidikan) kita masih saja berkeyakinan bahwa dengan semakin banyaknya pelajaran yang diberikan akan semakin baik bagi kualitas hidup seseorang. Seolah-olah ingin segera mencetak generasi hebat secara instan, makanya sistemnya diperketat. Padahal belum tentu mata pelajaran yang seabrek itu serta sistem ketat cocok bagi gaya belajar murid yang memiliki keunikan yang tidak sama satu dengan yang lainnya. Bukankah itu justru mengabaikan kreatifitas murid?. Di negara Finlandia saja yang diakui sebagai negara dengan sistem pendidikan terbaik kurikulumnya tidak seketat yang ada dinegara kita.

Saya yakin bahwa banyaknya kasus-kasus penyimpangan yang akhir-akhir ini marak dilakukan oleh para murid, itu disebabkan muatan pendidikan yang diajarkan selama ini berorientasi hasil, kental dengan suasana persaingan, minim apresiasi, minim motivasi, feodalistik, terjadi monopoli kecerdasan, kurangnya dialog, angkaisme, dan keringnya keteladanan. Pendidikan kita saat ini cendrung mencetak manusia-manusia pekerja bak robot tak berperasaan. Hal ini sebenarnya telah disadari oleh pakar pendidikan. Namun entah mengapa hingga kini para pembuat kebijakan dinegeri kita seakan-akan belum berani “bongkar gaya lama” alias berhijrah ke metode yang paling mutakhir? Ada apa?

Ya, itu sekolah masa depan dalam imajinasi saya. Memang masalah pendidikan tidak hanya itu saja. Masih banyak seabrek tantangan lain yang harus diselesaikan seperti pemerataan infrastruktur, keterjangkauan biaya dan sebagainya. Tetapi bagi saya itu hanyalah faktor eksternal yang bisa dilakukan secara berkelanjutan setahap demi setahap. Namun menurut saya yang sangat urgen adalah pemaknaan arti dari pendidikan itu sendiri yang harus secara serius dipahami secara mendalam. Karena masalah ini tidak hanya menyangkut masa sekarang saja tetapi menyangkut masa depan seseorang, masa depan bangsa. Karena murid-murid inilah yang nantinya akan melanjutkan estafet kepemimpinan.

Semarang 27 November 2012

Tidak ada komentar: