Nama panggilannya adalah Konan. Ya ia biasa
dipanggil warga di Kampungku dengan sebutan Konan. Usut punya usut ternyata
Konan bukanlah nama aslinya. Sebenarnya setelah aku tanyakan kepada teman-teman
sebayanya, nama aslinya adalah Misnan bukan Konan. Entah bagaimana ceritanya
warga di Kampungku justru lebih familiar memanggilnya dengan sebutan Konan.
Konan bukan sembarang Konan. Ia bukanlah tokoh
Detektif Konan dalam komik Jepang yang jenius itu. Ia adalah Konan asli
Indonesia. Dalam hal kejeniusan memang ada beberapa kemiripan. Nanti aku
ceritakan.
Perawakannya masih cukup enerjik meski bisa
dikatakan sudah tidak muda lagi. Ia tidak terlalu tinggi dan juga tidak terlalu
pendek. Kulitnya coklat kehitam-hitaman, tetapi tidak hitam mutlak. Rambutnya
ikal sedikit urak-urakan. Secara penampilan, ia memang unik. Terkadang sangat
rapi, tetapi pada suatu waktu ia berpenampilan seadanya bahkan melenceng dari mainstream.
Pada saat-saat tertentu ia berpenampilan layaknya “Orang Kantoran”.
Terkadang ia mengenakan kemeja lengan panjang dan disertai tanda pengenal yang
dibuatnya sendiri. Seperti para pegawai Bank. Tanda pengenalnya terdapat gambar
yang ia buat sendiri. Ia letakkan tanda pengenal itu disisi kanan kantong
kemejanya. Tidak ketinggalan ia mengenakan celana panjang berserta ikat
pinggangnya plus sisir kecil yang selalu menempel di kantong belakang celana.
Lucu memang. Ya namanya juga si Konan.
Tidak hanya itu saja keunikannya. Selain
penampilannya yang nyentrik, sikapnya selalu membuatku makin penasaran. Meski
warga di Kampung bilang bahwa Si Konan agak kurang waras. Tapi ia bisa hidup
mandiri dan pandai berhitung pula. “Klo memang si Konan kurang waras mengapa ia
pandai berhitung dan mengerti jual beli, dimana letak kekurangwarasannya?”
batinku bertanya.
Suatu ketika Konan sedang jajan di Warung kakak-ku.
Waktu itu aku sedang berkunjung di rumah kakak-ku. Memang Kakak punya warung
kecil-kecilan. Karena kakak sedang sibuk mengurusi anaknya, ia meminta tolong
agar aku yang melayani Konan. Meski Konan dianggap “kurang waras” tetapi dalam
hal jual beli ia terkenal jujur dan amanah. Tidak hanya jujur tetapi ia juga
benar. Saat ia sedang banyak uang, ia tidak pernah “ngebon” di Warung. Namun
ketika ia tidak punya uang, ia terpaksa ngebon, tapi tidak melupakkannya. Ia
selalu ingat. Dan yang paling mengherankan, ia juga sangat cepat dalam
berhitung. Pernah satu saat ia jajan begitu banyak di Warung, namun yang
membuatku kaget ia bisa mengalahkan kecepatanku dalam berhitung padahal aku
menggunakan alat bantu Kalkulator. “Klo stress tapi kok pinter ngitung ni orang
lebih dari sekedar normal menurutku.” Ia semakin membuatku penasaran.
Keunikan yang lainnya. Suatu hari aku melihat ia
sedang santai di bawah pohon rindang. Disisi kiri dan kanan-nya ada sebuah
keranjang penuh. Isinya adalah baju-baju dan segala tetek bengek
perlengkapan-perlengkapan seperti golok, cangkul dan sebagainya. Ia memang
tidak tinggal di rumah orang tuanya lagi. Meski kedua orang tuanya masih hidup
dan tinggal di Kampung sebelah. Ia tinggal di sebuah gubuk didekat Kandang Ayam
milik majikannya. Ia dipercaya oleh majikannya bekerja sebagai buruh yang siang
malam mengurus ayam.
Karena sikapnya selalu membuatku penasaran, aku
sering banyak bertanya perihal kehidupannya. Bagiku Konan adalah misteri yang
belum terungkap. Aku lihat ia sedang asyik menggambar diselembar kertas sambil
tersenyum-senyum sendiri sambil komat-kamit pelan. Aku dekati Konan. Ia diam
tidak bergeming. Diam saja. Tangannya lincah menggambar sesosok manusia. Dan
aku mengerti ia sedang menggambar mata uang. Ia sedang menggambar sosok
pahlawan. Aku mencoba memastikan lagi dengan bertanya kedua kalinya. “Sedang
gambar apa Bang Konan?” . Uniknya jika ditanya perihal apa yang sedang kerjakan
ia tidak menjawab. Tetapi jika ditanya perihal Kandang Ayam atau perihal
pekerjaannya iapun mejawabnya sebagaimana orang normal.
Penasaranku belum juga terjawab. Aku masih
bertanya-tanya seputar latar belakang perikehidupan Si Konan. Aku
bertanya-tanya kepada tetangga-tetangga sekitar rumah dan orang-orang yang
seumuran dengannya. Ada yang mengejek dan ada pula yang simpati dengan sikap si
Konan dan berusaha menceriatakan kembali saat-saat si Konan masih muda.
Si Konan muda adalah anak yang rajin ibadah.
Apalagi ia merupakan anak seorang haji yang waktu itu bisa dikatakan kaya
raya. Ia mondok disebuah pesantren. Berdasarkan cerita-cerita para tetangga
sekitar. Waktu mondok, Si Konan mempelajari ilmu atau ngelmu tingkat
tinggi. Saking dalamnya ilmu yang ia pelajari, sementara ia belum siap
menerimanya, akhirnya membuatnya stress. Itulah keterangan dari beberapa
tetangga, entah benar atau salah cerita tersebut, hanya Allah yang Maha Tahu.
Ada lagi yang mengatakan bahwa Si Konan Stress gara-gara ditolak cintanya. Ia
patah hati. Berdasarkan cerita para tetangga, saat si Konan masih muda, ia pernah
jatuh hati kepada seorang gadis satu desa bernama Nawiyah. Konan sangat
mencintai Nawiyah dan ingin menikahinya, tetapi ternyata cintanya bertepuk
sebelah tangan. Ketika Konan muda berniat meminangnya ternyata Nawiyah
menolaknya. Alasannya karena tidak cinta. Ada juga yang menyebutkan bahwa
bukannya ditolak Nawiyah, tetapi orang tua Konan tidak setuju jika Konan muda
menikah dengan Nawiyah. Entahlah mana cerita yang benar.
Aku sedikit tercerahkan. Meski ceritanya simpang
siur, setidaknya aku memperoleh kisah muda si Konan yang cukup unik.
Bertahun-tahun si Konan menghabiskan masa mudanya hingga sekarang (aku bertemu
terakhir saat semester 7) membujang, pergi meninggalkan kedua orang tuanya.
Meskipun letak rumah orang tuanya berada di Kampung sebelah. Ia sama sekali
tidak ingin pulang dan berkumpul bersama keluarga. Sepertinya ada sebuah
tragedi masa lalu yang begitu berat yang ia hadapi hingga sampai-sampai tidak
ingin pulang kerumah. Padahal para sahabat sebayanya pernah menasehati Konan
agar sekali-kali menengok orang tuanya yang semakin renta. Ia tetap saja tidak
bergeming. Ya ada kemiripan dengan kisah Laila dan Majnun. Bedanya jika dalam
kisah tersebut kedua manusia ini saling mencintai namun orang tua Laila yang
tidak setuju jika Qais. Sehingga cinta tidak bisa bertemu. Sedangkan Konan
menjadi “Gila” atau kurang waras gara-gara cintanya bertepuk sebelah tangan.
Walaupun belum tentu benar kisah Konan ini.
Namun yang membuatku heran sekaligus haru adalah
pada saat berita wafat ayahnya tersebar di Kampung dan akhirnya sampai juga ke
telinga Konan. Sikap Konan berubah drastis bahkan membuat heran warga di
kampung Ya. Sang ayah wafat dan kini tinggallah ibunya seorang diri dirumah
sederhana itu. Konan yang bertahun-tahun tidak pernah pulang kerumah menengok
kedua orang tuanya kini akhirnya menemani sang ibu. Sehingga kini tinggallah
Konan dan ibunya yang renta menempati rumah yang sederhana itu. Mungkin warga
di Kampung berpendapat mungkin Konan sudah melupakan kedua orang tuanya melihat
dirinya memang dianggap sudah kurang waras. Namun yang membuatku terkejut
sekaligus haru adalah Konan yang kurang waras itu masih memiliki perasaan
kembali menengok dan mengurus ibunya yang renta itu. Ya, Konan akhirnya kembali
ke rumah menemani sang ibu meski tanpa sang ayah dirumah.
Semarang 24 November 2012