Rabu, November 28, 2012

Si Konan

Nama panggilannya adalah Konan. Ya ia biasa dipanggil warga di Kampungku dengan sebutan Konan. Usut punya usut ternyata Konan bukanlah nama aslinya. Sebenarnya setelah aku tanyakan kepada teman-teman sebayanya, nama aslinya adalah Misnan bukan Konan. Entah bagaimana ceritanya warga di Kampungku justru lebih familiar memanggilnya dengan sebutan Konan.

Konan bukan sembarang Konan. Ia bukanlah tokoh Detektif Konan dalam komik Jepang yang jenius itu. Ia adalah Konan asli Indonesia. Dalam hal kejeniusan memang ada beberapa kemiripan. Nanti aku ceritakan.

Perawakannya masih cukup enerjik meski bisa dikatakan sudah tidak muda lagi. Ia tidak terlalu tinggi dan juga tidak terlalu pendek. Kulitnya coklat kehitam-hitaman, tetapi tidak hitam mutlak. Rambutnya ikal sedikit urak-urakan. Secara penampilan, ia memang unik. Terkadang sangat rapi, tetapi pada suatu waktu ia berpenampilan seadanya bahkan melenceng dari mainstream. Pada saat-saat tertentu ia berpenampilan layaknya “Orang Kantoran”. Terkadang ia mengenakan kemeja lengan panjang dan disertai tanda pengenal yang dibuatnya sendiri. Seperti para pegawai Bank. Tanda pengenalnya terdapat gambar yang ia buat sendiri. Ia letakkan tanda pengenal itu disisi kanan kantong kemejanya. Tidak ketinggalan ia mengenakan celana panjang berserta ikat pinggangnya plus sisir kecil yang selalu menempel di kantong belakang celana. Lucu memang. Ya namanya juga si Konan.

Tidak hanya itu saja  keunikannya. Selain penampilannya yang nyentrik, sikapnya selalu membuatku makin penasaran. Meski warga di Kampung bilang bahwa Si Konan agak kurang waras. Tapi ia bisa hidup mandiri dan pandai berhitung pula. “Klo memang si Konan kurang waras mengapa ia pandai berhitung dan mengerti jual beli, dimana letak kekurangwarasannya?” batinku bertanya.

Suatu ketika Konan sedang jajan di Warung kakak-ku. Waktu itu aku sedang berkunjung di rumah kakak-ku. Memang Kakak punya warung kecil-kecilan. Karena kakak sedang sibuk mengurusi anaknya, ia meminta tolong agar aku yang melayani Konan. Meski Konan dianggap “kurang waras” tetapi dalam hal jual beli ia terkenal jujur dan amanah. Tidak hanya jujur tetapi ia juga benar. Saat ia sedang banyak uang, ia tidak pernah “ngebon” di Warung. Namun ketika ia tidak punya uang, ia terpaksa ngebon, tapi tidak melupakkannya. Ia selalu ingat. Dan yang paling mengherankan, ia juga sangat cepat dalam berhitung. Pernah satu saat ia jajan begitu banyak di Warung, namun yang membuatku kaget ia bisa mengalahkan kecepatanku dalam berhitung padahal aku menggunakan alat bantu Kalkulator. “Klo stress tapi kok pinter ngitung ni orang lebih dari sekedar normal menurutku.” Ia semakin membuatku penasaran.

Keunikan yang lainnya. Suatu hari aku melihat ia sedang santai di bawah pohon rindang. Disisi kiri dan kanan-nya ada sebuah keranjang penuh. Isinya adalah baju-baju dan segala tetek bengek perlengkapan-perlengkapan seperti golok, cangkul dan sebagainya. Ia memang tidak tinggal di rumah orang tuanya lagi. Meski kedua orang tuanya masih hidup dan tinggal di Kampung sebelah. Ia tinggal di sebuah gubuk didekat Kandang Ayam milik majikannya. Ia dipercaya oleh majikannya bekerja sebagai buruh yang siang malam mengurus ayam.

Karena sikapnya selalu membuatku penasaran, aku sering banyak bertanya perihal kehidupannya. Bagiku Konan adalah misteri yang belum terungkap. Aku lihat ia sedang asyik menggambar diselembar kertas sambil tersenyum-senyum sendiri sambil komat-kamit pelan. Aku dekati Konan. Ia diam tidak bergeming. Diam saja. Tangannya lincah menggambar sesosok manusia. Dan aku mengerti ia sedang menggambar mata uang. Ia sedang menggambar sosok pahlawan. Aku mencoba memastikan lagi dengan bertanya kedua kalinya. “Sedang gambar apa Bang Konan?” . Uniknya jika ditanya perihal apa yang sedang kerjakan ia tidak menjawab. Tetapi jika ditanya perihal Kandang Ayam atau perihal pekerjaannya iapun mejawabnya sebagaimana orang normal.

Penasaranku belum juga terjawab. Aku masih bertanya-tanya seputar latar belakang perikehidupan Si Konan. Aku bertanya-tanya kepada tetangga-tetangga sekitar rumah dan orang-orang yang seumuran dengannya. Ada yang mengejek dan ada pula yang simpati dengan sikap si Konan dan berusaha menceriatakan kembali saat-saat si Konan masih muda.

Si Konan muda adalah anak yang rajin ibadah. Apalagi ia merupakan anak seorang haji  yang waktu itu bisa dikatakan kaya raya. Ia mondok disebuah pesantren. Berdasarkan cerita-cerita para tetangga sekitar. Waktu mondok, Si Konan mempelajari ilmu atau ngelmu tingkat tinggi. Saking dalamnya ilmu yang ia pelajari, sementara ia belum siap menerimanya, akhirnya membuatnya stress. Itulah keterangan dari beberapa tetangga, entah benar atau salah cerita tersebut, hanya Allah yang Maha Tahu. Ada lagi yang mengatakan bahwa Si Konan Stress gara-gara ditolak cintanya. Ia patah hati. Berdasarkan cerita para tetangga, saat si Konan masih muda, ia pernah jatuh hati kepada seorang gadis satu desa bernama Nawiyah. Konan sangat mencintai Nawiyah dan ingin menikahinya, tetapi ternyata cintanya bertepuk sebelah tangan. Ketika Konan muda berniat meminangnya ternyata Nawiyah menolaknya. Alasannya karena tidak cinta. Ada juga yang menyebutkan bahwa bukannya ditolak Nawiyah, tetapi orang tua Konan tidak setuju jika Konan muda menikah dengan Nawiyah. Entahlah mana cerita yang benar.

Aku sedikit tercerahkan. Meski ceritanya simpang siur, setidaknya aku memperoleh kisah muda si Konan yang cukup unik. Bertahun-tahun si Konan menghabiskan masa mudanya hingga sekarang (aku bertemu terakhir saat semester 7) membujang, pergi meninggalkan kedua orang tuanya. Meskipun letak rumah orang tuanya berada di Kampung sebelah. Ia sama sekali tidak ingin pulang dan berkumpul bersama keluarga. Sepertinya ada sebuah tragedi masa lalu yang begitu berat yang ia hadapi hingga sampai-sampai tidak ingin pulang kerumah. Padahal para sahabat sebayanya pernah menasehati Konan agar sekali-kali menengok orang tuanya yang semakin renta. Ia tetap saja tidak bergeming. Ya ada kemiripan dengan kisah Laila dan Majnun. Bedanya jika dalam kisah tersebut kedua manusia ini saling mencintai namun orang tua Laila yang tidak setuju jika Qais. Sehingga cinta tidak bisa bertemu. Sedangkan Konan menjadi “Gila” atau kurang waras gara-gara cintanya bertepuk sebelah tangan. Walaupun belum tentu benar kisah Konan ini.

Namun yang membuatku heran sekaligus haru adalah pada saat berita wafat ayahnya tersebar di Kampung dan akhirnya sampai juga ke telinga Konan. Sikap Konan berubah drastis bahkan membuat heran warga di kampung Ya. Sang ayah wafat dan kini tinggallah ibunya seorang diri dirumah sederhana itu. Konan yang bertahun-tahun tidak pernah pulang kerumah menengok kedua orang tuanya kini akhirnya menemani sang ibu. Sehingga kini tinggallah Konan dan ibunya yang renta menempati rumah yang sederhana itu. Mungkin warga di Kampung berpendapat mungkin Konan sudah melupakan kedua orang tuanya melihat dirinya memang dianggap sudah kurang waras. Namun yang membuatku terkejut sekaligus haru adalah Konan yang kurang waras itu masih memiliki perasaan kembali menengok dan mengurus ibunya yang renta itu. Ya, Konan akhirnya kembali ke rumah menemani sang ibu meski tanpa sang ayah dirumah.

Semarang 24 November 2012