Sekitar dua
bulan yang lalu saya pernah menulis artikel yang berjudul “Masih Trenkah
Pacaran diabad 21?”. Ide menulis artikel tersebut sebenarnya datang secara
tiba-tiba saat saya sedang mengunjungi acara Dauroh Siyasi (Training Politik)
II oleh Departemen Kebijakan Publik KAMMI Daerah Semarang. Sekitar 30 menit
artikel itu dapat saya selesaikan. Disebut datang secara tiba-tiba sepertinya
tidak juga karena ide itu muncul saat bisa jadi karena banyaknya undangan
pernikahan “senior-senior” baik via undangan fisik maupun lewat dunia maya
(Facebook). Pasangan-pasangan yang menikah tersebut ternyata bukanlah pasangan
yang biasa menjalankan tradisi “Pacaran” pada umumnya sebelum melanjutkan
kejenjang pernikahan. Bahkan masing-masing mereka ada yang belum pernah berjumpa
sama sekali sebelumnya. Dan hingga tulisan ini ditulis, bangunan rumah tangga
mereka sepertinya baik-baik saja meski tidak menggunakan metode “pacaran”.
Saya pikir,
tradisi menikah dengan tidak melalui metode “pacaran” itu hanyalah tren
baru-baru ini saja, namun setelah saja kroscek, saya mendapatkan sebuah
keterangan dari teman-teman Jamaah Tarbiyah ternyata tradisi itu bukanlah
sesuatu yang baru, namun memang sudah (kalau tidak bisa dikatakan banyak)
mungkin sebagian kecil yang melaksanakannaya. Sayangnya hal tersebut bukanlah mainstream (arus besar). Apalagi
menjadi bahan liputan media untuk konsumsi publik. Padahal bagi saya hal
tersebut sangat menarik untuk diamati.
Saya
menemukan beberapa keluarga yang membangun rumah tangga hingga saat ini tanpa
sebelumnya melalui proses “pacaran”. Sebagaimana keluarga pada umumnya mereka
menjadi keluarga-keluarga normal lainnya, mereka punya anak bahkan anaknya
banyak. Kehidupan rumah tangga mereka sungguh harmonis. Masing-masing mampu
menjalankan posisinya baik sebagai suami, maupun sebagai istri. Tatkala suami
bekerja diluar sang istri mengurus anak di rumah. Terkadang saya menyaksikan
sang istri-pun ikut bekerja membantu sang suami, kemudian sang suami yang
bergantian mengurus anak. Semuanya bisa dikomunikasikan dan bisa saling
bekerjasama. Saya sempat merenung “Apa ya yang membuat mereka bertahan lama
padahal mereka dulunya aja gak pacaran, gimana bisa cinta dan bisa membangun keluarga?”
Setelah
berdiskusi dengan teman-teman perihal ini, (Diskusi seputar hal ini emang
paling menarik) saya mendapatkan jawaban, tepatnya “pencerahan”. Sepertinya ada
satu hal yang membuat mereka bertahan lama. Sepertinya ada kata kunci yang
menjadi landasan mereka tuk saling mencintai dan membangun rumah tangga. Karena
tidak mungkin menurut pemahaman saya sebuah kelompok (dalam hal ini keluarga)
bisa bertahan tanpa adanya semacam “kunci” atau “rujukan bersama” bagi mereka.
Sebelum saya
menjelaskan kata kunci itu, saya akan sedikit memaparkan perihal kasus umum
yang saya amati didalam keluarga. Jika berbicara kasus, sering kali kita
melihat atau mendengar adanya Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Suami
telantarkan istri, telantarkan anak, suami yang selingkuh, istri yang
selingkuh, suami pukul istri, istri pukul suami, ayah pukul anak, ibu pukul
anak. Bahkan diera yang lebih tragis ada kasus suami bunuh istri, istri bunuh
suami, ayah bunuh anak, ibu bunuh anak. Nauzubillah
minzaalik. Saking hebatnya kasus tersebut hingga muncul
Undang-undang KDRT, Komnas Perlindungan anak dan lain-lain.
Sehingga
dengan banyaknya kasus seperti diatas membuat saya semakin bertanya-tanya
sebenarnya apa landasan mereka membangun keluarga kalau akhirnya justru saling
menyakiti?. Kalau saya boleh menilai saya menengarai sepertinya ada yang tidak
beres dari niat dan juga landasan mereka dalam membangun rumah tangga. Bangunan
keluarga mereka didirikan atas fondasi yang rapuh dan tidak bertahan lama. Pertama, fondasi itu bisa berupa
fisik/tubuh seperti ketampanan, kecantikan, yang ujung-ujungnya untuk memuaskan
hasrat seksual semata. Kedua,
fondasi kebangsawanan/keturunan. Misalnya seorang laki-laki mencintai perempuan
karena dasar karena keluarga perempuan memiliki kekayaan yang berlimpah. Atau
bisa juga campuran dari alasan pertama dan kedua. Sehingga bukan merupakah
suatu hal yang aneh ketika fondasinya adalah materi, ada goncangan kecil
saja keluarga tersebut akan mudah terombang-ambing bahkan runtuh. Lha fondasinya
saja rapuh, tidak permanen, bagaimana bisa menahan badai saat datang badai?.
Ada kasus suami selingkuh dan ketika ditanya mengapa ia tega selingkuh ternyata
dalihnya karena sang istri tidak secantik dahulu, tidak seenerjik dahulu, tidak
bisa lagi memuaskan hasrat seksual sang suami, sakit-sakitan, mandul dan banyak
lagi alasan yang diciptakan. Begitu juga sebaliknya berlaku bagi sang istri.
Akhirnya mereka bubar. Ada juga kasus suami meninggalkan istri atau istri
meninggalkan suami gara-gara sang istri/suami sudah tidak kaya lagi, alias
bangkrut. Mertua istri sudah jatuh miskin atau sudah wafat akhirnya sang suami
seenaknya saja memperlakukan istrinya. Toh sudah tidak ada yang jadi batu
sandungan untuk berbuat yang aneh-aneh terhadap istri. Mungkin begitu pikirnya.
Nah menurut saya kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga karena rapuhnya niat
dan fondasi mereka. Dengan kata lain mereka berlandaskan kepada hal-hal yang
bersifat sementara.
Kembali
kepada keluarga yang saya amati dan saya jelaskan diawal bahwa ternyata ada
keluarga yang dibentuknya melalui proses yang “tidak umum” bagi orang-orang
kebanyakan namun ternyata mereka bisa hidup harmonis. Saya berpendapat bahwa
memang ada fondasi yang kokoh melandasinya. Fondasi itu adalah ketaqwaan kepada
Allah. Allah yang menjadi pusat bangunan cinta mereka dalam menjalin rumah
tangga. Mereka saling membenci dan mencinta karena perintah Allah. Begitu pula
saat harus memenuhi hak dan kewajiban baik sebagai suami, sebagai istri,
sebagai orang tua bagi anak-anaknya. Rujukan mereka adalah Allah. Sebagaimana
dahulu saat mereka dipertemukan. Sehingga bisa jadi dengan berpatokan seperti
itu, sang suami menghormati, mencintai, menafkahi sang istri bukan karena istri
dan ayah ibu si istri, kerabat an sich namun betul-betul landasannya karena
Allah. Begitu juga sebaliknya sikap sang istri kepada suaminya. Dan ketika ada
badai ditengah jalan menerpa rumah tangga mereka seperti kemiskinan, kematian,
dan cobaan-cobaan lainnya. Keluarga mereka akan tetap tegar menghadapi itu
semua karena memang keluarga itu dibangun atas dasar untuk mencari Ridho Allah
bukan kepentingan-kepentingan sementara yang tersembunyi.
Waallohu’a’lam
Diiringi hujan gerimis dan tilawah seorang sahabat
Semarang, 2 Januari 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar