Jumat, Januari 04, 2013

Cinta Tak Bersyarat...


Sekitar dua bulan yang lalu saya pernah menulis artikel yang berjudul “Masih Trenkah Pacaran diabad 21?”. Ide menulis artikel tersebut sebenarnya datang secara tiba-tiba saat saya sedang mengunjungi acara Dauroh Siyasi (Training Politik) II oleh Departemen Kebijakan Publik KAMMI Daerah Semarang. Sekitar 30 menit artikel itu dapat saya selesaikan. Disebut datang secara tiba-tiba sepertinya tidak juga karena ide itu muncul saat bisa jadi karena banyaknya undangan pernikahan “senior-senior” baik via undangan fisik maupun lewat dunia maya (Facebook). Pasangan-pasangan yang menikah tersebut ternyata bukanlah pasangan yang biasa menjalankan tradisi “Pacaran” pada umumnya sebelum melanjutkan kejenjang pernikahan. Bahkan masing-masing mereka ada yang belum pernah berjumpa sama sekali sebelumnya. Dan hingga tulisan ini ditulis, bangunan rumah tangga mereka sepertinya baik-baik saja meski tidak menggunakan metode “pacaran”.

Saya pikir, tradisi menikah dengan tidak melalui metode “pacaran” itu hanyalah tren baru-baru ini saja, namun setelah saja kroscek, saya mendapatkan sebuah keterangan dari teman-teman Jamaah Tarbiyah ternyata tradisi itu bukanlah sesuatu yang baru, namun memang sudah (kalau tidak bisa dikatakan banyak) mungkin sebagian kecil yang melaksanakannaya. Sayangnya hal tersebut bukanlah mainstream (arus besar). Apalagi menjadi bahan liputan media untuk konsumsi publik. Padahal bagi saya hal tersebut sangat menarik untuk diamati.

Saya menemukan beberapa keluarga yang membangun rumah tangga hingga saat ini tanpa sebelumnya melalui proses “pacaran”. Sebagaimana keluarga pada umumnya mereka menjadi keluarga-keluarga normal lainnya, mereka punya anak bahkan anaknya banyak. Kehidupan rumah tangga mereka sungguh harmonis. Masing-masing mampu menjalankan posisinya baik sebagai suami, maupun sebagai istri. Tatkala suami bekerja diluar sang istri mengurus anak di rumah. Terkadang saya menyaksikan sang istri-pun ikut bekerja membantu sang suami, kemudian sang suami yang bergantian mengurus anak. Semuanya bisa dikomunikasikan dan bisa saling bekerjasama. Saya sempat merenung “Apa ya yang membuat mereka bertahan lama padahal mereka dulunya aja gak pacaran, gimana bisa cinta dan bisa membangun keluarga?”

Setelah berdiskusi dengan teman-teman perihal ini, (Diskusi seputar hal ini emang paling menarik) saya mendapatkan jawaban, tepatnya “pencerahan”. Sepertinya ada satu hal yang membuat mereka bertahan lama. Sepertinya ada kata kunci yang menjadi landasan mereka tuk saling mencintai dan membangun rumah tangga. Karena tidak mungkin menurut pemahaman saya sebuah kelompok (dalam hal ini keluarga) bisa bertahan tanpa adanya semacam “kunci” atau “rujukan bersama” bagi mereka.

Sebelum saya menjelaskan kata kunci itu, saya akan sedikit memaparkan perihal kasus umum yang saya amati didalam keluarga. Jika berbicara kasus, sering kali kita melihat atau mendengar adanya Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Suami telantarkan istri, telantarkan anak, suami yang selingkuh, istri yang selingkuh, suami pukul istri, istri pukul suami, ayah pukul anak, ibu pukul anak. Bahkan diera yang lebih tragis ada kasus suami bunuh istri, istri bunuh suami, ayah bunuh anak, ibu bunuh anak. Nauzubillah minzaalik. Saking hebatnya kasus tersebut hingga muncul Undang-undang KDRT, Komnas Perlindungan anak dan lain-lain.

Sehingga dengan banyaknya kasus seperti diatas membuat saya semakin bertanya-tanya sebenarnya apa landasan mereka membangun keluarga kalau akhirnya justru saling menyakiti?. Kalau saya boleh menilai saya menengarai sepertinya ada yang tidak beres dari niat dan juga landasan mereka dalam membangun rumah tangga. Bangunan keluarga mereka didirikan atas fondasi yang rapuh dan tidak bertahan lama. Pertama, fondasi itu bisa berupa fisik/tubuh seperti ketampanan, kecantikan, yang ujung-ujungnya untuk memuaskan hasrat seksual semata. Kedua, fondasi kebangsawanan/keturunan. Misalnya seorang laki-laki mencintai perempuan karena dasar karena keluarga perempuan memiliki kekayaan yang berlimpah. Atau bisa juga campuran dari alasan pertama dan kedua. Sehingga bukan merupakah suatu hal yang aneh  ketika fondasinya adalah materi, ada goncangan kecil saja keluarga tersebut akan mudah terombang-ambing bahkan runtuh. Lha fondasinya saja rapuh, tidak permanen, bagaimana bisa menahan badai saat datang badai?. Ada kasus suami selingkuh dan ketika ditanya mengapa ia tega selingkuh ternyata dalihnya karena sang istri tidak secantik dahulu, tidak seenerjik dahulu, tidak bisa lagi memuaskan hasrat seksual sang suami, sakit-sakitan, mandul dan banyak lagi alasan yang diciptakan. Begitu juga sebaliknya berlaku bagi sang istri. Akhirnya mereka bubar. Ada juga kasus suami meninggalkan istri atau istri meninggalkan suami gara-gara sang istri/suami sudah tidak kaya lagi, alias bangkrut. Mertua istri sudah jatuh miskin atau sudah wafat akhirnya sang suami seenaknya saja memperlakukan istrinya. Toh sudah tidak ada yang jadi batu sandungan untuk berbuat yang aneh-aneh terhadap istri. Mungkin begitu pikirnya. Nah menurut saya kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga karena rapuhnya niat dan fondasi mereka. Dengan kata lain mereka berlandaskan kepada hal-hal yang bersifat sementara.

Kembali kepada keluarga yang saya amati dan saya jelaskan diawal bahwa ternyata ada keluarga yang dibentuknya melalui proses yang “tidak umum” bagi orang-orang kebanyakan namun ternyata mereka bisa hidup harmonis. Saya berpendapat bahwa memang ada fondasi yang kokoh melandasinya. Fondasi itu adalah ketaqwaan kepada Allah. Allah yang menjadi pusat bangunan cinta mereka dalam menjalin rumah tangga. Mereka saling membenci dan mencinta karena perintah Allah. Begitu pula saat harus memenuhi hak dan kewajiban baik sebagai suami, sebagai istri, sebagai orang tua bagi anak-anaknya. Rujukan mereka adalah Allah. Sebagaimana dahulu saat mereka dipertemukan. Sehingga bisa jadi dengan berpatokan seperti itu, sang suami menghormati, mencintai, menafkahi sang istri bukan karena istri dan ayah ibu si istri, kerabat an sich namun betul-betul landasannya karena Allah. Begitu juga sebaliknya sikap sang istri kepada suaminya. Dan ketika ada badai ditengah jalan menerpa rumah tangga mereka seperti kemiskinan, kematian, dan cobaan-cobaan lainnya. Keluarga mereka akan tetap tegar menghadapi itu semua karena memang keluarga itu dibangun atas dasar untuk mencari Ridho Allah bukan kepentingan-kepentingan sementara yang tersembunyi.
Waallohu’a’lam

Diiringi hujan gerimis dan tilawah seorang sahabat
Semarang, 2 Januari 2012

Tidak ada komentar: