Kamis, Maret 28, 2013

Dimensi Lain


Ada dua keadaan yang terkadang membuat emosi saya “terguncang”. Pernah keadaan itu membuat diri saya tersenyum, tetapi pernah juga membuat diri saya menangis, pernah melemparkan ingatan saya kemasa lalu, tapi pernah juga melemparkan imajinasi saya untuk melihat masa depan kelak. Padahal saya sedang berada dalam “masa sekarang”.

Ah bukan mentang-mentang saya “masih” jadi mahasiswa jurusan sejarah yang “sehari-hari” “makanannya” ngurusi “dimensi waktu”. Bukan pula karena fanatisme jurusan, apa lagi mempromosikan jurusan secara “semena-mena” kepada orang lain. Bukan!. Tapi karena saya merasa memang apa yang kini jadi “makanan” saya selalu hadir dalam kehidupan saya. Ia benar-benar dekat menginspirasi dan selalu membuat saya berpikir What is The Past?, kok cepat waktu sekali berlalu? Seolah-olah saya belum bisa menerima arti sebuah “kepergian”. Seolah-olah saya belum rela meninggalkan/ditingkalkan oleh momen-momen yang belum saya pahami apa maksud dibalik itu semua? Apakah memang bisa saya pahami sendiri?. Pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya melegakan dada saya tetapi membuat “pening” otak saya sendiri. Baiklah kembali saja kepada persoalan tentang emosi saya yang “terguncang” dengan dua keadaan tadi.
Keadaan pertama, yakni saat saya melihat tingkah polah anak kecil (bayi, balita, remaja) yang sedang asyik bermain-main. Tingkah polos anak kecil itu sering kali membawa angan saya bernostalgia. Dulu saya juga pernah merasakan masa kecil dan ada kerinduan padanya. Meski waktu saya kecil saya ingin cepat-cepat menjadi dewasa. Masa kecil itu mengingatkan pada sebuah rentetan peristiwa yang bermacam-macam. Ada yang membuat saya bahagia, sedih, trauma, menyesal, dan berbagai macam rasa. Lakon saat saya kecil tidak bermain sendiri, tetapi ada adik, kakak, ayah, kerabat, teman kecil dan sebagainya yang membentuk pola pikir saya. Dan kini semuanya telah (di/ter) lewati, dan sekali lagi saya berada pada masa sekarang.
Keadaan kedua yakni saat saya melihat sosok kakek nenek tua renta. Apalagi melihat mereka dalam keadaan yang “memprihatinkan” alias tidak terurus. Misal saya melihat kakek nenek itu berpanas-panasan di jalanan mencari sedekah dari sang penderma. Atau saat ia bersusah payah mencari penghidupan sendiri dengan pekerjaan yang berat/kasar. Meski saya selalu mencoba tegar dan menguatkan diri, tetapi sering kali emosi saya memaksa “merenung” sejenak “Mengapa harus terjadi itu semua?”. Saya seakan dihadapkan pada dua dimensi sekaligus yakni dimensi masa lalu dan masa depan.
Dalam keadaan pertama saya rindu dengan masa kecil saya. Rindu akan sebuah dimensi yang mustahil saya akan kembali lagi. Sedangkan dalam keadaan kedua saya merasa berempati sekaligus khawatir dengan keadaan diri saya kelak. Berempati kepada keadaan ibu bapak saya yang selama bertahun-tahun membesarkan kami semua. Ada rasa ingin membalas semua kebaikan mereka sesegera mungkin dan mempersembahkan kehidupan yang lebih baik agar mereka bahagia dimasa tuanya. Dan saya juga merasa khawatir dengan masa depan saya kelak saat saya tua nanti. Bukankah saya juga akan mengalami tua? Yang berarti saya pasti menjalani perjalanan waktu meninggalkan masa dewasa menuju renta?. Ya itu sebuah kepastian!
Terkadang saya berusaha mengabaikan rasa “melankolis” saya sambil berusaha bersikap tegar mencoba mengerangkeng masa lalu saya. Masa lalu yang menuntut saya tidak boleh berbuat besar. Masa lalu yang memenjarakan kreatifitas berimajinasi saya. “Saya harus kuat dan tidak boleh lemah, tidak boleh terlarut dengan perasaan”. Tapi tetap saja setegar-tegarnya batu karang ia akan lapuk juga terhempas ombak. Ada saat tertentu saya ingin menangis sekeras-kerasnya. Ya, untuk merendah bahwa saya bukan siapa-siapa. Saya hanya makhluk bodoh yang sombong.
Oleh sebab itu memang apapun yang terjadi terhadap diri saya, saya harus rela, saya harus ridho dengan kenyataan itu semua. Bukankah saya adalah salah satu dari milyaran manusia yang cuma “mampir ngombe” (numpang minum) didunia?. Logika saya memang menyadari itu sebagai sebuah keharusan. Tetapi ada yang selalu gundah-gulana didada ini. Apakah ini adalah pertanda bahwa hati memiliki ruang khusus yang harus dipahami dengan cara khusus juga?
       Saya rasa memang demikian, hati memiliki ruang khusus yang “tidak selalu” sejalan dengan logika, atau bahkan berbeda. Ini harus dipahami dengan rela, dengan ikhlas. Logika tidak bisa menghegemoni ruang khusus itu. Ruang khusus itu sangat privat. Bisa saja logika terpengaruh dengan keadaan sekitar, bisa saja logika tertutupi gengsi. Bisa saja logika berbicara angkuh terhadap dan cendrung menutupi. Padahal hati dalam keadaan gundah dan haus pada sebuah ketaatan. Mungkinkah saya telah menjadikan logika saya menjadi berhala hingga keangkuhan menyelimuti jiwa saya?.
       Ya, terkadang saya merasa bosan dan bingung. Mengapa semakin banyak pengetahuan yang saya dapatkan. Justru semakin membuat saya semakin kritis bahkan sering selalu reisten (menolak) terhadap sesuatu yang terlalu dogmatif?. Saya telah berubah menjadi skeptic. Ataukah saya yang terlalu perfeksionis? Menghendaki segalanya harus sesuai dengan banyangan yang ada dalam kepala saya? Sehingga dalam hidup saya, dalam berhubungan dengan orang lain, dalam berorganisasi, saya selalu tidak puas dengan hasil, selalu tidak puas dengan kinerja orang lain yang saya anggap tidak sesuai?. Mungkinkah sikap saya yang terlalu ambisius?.
       Ya. Saat ini saya lebih senang melakukan apa yang saya suka. Saya lebih senang bekerjasama dengan orang-orang yang se-passion. Karena dengan begitu saya merasa melakukan suatu hal dengan potensi terbaik. Bukan petarung bebas yang memaksakan diri harus serba bisa seperti superman.
Semarang, 27 Maret 2013

Tidak ada komentar: