Ada
dua keadaan yang terkadang membuat emosi saya “terguncang”. Pernah keadaan itu
membuat diri saya tersenyum, tetapi pernah juga membuat diri saya menangis, pernah
melemparkan ingatan saya kemasa lalu, tapi pernah juga melemparkan imajinasi
saya untuk melihat masa depan kelak. Padahal saya sedang berada dalam “masa
sekarang”.
Ah bukan mentang-mentang saya “masih” jadi mahasiswa jurusan sejarah
yang “sehari-hari” “makanannya” ngurusi “dimensi waktu”. Bukan pula karena
fanatisme jurusan, apa lagi mempromosikan jurusan secara “semena-mena” kepada
orang lain. Bukan!. Tapi karena saya merasa memang apa yang kini jadi “makanan”
saya selalu hadir dalam kehidupan saya. Ia benar-benar dekat menginspirasi dan
selalu membuat saya berpikir What is The
Past?, kok cepat waktu sekali berlalu? Seolah-olah saya belum bisa menerima
arti sebuah “kepergian”. Seolah-olah saya belum rela meninggalkan/ditingkalkan
oleh momen-momen yang belum saya pahami apa maksud dibalik itu semua? Apakah
memang bisa saya pahami sendiri?. Pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya
melegakan dada saya tetapi membuat “pening” otak saya sendiri. Baiklah kembali
saja kepada persoalan tentang emosi saya yang “terguncang” dengan dua keadaan
tadi.
Keadaan pertama, yakni saat saya melihat tingkah
polah anak kecil (bayi, balita, remaja) yang sedang asyik bermain-main. Tingkah
polos anak kecil itu sering kali membawa angan saya bernostalgia. Dulu saya
juga pernah merasakan masa kecil dan ada kerinduan padanya. Meski waktu saya
kecil saya ingin cepat-cepat menjadi dewasa. Masa kecil itu mengingatkan pada
sebuah rentetan peristiwa yang bermacam-macam. Ada yang membuat saya bahagia,
sedih, trauma, menyesal, dan berbagai macam rasa. Lakon saat saya kecil tidak
bermain sendiri, tetapi ada adik, kakak, ayah, kerabat, teman kecil dan
sebagainya yang membentuk pola pikir saya. Dan kini semuanya telah (di/ter) lewati,
dan sekali lagi saya berada pada masa sekarang.
Keadaan kedua yakni saat saya melihat sosok
kakek nenek tua renta. Apalagi melihat mereka dalam keadaan yang “memprihatinkan”
alias tidak terurus. Misal saya melihat kakek nenek itu berpanas-panasan di jalanan
mencari sedekah dari sang penderma. Atau saat ia bersusah payah mencari
penghidupan sendiri dengan pekerjaan yang berat/kasar. Meski saya selalu
mencoba tegar dan menguatkan diri, tetapi sering kali emosi saya memaksa
“merenung” sejenak “Mengapa harus terjadi itu semua?”. Saya seakan dihadapkan
pada dua dimensi sekaligus yakni dimensi masa lalu dan masa depan.
Dalam keadaan pertama saya rindu dengan masa kecil saya. Rindu
akan sebuah dimensi yang mustahil saya akan kembali lagi. Sedangkan dalam
keadaan kedua saya merasa berempati sekaligus khawatir dengan keadaan diri saya
kelak. Berempati kepada keadaan ibu bapak saya yang selama bertahun-tahun
membesarkan kami semua. Ada rasa ingin membalas semua kebaikan mereka sesegera
mungkin dan mempersembahkan kehidupan yang lebih baik agar mereka bahagia
dimasa tuanya. Dan saya juga merasa khawatir dengan masa depan saya kelak saat
saya tua nanti. Bukankah saya juga akan mengalami tua? Yang berarti saya pasti
menjalani perjalanan waktu meninggalkan masa dewasa menuju renta?. Ya itu
sebuah kepastian!
Terkadang saya berusaha mengabaikan rasa “melankolis” saya
sambil berusaha bersikap tegar mencoba mengerangkeng masa lalu saya. Masa lalu
yang menuntut saya tidak boleh berbuat besar. Masa lalu yang memenjarakan
kreatifitas berimajinasi saya. “Saya harus kuat dan tidak boleh lemah, tidak
boleh terlarut dengan perasaan”. Tapi tetap saja setegar-tegarnya batu karang
ia akan lapuk juga terhempas ombak. Ada saat tertentu saya ingin menangis
sekeras-kerasnya. Ya, untuk merendah bahwa saya bukan siapa-siapa. Saya hanya
makhluk bodoh yang sombong.
Oleh sebab itu memang apapun yang terjadi terhadap diri saya, saya
harus rela, saya harus ridho dengan kenyataan itu semua. Bukankah saya adalah
salah satu dari milyaran manusia yang cuma “mampir
ngombe” (numpang minum) didunia?. Logika saya memang menyadari itu sebagai
sebuah keharusan. Tetapi ada yang selalu gundah-gulana didada ini. Apakah ini
adalah pertanda bahwa hati memiliki ruang khusus yang harus dipahami dengan
cara khusus juga?
Saya rasa memang demikian, hati memiliki
ruang khusus yang “tidak selalu” sejalan dengan logika, atau bahkan berbeda.
Ini harus dipahami dengan rela, dengan ikhlas. Logika tidak bisa menghegemoni ruang
khusus itu. Ruang khusus itu sangat privat. Bisa saja logika terpengaruh dengan
keadaan sekitar, bisa saja logika tertutupi gengsi. Bisa saja logika berbicara angkuh
terhadap dan cendrung menutupi. Padahal hati dalam keadaan gundah dan haus pada
sebuah ketaatan. Mungkinkah saya telah menjadikan logika saya menjadi berhala
hingga keangkuhan menyelimuti jiwa saya?.
Ya, terkadang saya merasa bosan dan
bingung. Mengapa semakin banyak pengetahuan yang saya dapatkan. Justru semakin
membuat saya semakin kritis bahkan sering selalu reisten (menolak) terhadap
sesuatu yang terlalu dogmatif?. Saya telah berubah menjadi skeptic. Ataukah
saya yang terlalu perfeksionis? Menghendaki segalanya harus sesuai dengan
banyangan yang ada dalam kepala saya? Sehingga dalam hidup saya, dalam
berhubungan dengan orang lain, dalam berorganisasi, saya selalu tidak puas
dengan hasil, selalu tidak puas dengan kinerja orang lain yang saya anggap
tidak sesuai?. Mungkinkah sikap saya yang terlalu ambisius?.
Ya.
Saat ini saya lebih senang melakukan apa yang saya suka. Saya lebih senang
bekerjasama dengan orang-orang yang se-passion. Karena dengan begitu saya
merasa melakukan suatu hal dengan potensi terbaik. Bukan petarung bebas yang
memaksakan diri harus serba bisa seperti superman.
Semarang,
27 Maret 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar