Kamis, Maret 21, 2013

Mengklaim Kebodohan



Dalam paradigma Multiple Intellegences setiap anak memiliki kecerdasan sendiri-sendiri.Howard Gardner melahirkan paradigma tersebut sebagai bentuk koreksi terhadap konsep kecerdasan ala Alfred Binet (1857-1911), dinama menurut Binet dasar kecerdasan individu terletak pada Intellegences Question (IQ) saja.Binet menempatkan kecerdasan seseorang dalam ukuran skala tertentu yang menitikberatkan kemampuan berbahasa dan logika.
Howard Gardner adalah Hobbs Professor di Cognition and Education dan salah satu direktur Project Zero di Harvard Graduate School of Education, serta adjunct professor di bidang neurologi Boston University School of Medicine. Dia adalah penulis Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences (Basic Books, 1983/1993), Multiple Intelligences: The Theory in Practice (Basic`Books, 1993), dan Intelligence Reframed: Multiple Intelligences for the 21st Century (Basic Books, 1993)
Menurut Gardner setiap individu memiliki satu atau lebih dari delapan kecerdasan antara lain; Linguistik, Matematis-logis, Spasial, Kinestetik-Jasmaniah, Musikal, Intrapersonal, Interpersonal,  dan naturalis. Lebih jauh lagi Gardner mengungkapkan bahwa setiap kecerdasan secara parsial memiliki ciri dan cara tersendiri dalam mengelola informasi yang masuk kedalam otak, namun ketika mengeluarkannya kembali, seluruh kecerdasan bersinergi dalam kesatuan yang unik. Ukuran kepandaian seorang anak menurutnya tidak hanya dilihat dari kemampuan logika dan bahasa sepenuhnya, namun harus dilihat dari delapan tipe kecerdasan.Dengan kata lain Gardner ingin mengungkapkan bahwa tidak tepat kiranya tolak ukur kepandaian seorang individu hanya dilihat dari sudut matematis-logis-linguistik saja. Jika tolak ukurnya hanya itu saja, lalu bagaimana dengan kecerdasan yang lain, apakah tidak menjadi pertimbangan?
Kiranya ungkapan Gardner memberikan pencerahan baru bagi kita dalam dunia pendidikan terutama kepada para perumus kebijakan maupun kepada praktisi pendidikan dilapangan.Ironisnya meskipun Multiple Intelligence muncul beberapa tahun yang lalu, namun realitas dilapangan masih ditemukan ada beberapa sekolah masih menerapkan konsep IQ sebagai satu-satunya ukuran kecerdasan seseorang (Murid). Hal ini sungguh memprihatinkan, seolah-olah bukanlah menjadi pertimbangan penting terhadap sebuah penemuan ilmiah oleh para pakar dalam proses perumusan kebijakan. Padahal sebuah kebijakan yang bijaksana sejatinya tidak bisa dilahirkan tanpa pertimbangan matang dan keikutsertaan para pakar.
            Ibarat Resi, para pakar adalah guru kehidupan yang memberikan tuntutan dan nasehat bagaimana langkah bijak seseorang dalam mengambil setiap keputusan penting menyangkut hidupnya. Bayangkan apa jadinya bila seseorang membuat keputusan penting dalam keadaan kebingungan?.Apa jadinya jika para pejabat yang diamanahkan rakyat untuk merumuskan kebijakan strategis dalam dunia pendidikan kurang serius menanggapi petuah para Resi tersebut untuk mengeksekusi, mengawal setiap kebijakannya hingga benar-benar sampai dilapangan? Tentunya semutakhir apapun teori pendidikan yang ditemukanakan sulit dilihat hasilnya jika hanya menjadi “pajangan” di etalase akademik saja.
Tidak ada anak bodoh
            “Mengklaim Kebodohan” sengaja penulis sematkan dalam opini ini atas dasar masih kuatnya stigma lama bahwa hanya anak yang pandai berhitung dan bahasa selalu dijadikan parameter kecerdasan oleh sebagian besar guru dan orang tua.Seharusnya pendapat Gardner menyadarkan kita agar hati-hati mengklaim seorang individu dengan ungkapan-ungkapan yang menjatuhkan. Klaim “bodoh” terhadap seorang individu tidak bisa dibenarkan lagi karena atas dasar apa seseorang dikatakan “bodoh”, bodoh dalam hal apa dan pintar dalam hal apa?.
Meski Albert Einstein telah berjasa besar dalam menemukan teori relativitas yang terkenal seantero jagad itu, sudah saatnya iabukan lagi dijadikan parameter satu-satunya dalam menilai kecerdasan seseorang. Bukankah setiap orang yang terlahir didunia ini unik, lahir hanya membawa kekhasan sifanya dan disaat meninggal tidak mungkin digantikan oleh manusia baru, disebabkan manusia baru itu juga akan membawa sifat uniknya sendiri?.Mudah saja membuktikannya, tanyakanlah kepada sepuluh murid tentang “cinta”, penulis menjamin masing-masing mereka akan menjawab dengan cara dan gaya masing-masing yang tidak selalu seragam. Masalahnya memang bukan hanya dalam proses perumusan kebijakan, tetapi juga dilapangan. Sebagian besar guru-guru di sekolah bahkan dosen di perguruan tinggi masih banyak yang terjebak dalam paradigma behavioristik dimana dalam proses belajar lebih menekankan hafalan, menuntut satu jawaban yang benar dan guru adalah pusatnya. Yang utama dalam paradigma ini adalah penambahan pengetahuan, artinya seseorang dikatakan telah belajar apabila mampu mengungkapkan kembali yang telah dipelajari.Meskipun dalam realita, pembelajaran behavioristik menekankan keterampilan terisolasi (tak terkait dengan kehidupan dan pemecahan masalah sehari-hari), mengikuti urutan kurikulum yang ketat, aktivitas belajar mengikuti buku teks, dan menekankan pada hasil.Dalam paradigma ini guru ibarat hakim yang berhak memutuskan benar-salah, pintar-bodoh muridnya.Oleh karena itu, respon dari siswa bersifat pasif, harus berupa satu jawaban yang benar, sedang evaluasi dipandang terpisah dari proses belajar. Alhasil kondisi belajar seperti ini cendrung melahirkan murid-murid yang miskin kreatifitas, tertekan, kurang berani berekspresi dan menyampaikan idenya.Murid seakan-akan “dipaksa” meng copy paste pengetahuan yang bersumber dari gurunya sebagaimana adanya tidak kurang tidak lebih. Padahal daya kretifitas dalam menerima pengetahuan antara murid dengan guru tentulah berbeda.Kondisi otoritarian sepeti ini justru akan sangat membahayakan perkembangan seorang murid. Dinegara-negara maju seperti Finlandia, Jepang, Inggris, Canada, Inggris, cendrung bahkan sudah secara “berani” menerapkan paradigma konstruktivistik dalam proses belajar. Sebuah paradigma pendidikan yang memberikan keleuasaan gaya belajar siswa serta materi pelajaran  yang diminati siswa. Dalam paradigma ini pula tugas guru sebagai fasilitator yang membantu siswa mencapai pemahaman tentang isi pelajaran; jadi siswa yang mengambil peran aktif dalam pembelajaran. Beberapa tugas fasilitator adalah bertanya, mendukung dari belakang, dan menyiapkan garis-garis belajar pembelajaran dan menciptakan lingkungan agar siswa dapat mencapai kesimpulan-kesimpulan, dan melakukan dialog dengan pembelajar.
Sekolah bukan pabrik
Perlu diakui bahwa sistem pendidikan kita masih mewarisi model-model zaman kolonial.Padahal kita harus sadari bahwa konteks pendidikan yang dibangun waktu itu sarat dengan muatan politis dan imperialis.Semangat politik etis (balas budi) yang digembar-gemborkan kaum liberalternyata tidak sejalan dengan realitas dilapangan.Sekolah-sekolah di Hindia Belanda (Indonesia) didirikan untuk memenuhi kebutuhan akan tenaga kerja di pabrik-pabrik, bahkan terkesan setengah hati dengan menjalankan kebijakan diskriminatif  ketat. Dengan kata lainkonteks pembangunan sarana pendidikan waktu itu hanya untuk kepentingan bisnis semata bukan pembangunan kualitas manusia Indonesia secara utuh. Rupanya warisan itu masih bercokol kuat dinegeri kita, meskipun penjajah telah pergi puluhan tahun silam.Selain itu dalam memperlakukan siswa-siswi, sekolah sering kali melakukan penyeragaman terhadap anak didik. Padahal dimasa depan bangsa ini membutuhkan manusia-manusia unggul dibidangnya  sendiri-sendiri. Dimasa depan bangsa ini membutuhkan manusia-manusia unggul yang berdedikasi tinggi dengan ilmunya, yang dengan dedikasi itu akan memberikan kontribusi terbaiknya bagi bangsa.
Kita patut memberikan apresiasi tinggi kepada Mahkamah Konstitusi yang dengan tegas menghapusUndang-undang RSBI (Rintisan Sekolah Berstandar Internasional) dalam dunia pendidikan. Tepat kiranya keputusan MK itu menimbang memang secara substansi telah bertentangan dengan semangat Undang-undang Dasar (UUD) 1945 yang menekankan bahwa tidak ada diskriminasi dalam dunia pendidikan. Tidak ada sekolah yang diitimewakan. Semua putra-putri bangsa dari Sabang hingga Merauke berhak mendapatkan pendidikan secara adil. Sudah tidak relevan lagi sekolah-sekolah tertentu me(di) klaim sebagai sekolah favorit, sekolah unggulan, sekolah nomer satu, dua, tiga dan seterusnya. Dan kita semua berharap kurikulum 2013 akan memberi perubahan besar bagi bangsa ini. Kita semua berharap segalanya bisa dipersiapan secara matang pada kurikulum ini.Kita semua otimis dimasa mendatang wajah dunia pendidikan semakin membaik meskipun ditengah persoalan pemerataan, korupsi yang belum berkesudahan.

Tidak ada komentar: