Dalam
paradigma Multiple Intellegences
setiap anak memiliki kecerdasan sendiri-sendiri.Howard Gardner melahirkan
paradigma tersebut sebagai bentuk koreksi terhadap konsep kecerdasan ala Alfred
Binet (1857-1911), dinama menurut Binet dasar kecerdasan individu terletak pada
Intellegences Question (IQ)
saja.Binet menempatkan kecerdasan seseorang dalam ukuran skala tertentu yang
menitikberatkan kemampuan berbahasa dan logika.
Howard Gardner adalah Hobbs Professor di Cognition and Education dan salah satu direktur Project Zero di Harvard Graduate School of
Education, serta adjunct professor di
bidang neurologi Boston University School
of Medicine. Dia adalah penulis Frames
of Mind: The Theory of Multiple Intelligences (Basic Books, 1983/1993),
Multiple Intelligences: The Theory in Practice (Basic`Books, 1993), dan Intelligence Reframed: Multiple
Intelligences for the 21st Century (Basic Books, 1993)
Menurut Gardner setiap individu memiliki
satu atau lebih dari delapan kecerdasan antara lain; Linguistik,
Matematis-logis, Spasial, Kinestetik-Jasmaniah, Musikal, Intrapersonal,
Interpersonal, dan naturalis. Lebih jauh
lagi Gardner mengungkapkan bahwa setiap kecerdasan secara parsial memiliki ciri
dan cara tersendiri dalam mengelola informasi yang masuk kedalam otak, namun
ketika mengeluarkannya kembali, seluruh kecerdasan bersinergi dalam kesatuan
yang unik. Ukuran kepandaian seorang anak menurutnya tidak hanya dilihat dari
kemampuan logika dan bahasa sepenuhnya, namun harus dilihat dari delapan tipe
kecerdasan.Dengan kata lain Gardner ingin mengungkapkan bahwa tidak tepat
kiranya tolak ukur kepandaian seorang individu hanya dilihat dari sudut
matematis-logis-linguistik saja. Jika tolak ukurnya hanya itu saja, lalu bagaimana
dengan kecerdasan yang lain, apakah tidak menjadi pertimbangan?
Kiranya ungkapan Gardner memberikan pencerahan
baru bagi kita dalam dunia pendidikan terutama kepada para perumus kebijakan maupun
kepada praktisi pendidikan dilapangan.Ironisnya meskipun Multiple Intelligence muncul beberapa tahun yang lalu, namun
realitas dilapangan masih ditemukan ada beberapa sekolah masih menerapkan konsep
IQ sebagai satu-satunya ukuran kecerdasan seseorang (Murid). Hal ini sungguh
memprihatinkan, seolah-olah bukanlah menjadi pertimbangan penting terhadap
sebuah penemuan ilmiah oleh para pakar dalam proses perumusan kebijakan. Padahal
sebuah kebijakan yang bijaksana sejatinya tidak bisa dilahirkan tanpa
pertimbangan matang dan keikutsertaan para pakar.
Ibarat Resi, para pakar adalah guru
kehidupan yang memberikan tuntutan dan nasehat bagaimana langkah bijak
seseorang dalam mengambil setiap keputusan penting menyangkut hidupnya. Bayangkan
apa jadinya bila seseorang membuat keputusan penting dalam keadaan kebingungan?.Apa
jadinya jika para pejabat yang diamanahkan rakyat untuk merumuskan kebijakan
strategis dalam dunia pendidikan kurang serius menanggapi petuah para Resi
tersebut untuk mengeksekusi, mengawal setiap kebijakannya hingga benar-benar
sampai dilapangan? Tentunya semutakhir apapun teori pendidikan yang ditemukanakan
sulit dilihat hasilnya jika hanya menjadi “pajangan” di etalase akademik saja.
Tidak ada anak bodoh
“Mengklaim Kebodohan” sengaja
penulis sematkan dalam opini ini atas dasar masih kuatnya stigma lama bahwa hanya
anak yang pandai berhitung dan bahasa selalu dijadikan parameter kecerdasan
oleh sebagian besar guru dan orang tua.Seharusnya pendapat Gardner menyadarkan
kita agar hati-hati mengklaim seorang individu dengan ungkapan-ungkapan yang
menjatuhkan. Klaim “bodoh” terhadap seorang individu tidak bisa dibenarkan lagi
karena atas dasar apa seseorang dikatakan “bodoh”, bodoh dalam hal apa dan
pintar dalam hal apa?.
Meski Albert Einstein telah berjasa
besar dalam menemukan teori relativitas yang terkenal seantero jagad itu, sudah
saatnya iabukan lagi dijadikan parameter satu-satunya dalam menilai kecerdasan
seseorang. Bukankah setiap orang yang terlahir didunia ini unik, lahir hanya
membawa kekhasan sifanya dan disaat meninggal tidak mungkin digantikan oleh manusia
baru, disebabkan manusia baru itu juga akan membawa sifat uniknya sendiri?.Mudah
saja membuktikannya, tanyakanlah kepada sepuluh murid tentang “cinta”, penulis
menjamin masing-masing mereka akan menjawab dengan cara dan gaya masing-masing
yang tidak selalu seragam. Masalahnya memang bukan hanya dalam proses perumusan
kebijakan, tetapi juga dilapangan. Sebagian besar guru-guru di sekolah bahkan
dosen di perguruan tinggi masih banyak yang terjebak dalam paradigma behavioristik
dimana dalam proses belajar lebih menekankan hafalan, menuntut satu jawaban
yang benar dan guru adalah pusatnya. Yang utama dalam paradigma ini adalah
penambahan pengetahuan, artinya seseorang dikatakan telah belajar apabila mampu
mengungkapkan kembali yang telah dipelajari.Meskipun dalam realita,
pembelajaran behavioristik menekankan keterampilan terisolasi (tak terkait
dengan kehidupan dan pemecahan masalah sehari-hari), mengikuti urutan kurikulum
yang ketat, aktivitas belajar mengikuti buku teks, dan menekankan pada hasil.Dalam
paradigma ini guru ibarat hakim yang berhak memutuskan benar-salah,
pintar-bodoh muridnya.Oleh karena itu, respon dari siswa bersifat pasif, harus
berupa satu jawaban yang benar, sedang evaluasi dipandang terpisah dari proses
belajar. Alhasil kondisi belajar seperti ini cendrung melahirkan murid-murid
yang miskin kreatifitas, tertekan, kurang berani
berekspresi dan menyampaikan idenya.Murid seakan-akan “dipaksa” meng copy paste pengetahuan yang bersumber
dari gurunya sebagaimana adanya tidak kurang tidak lebih. Padahal daya
kretifitas dalam menerima pengetahuan antara murid dengan guru tentulah
berbeda.Kondisi otoritarian sepeti ini justru akan sangat membahayakan
perkembangan seorang murid. Dinegara-negara maju seperti Finlandia, Jepang, Inggris, Canada, Inggris, cendrung bahkan sudah secara “berani” menerapkan
paradigma konstruktivistik dalam proses belajar. Sebuah paradigma pendidikan
yang memberikan keleuasaan gaya belajar
siswa serta materi pelajaran yang
diminati siswa. Dalam paradigma ini pula tugas guru sebagai
fasilitator yang membantu siswa mencapai pemahaman tentang isi pelajaran; jadi
siswa yang mengambil peran aktif dalam pembelajaran. Beberapa tugas fasilitator
adalah bertanya, mendukung dari belakang, dan menyiapkan garis-garis belajar
pembelajaran dan menciptakan lingkungan agar siswa dapat mencapai
kesimpulan-kesimpulan, dan melakukan dialog dengan pembelajar.
Sekolah bukan
pabrik
Perlu
diakui bahwa sistem pendidikan kita masih mewarisi model-model zaman kolonial.Padahal
kita harus sadari bahwa konteks pendidikan yang dibangun waktu itu sarat dengan
muatan politis dan imperialis.Semangat politik etis (balas budi)
yang digembar-gemborkan kaum liberalternyata tidak sejalan
dengan realitas dilapangan.Sekolah-sekolah di Hindia Belanda (Indonesia)
didirikan untuk memenuhi kebutuhan akan tenaga kerja di pabrik-pabrik, bahkan terkesan
setengah hati dengan menjalankan kebijakan diskriminatif ketat. Dengan kata lainkonteks pembangunan sarana
pendidikan waktu itu hanya untuk kepentingan bisnis semata bukan pembangunan
kualitas manusia Indonesia secara utuh. Rupanya warisan itu masih bercokol kuat
dinegeri kita, meskipun penjajah telah pergi puluhan tahun silam.Selain itu dalam
memperlakukan siswa-siswi, sekolah sering kali melakukan penyeragaman terhadap
anak didik. Padahal dimasa depan bangsa ini membutuhkan manusia-manusia unggul
dibidangnya sendiri-sendiri. Dimasa
depan bangsa ini membutuhkan manusia-manusia unggul yang berdedikasi tinggi
dengan ilmunya, yang dengan dedikasi itu akan memberikan kontribusi terbaiknya
bagi bangsa.
Kita patut
memberikan apresiasi tinggi kepada Mahkamah Konstitusi yang dengan tegas
menghapusUndang-undang RSBI (Rintisan Sekolah Berstandar Internasional) dalam
dunia pendidikan. Tepat kiranya keputusan MK itu menimbang memang secara
substansi telah bertentangan dengan semangat Undang-undang Dasar (UUD) 1945
yang menekankan bahwa tidak ada diskriminasi dalam dunia pendidikan. Tidak ada
sekolah yang diitimewakan. Semua putra-putri bangsa dari Sabang hingga Merauke berhak
mendapatkan pendidikan secara adil. Sudah tidak relevan lagi sekolah-sekolah
tertentu me(di) klaim sebagai sekolah favorit, sekolah unggulan, sekolah nomer
satu, dua, tiga dan seterusnya. Dan kita semua berharap kurikulum 2013 akan memberi perubahan besar bagi bangsa
ini. Kita
semua berharap segalanya bisa dipersiapan secara matang pada kurikulum ini.Kita
semua otimis dimasa mendatang wajah dunia pendidikan semakin membaik meskipun ditengah persoalan
pemerataan,
korupsi yang belum berkesudahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar