Rabu, April 24, 2013

Membaca Kembali Hari Kartini : Perjuangan Yang Belum Selesai

Raden Ajeng (R.A) Kartini (21 April tahun 1879-17 September 1904) adalah teks dalam sebuah konteks, sedangkan emansipasi adalah bentuk perlawanan-nya.
Hingga saat ini konsep tersebut selalu menjadi spirit bahkan diskusi publik untuk mendefinisikan perempuan dan peranannya dalam berbangsa dan bernegara. “Habis Gelap Terbitlah Terang” adalah bentuk perlawanan yang dilakukannya secara halus terhadap ketidakadilan zaman. Sebagai seorang perempuan yang terlahir dalam lingkungan feodal, ia getir, ia protes melihat realitas kaumnya yang termarjinalkan. Tapi apa daya kungkungan budaya amat kuat “mengikat” tangan dan kakinya bahkan mulutnya. Ia hanya bisa menuliskannya dalam sebuah kertas dan dibagikan pengalamannya itu kepada sahabat- sahabatnya Stella dan Nyonya Abendanon di Belanda. Ia barat burung dalam sangkar emas. Mekipun sangkarnya terbuat dari emas, tetap saja hidupnya terkurung. 
         Membaca surat-surat Kartini memberikan banyak pelajaran bagi kita. Betapa berat perjuangan seorang perempuan dalam “melawan” arus budaya yang minim apresiasi terhadap peran perempuan. Saya katakan berat karena memang pada waktu itu penjajah tidak hanya dari luar (orang asing) tetapi juga kultur pribumi (baca: Jawa) sendiri yang feodalistik.
Tantangan pertama yang harus dihadapi Kartini yakni melawan hegemoni pemerintah penjajah (Hindia Belanda). Kebijakan pemerintah Hindia Belanda dalam berbagai bidang termasuk bidang pendidikan sangat diskriminasi terhadap kaum pribumi, terlebih-lebih kepada kaum perempuan. Memang Kartini lahir dari kalangan priyayi sehingga memiliki akses untuk mendapatkan pendidikan, ia diberikan kesempatan sekolah hingga usia 12 tahun.  Tetapi melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi adalah suatu hal yang tabu bagi perempuan, sehingga pintu itu pun tertutup baginya. Tragisnya lagi Ia tidak diperkenankan keluar rumah oleh keluarga. Bahkan ia harus nrimo dijodokan oleh orang tuanya menjadi istri kedua Bupati Rembang.

Tantangan kedua yakni melawan kultur atau budaya setempat yang minim apresiasi terhadap perempuan. Meski Islam adalah agama mayoritas yang menjunjung tinggi peran perempuan tapi nilai-nilainya belum secara utuh dipahami serta diamalkan oleh penganutnya.

Sejarawan Belanda Van Leur pernah mengungkapkan, Islam Indonesia hanyalah “lapisan tipis di atas permukaan budaya Jawa”. Senada dengan Van Leur, seorang Islamolog Robert W. Hefner mengungkapkan bahwa Islam di Indonesia adalah satu lapisan budaya yang tipis atau sesuatu yang terletak di atas sedimen lebih tebal dari Hindu, Buddha dan animisme. Itulah yang harus kita baca, tantangan-tantangan yang dihadapi Kartini pada zamannya bahkan umat Islam hingga saat ini. Islam belum bisa diambil saripatinya. Islam baru sekerdar dipahami “huruf-hurufnya” saja. 
Tantangan Kaum Perempuan Kini

R.A Kartini telah berjasa memotret keadaan kaumnya pada zamannya dan juga mewariskan spirit “Emansipasi” kepada generasi selanjutnya. Semangat tersebut ditafsirkan berbeda-beda bahkan kini semangat itu dijadikan alat legitimasi oleh kaum Feminis dalam mendukung kebijakan Kesetaraan Gender (KG). Padahal konsep KG adalah konsep yang secara kasuistik lahir dari rahim Barat sehingga harus dicermati betul jika akan diberlakukan di Indonesia. Konsep KG pada intinya menginginkan “kesetaraan” antara laki-laki dan perempuan. Bisa dimaklumi bahwa feminisme adalah upaya protes atas eksistensi perempuan yang belum sepenuhnya diakui dalam struktur masyarakat barat kala itu. Di tambah kebijakan Gereja yang menjadi pijakan nilai-nilai sosial dinilai sangat anti perempuan. Selain itu budaya materialistis yang menggiring peradaban barat dari waktu ke waktu agar menilai segala hal secara fisik saja. Kebahagiaan, kebaikan, kasih sayang, ukurannya adalah materi belaka. Feminisme adalah protes kaum perempuan barat agar diberikan ruang aktualisasi sebagaimana laki-laki. Tetapi sayang, kaum perempuan itu bukan melakukan perlawanan secara konsep tetapi justru malah terjerumus oleh paradigma materialis. Padahal jelas dari segi fisiologi dan sifat dasar antara laki-laki dan perempuan tidaklah sama. Penolakan kaum feminis ekstrem atas penolakannya terhadap tugas perempuan melahirkan dan menyusui sangat tidak masuk akal dan bertentangan dengan kodrat perempuan itu sendiri. Lalu untuk apa rahim dan payudara ada padaperempuan?.

Dahulu kaum perempuan mengalami subordinasi oleh budaya yang kolot meskipun hingga saat ini diberbagai daerah di Indonesia diskriminasi itu belumlah hilang. Masih ada saja stigma-stigma miring terhadap kaum perempuan. Tetapi saat ini kondisinya lebih baik dibanding zaman dahulu. Jika pada zaman dahulu perempuan mengalami diskriminasi dan subrodinasi (penaklukan) dalam keadaan terpaksa. Namun beda dulu beda sekarang kaum perempuan sekarang setelah memperoleh kebebasan justru dijadikan “komoditas”. Mereka dengan berbagai upaya ingin “bersaing” dengan laki-laki dalam ranah publik. Bahkan lebih mengerikan lagi jika dulu dalam keadaan terpaksa mereka disubordinasi, namun kini secara terang-terangan mereka bangga jadi “komoditas” publik. Stigma menjadi ibu rumah tangga-pun seakan menjadi tidak mulia. Tentu kita tidak sepenuhnya menyalahkan kaum perempuan saja. Tetapi itu adalah pekerjaan rumah kita bersama untuk memikirkannya. Itu semua adalah akibat derasnya arus globalisasi yang mengkampanyekan nilai-nilai materialis barat yang tidak sesuai dengan nilai-nilai bangsa, nilai-nilai ketimuran, terlebih-lebih nilai-nilai agama  
Apresiasi Islam Terhadap Kaum Perempuan 
        Islam merupakan agama yang sempurna. Islam tidak parsial dalam memandang sesuatu. Tidak melihat dari aspek materi saja, tetapi melihat dari aspek metafisik. Tidak melihat hanya dari katamata keduniawian tapi juga dari kacamata akhirat. Seorang presiden perempuan meski tugasnya mengurus negara belum tentu mulia dari pada seorang ibu rumah tangga yang dengan penuh perhatian dan kasih sayang membina suami dan anak-anaknya di rumah. Karena memang ukurannya tidak hanya materi belaka. Oleh sebab itu bisa dimaklumi bahwa protes-protes kaum perempuan di Eropa (barat) lebih dititik beratkan karena rendahnya apresiasi masyarakat (laki-laki) terhadap peran-peran “imateril” perempuan. Kaum perempuan dipaksa mengikuti arus paradigm bahwa tugas laki-laki, tugas-tugas materi lebih berharga dibandingkan tugas “imateril” kaum perempuan. Al-hasil martabat kaum perempuan selalu dipandang hina.

        Selanjutnya paradigma feminis yang berbalut retorika indah namun rapuh itu menyebar dinegara-negara muslim termasuk Indonesia lalu bercampur dengan budaya lokal dan menyuburkan stigma negatif terhadap peran perempuan. Kartini adalah korban budaya yang belum tercerahkan. Seharusnya kita yang hidup dizaman sekarang melihat kasus Kartini sebagai pelajaran berharga. Bahwa materialisme telah menjadi hakim yang kejam terhadap perempuan. Peran-peran perempuan yang “imateril” mutlak kita perlukan dalam proses membangun peradaban. Mustahil peradaban ini berdiri tegak tanpa adanya peran perempuan. Bukankah perempuan adalah tiangnya negara?. Tugas kita hari ini adalah memperbaiki dekilnya paradigma masyarakat terhadap perempuan. Bukankah sejarah telah menunjukan banyak tokoh-tokoh besar terlahir dalam rahim dan buaian kasih sayang seorang perempuan.
Semarang 21 April 2013

Tidak ada komentar: