Minggu, April 28, 2013

Rezim Orde Baru dan Hari Buruh se-dunia

Dunia memperingati tanggal 1 Mei  sebagai hari buruh (May day). Bulan ini dipilih merujuk kepada sebuah tragedi penembakan besar-besaran terhadap aksi demo kaum buruh oleh polisi Amerika Serikat (AS).
Pada tanggal 1 Mei tahun 1886, sekitar 400.000 buruh di AS mengadakan demonstrasi besar-besaran untuk menuntut pengurangan jam kerja mereka. Polisi Amerika kemudian menembaki para demonstran tersebut sehingga ratusan orang tewas dan para pemimpinnnya dihukum mati.
Sebelum peristiwa 1 Mei itu, di berbagai negara, juga terjadi pemogokan-pemogokan buruh untuk menuntut perlakukan yang lebih adil dari para pemilik modal. Pada bulan Juli 1889, Kongres Sosialis Dunia yang diselenggarakan di Paris menetapkan peristiwa di AS tanggal 1 Mei itu sebagai hari buruh sedunia dan mengeluarkan resolusi bahwa “Sebuah aksi internasional besar harus diorganisir pada satu hari tertentu dimana semua negara dan kota-kota pada waktu yang bersamaan, pada satu hari yang disepakati bersama, semua buruh menuntut agar pemerintah secara legal mengurangi jam kerja menjadi 8 jam per hari, dan melaksanakan semua hasil Kongres Buruh Internasional Perancis.”
Resolusi ini mendapat sambutan yang hangat dari berbagai negara dan sejak tahun 1890, tanggal 1 Mei, yang diistilahkan dengan May Day, diperingati oleh kaum buruh di berbagai negara, meskipun mendapat tekanan keras dari pemerintah mereka.
Adapun di Indonesia pada tahun 1920 sudah mulai memperingati hari Buruh. Pada masa Demokrasi Liberal, pemerintah pernah mewajibkan peringatan hari buruh tersebut melalui UU No. 1 tahun 1951 tentang peryataan berlakuknya UU kerja tahun 1948. Pasal 15 ayat 2 disebutkan, “Pada Tanggal 1 Mei buruh dibebaskan dari kewajiban bekerja”. Bahkan lagu Internationale—lagu favorinya kaum buruh—boleh dinyanyikan saat-saat perayaan May Day. Uniknya bahkan lagu ini pernah dinyanyikan di Istana.
Bung Karno menyanyikan lagu Internasionale  di Istana Negara ketika setahun sesudah terjadinya G30S, dan ketika jutaan para anggota serta simpatisan PKI, dan ratusan ribu pimpinan dan aktivis serikat buruh dari berbagai tingkat di seluruh Indonesia, dibunuhi, atau dipersekusi dan dipenjarakan.  Bung Karno menyanyikan lagu Internasionale  di Istana Negara pada tanggal 13 September 1966 ketika PKI sudah dinyatakan sebagai partai terlarang berikut penyebaran ajaran-ajaran Marxismenya.
Namun sejak rezim Orde Baru berdiri, pemerintah melarang peringatan hari buruh di Indonesia. Hari buruh tidak diakui oleh pemerintah. Kaum buruh tidak lagi mendapatkan kebebasan dan kewajiban untuk tidak bekerja (libur). Tentu dapat dipahami mengapa rezim melarangnya, larangan ini memang berbau politis. Para penguasa rejim militer Suharto, menuduh bahwa Hari Buruh 1 Mei diidentikkan dengan gerakan atau kegiatan yang menguntungkan PKI saja atau hanya menyuburkan komunisme/Partai Komunisme Indonesia. Padahal PKI merupakan rivalnya tentara (baca; rezim militer Soeharto).
Ya, itulah sepenggal kisah yang turut mendewasakan negeri ini bahwa sejarah bangsa penuh dengan pergulatan. Apakah dalam perjalanannya diisi dengan kebohongan atau kejujuran.
Kiranya menarik ungkapan seorang aktifis 66 Soe Hok Gie “Bagi saya kebenaran biarpun bagaimana sakitnya lebih baik daripada kemunafikan. Dan kita tak usah merasa malu dengan kekurangan-kekurangan kita” 
Semarang, 24 April 2013

Tidak ada komentar: