Dunia memperingati tanggal
1 Mei sebagai hari buruh (May day). Bulan ini dipilih merujuk
kepada sebuah tragedi penembakan besar-besaran terhadap aksi demo kaum buruh
oleh polisi Amerika Serikat (AS).
Pada tanggal 1 Mei tahun 1886, sekitar 400.000 buruh di AS mengadakan
demonstrasi besar-besaran untuk menuntut pengurangan jam kerja mereka. Polisi
Amerika kemudian menembaki para demonstran tersebut sehingga ratusan orang
tewas dan para pemimpinnnya dihukum mati.
Sebelum peristiwa 1 Mei itu, di berbagai negara, juga terjadi
pemogokan-pemogokan buruh untuk menuntut perlakukan yang lebih adil dari para
pemilik modal. Pada bulan Juli 1889, Kongres Sosialis Dunia yang
diselenggarakan di Paris menetapkan peristiwa di AS tanggal 1 Mei itu sebagai
hari buruh sedunia dan mengeluarkan resolusi bahwa “Sebuah aksi internasional
besar harus diorganisir pada satu hari tertentu dimana semua negara dan
kota-kota pada waktu yang bersamaan, pada satu hari yang disepakati bersama,
semua buruh menuntut agar pemerintah secara legal mengurangi jam kerja menjadi
8 jam per hari, dan melaksanakan semua hasil Kongres Buruh Internasional
Perancis.”
Resolusi ini mendapat sambutan yang hangat dari berbagai negara dan sejak
tahun 1890, tanggal 1 Mei, yang diistilahkan dengan May Day, diperingati oleh kaum buruh di berbagai negara, meskipun
mendapat tekanan keras dari pemerintah mereka.
Adapun di Indonesia pada tahun 1920 sudah mulai memperingati hari Buruh. Pada
masa Demokrasi Liberal, pemerintah pernah mewajibkan peringatan hari buruh
tersebut melalui UU No. 1 tahun 1951 tentang peryataan berlakuknya UU kerja
tahun 1948. Pasal 15 ayat 2 disebutkan, “Pada Tanggal 1 Mei buruh dibebaskan
dari kewajiban bekerja”. Bahkan lagu Internationale—lagu favorinya kaum
buruh—boleh dinyanyikan saat-saat perayaan May
Day. Uniknya bahkan lagu ini pernah dinyanyikan di Istana.
Bung Karno menyanyikan lagu Internasionale di
Istana Negara ketika setahun sesudah terjadinya G30S, dan ketika jutaan
para anggota serta simpatisan PKI, dan ratusan ribu pimpinan dan aktivis
serikat buruh dari berbagai tingkat di seluruh Indonesia, dibunuhi, atau
dipersekusi dan dipenjarakan. Bung Karno menyanyikan lagu
Internasionale di Istana Negara pada tanggal 13 September 1966 ketika PKI
sudah dinyatakan sebagai partai terlarang berikut penyebaran ajaran-ajaran
Marxismenya.
Namun sejak rezim Orde Baru berdiri, pemerintah melarang peringatan hari
buruh di Indonesia. Hari buruh tidak diakui oleh pemerintah. Kaum buruh tidak
lagi mendapatkan kebebasan dan kewajiban untuk tidak bekerja (libur). Tentu
dapat dipahami mengapa rezim melarangnya, larangan ini memang berbau politis. Para
penguasa rejim militer Suharto, menuduh bahwa Hari Buruh 1 Mei diidentikkan
dengan gerakan atau kegiatan yang menguntungkan PKI saja atau hanya menyuburkan
komunisme/Partai Komunisme Indonesia. Padahal PKI merupakan rivalnya tentara
(baca; rezim militer Soeharto).
Ya, itulah sepenggal kisah yang turut mendewasakan negeri ini
bahwa sejarah bangsa penuh dengan pergulatan. Apakah dalam perjalanannya diisi
dengan kebohongan atau kejujuran.
Kiranya menarik ungkapan seorang aktifis 66 Soe Hok Gie “Bagi
saya kebenaran biarpun bagaimana sakitnya lebih baik daripada kemunafikan. Dan kita
tak usah merasa malu dengan kekurangan-kekurangan kita”
Semarang, 24 April 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar