Senin, November 04, 2013

Aku Nyaris Agnostik?




Beberapa waktu yang lalu aku sempat mengalami kehambaran dalam menjalankan ibadah harian. Entah sudah kesekian kalinya aku lewatkan hari-hari tanpa membuka-buka Al-quran, shalat sunnah, puasa sunnah, dan sunnah-sunnah lainnya. Tapi untuk perkara yang wajib seperti shalat lima waktu, aku masih mempertahankannya meski dalam keadaan berat. Dan sesekali sering kali muncul pertanyaan-pertanyaan aneh di benakku. “Ngapain kamu shalat sih? Emang ngefek ya?”. Begitu kira-kira. 

Bukan masalah ngefek tidak ngefek tapi kebiasaan shalat ini dahulu benar-benar aku biasakan sejak kelas 1 SMP, sehingga jika aku tinggalkan masih terasa bersalah di hatiku. Waktu itu entah kenapa aku begitu mengazamkan diri agar tidak boleh meninggalkan shalat dalam keadaan apapun meski mayoritas keluargaku, ayah ibu, kakak-kakaku tidak terlalu memusingkan ibadah wajib ini.  Apalagi setelah aku tahu bahwa di dalam Alquran dan hadits banyak menerangkan mengenai perintah shalat. “Masak sih aku berani meninggalkan yang wajib ini?. Aku jangan sampai berani meninggalkan shalat tanpa merasa bersalah”. Pikirku. Aku merasa paling rajin shalat di rumah.

Aku mulai belajar membaca Alquran sejak kelas  lima SD. Selain itu, aku juga melanjutkan sekolah di Madrasah Tsanawiyah yang sering mengajarkan baca tulis Alquran. Aku pun bergaul dengan teman-teman yang  “Agamis” sejak di SMA (Rohis). Ya, aku sempat menjadi salah satu aktivis rohis sekolah meski hanya ikut-ikutan saja. Bahkan aku pernah diberi tanggung jawab menjadi Marbot di Masjid Sekolah, sehingga sudah bukan hal yang asing bagiku melihat orang shalat dan membaca Al-quran. Kemudian ketika masuk di perguruan tinggi di Semarang, aku juga dekat dengan para Aktivis Dakwah Kampus (ADS) seperti INSANI Undip, Keluarga Mahasiswa Muslim Sastra (KMMS) dan KAMMI. 

Waktu itu, Aku sedang asyik-asyiknya berorganisasi. Aku pun bersemangat melakukan ibadah-ibadah seperti shalat sunnah, tilawah, al-matsurat-an, shalat malam, ikut dauroh sana, dauroh sini dll. Ya. Apa karena pengaruh lingkungan inikah aku menjadi begitu ‘shalih’?. Klo menurut terminologi Antonio Gramci, mungkin aku telah terhegemoni oleh Syakshiyah (kepribadian) para aktivis-aktivis Islam itu. Namun ketika aku menjadi orang yang punya ‘banyak pengalaman’ di kampus, aku terkadang malah berani meninggalkan ibadah-ibadah sunnah tersebut. Aku mungkin sudah 3 tahun tidak datang taskif tiap jumat pagi. Dengan dalih bosan, shalih artifisial, udah senior, dan macam-macam.  Sok realis, anti kemunafikan, bahkan anti kemapanan (emang enggak mapan-mapan kali, hehe). Aku tidak nyaman dengan kondisi yang disakral-sakralkan. Aku biasa flamboyan, ketemu cewek di jalan ya klo aku kenal akan aku sapa bahkan aku ajak ngobrol jika memungkinkan. Aku terbiasa ngomong ngablak. Terkadang kan sesama aktivis biasanya suka jaim tuh klo ketemu di Jalan. Padahal kenal tapi kadang-kadang tidak menyapa satu dengan yang lainnya lantaran lebih kepada bukan muhrim dan “malu-malu” tapi seneng. Emang dosa ya nyapa, atau senyum. Aku paling tidak suka melakukan sesatu tanpa tahu dasarnya. Setidaknya jika itu prinsip lakukanlah secara konsekuen sebagai karakter sikap. Aku justru senang lihat orang yang konsisten dengan “keradikalannya”. Meski orang-orang seperti itu biasanya menyebalkan karena menutup secara dini pintu dialog, pintu ilmu pengetahuan. Ya, memang setiap orang berbeda-beda di dunia ini. Setiap orang dilahirkan dengan latar belakang yang berbeda.

Aku mungkin jadi orang yang paling menyebalkan karena selalu bahas masalah ini-ini saja. “Tugas Dakwah banyak cuy ngritik melulu” ,  “Amanah ente tuh urusin.. brantakan juga”.  Kata salah seorang sahabatku yang shalih itu. “Ah biarin!””. Menurutku memahami sikap seseorang itu lebih menarik ketimbang mengamati pemandangan alam. Memandang seseorang atau manusia itu dinamis, selalu unik. Jadi seneng saja ngobrolin masalah ini.

Semakin tua dan banyak minum asam, garam kampus organisasi, aku mulai sadar mana-mana saja yang harus aku lakukan dalam menapaki hidup. Jika merugikan bagiku ya aku tolak, jika cuma buang-buang waktu dan seremonial belaka aku tinggalkan. Jika aku lihat adik-adiku yang baru-baru begitu bersemangat ya aku motivasi. Jika ada ‘junior’ yang sok-sok-an di- depanku, aku “bantai”, kadang-kadang aku buat jatuh mentalnya. Dalam hati “Rasain! Gue udah lebih pengalaman dari lu! Jangan sok-sok-an di depan gua”. Kejam banget ya?.

Entah kenapa semakin tua pikiranku menjadi kian gamang. Aku gampang meragukan sesuatu. “Ah masa, “apa iya”, Ah yang bener?”. Mungkin nyaris Agnostik. Apakah ini yang dinamakan proses pematangan diri?. Aku mulai mendekonstruksi apa-apa yang telah aku terima. Aku rasionalisasikan lagi. Aku sudah dewasa dan harus menentukan pilihan. “Masak terdoktrin terus kayak anak-anak baru itu?”. Sepanjang itu pula secara intelektualitas aku pun bergerak dengan belajar dari teman-teman baik dari yang paling “kanan” hingga yang paling “kiri mentok” atau juga yang “kere”. Aku mulai bertanya-tanya, Apakah aku ini orisinil? Jika iya, kok rasa-rasanya aku tidak lepas ya dalam bertindak?. Saking dekonstruktifnya sikapku bahkan sebagian teman yang mengamati sikapku mengatakan. “Mas Anton Kok Kacau banget ya?”. “Hidup lu gak teratur Mas?”, Bahkan ada teman yang bilang “Gua yang dirusak lu apa gua yang ngerusak lu?”. Dan macam-macam. Yang jelas masa-masa itu benar-benar “kritis”. Jika di dalam ilmu sosial atau bahkan ilmu alam fase kritis adalah fase pealihan, apakah saya juga sedang mengalami masa peralihan, sehingga menjadi gamang?. Hidup gamang memang sangat tidak mengenakkan. Akan tetapi apakah ada dalam hidup seseorang dilewati tanpa pernah mengalami kegamangan?. Saya pernah mendengarkan seorang ulama mengatakan “beruntunglah orang yang galau, bisa jadi itu adalah wasilah turunnya hidayah?”. Sejenak Aku renungkan pernyataan itu. Bukankah Nabi Muhammad sendiri juga pernah galau hingga beliau uzlah di Gua Hira?

Aku masih merasa belum termotivasi kuat untuk apa aku harus memaksakan membaca Al-quran. Hambar saja rasanya. Aku lebih senang diskusi dan nongkrong ke perpustakaan. Pikirku apakah yang dimaksud membaca Al-quran itu “membaca” tulisan-tulisan  Arab saja. Memang sih setahuku membaca saja meski tidak tahu maknanya sudah tergolong mendapatkan pahala. Tapi aku belum mantap saja jika berpuas diri sebatas itu. Bukankah yang aku lakukan ini seperti membaca buku di perpustakaan, diskusi pun bisa dikatakan “membaca” karena lebih implementatif mengontekstualisasikan dalil dengan teori-teori di buku-buku literatur?.

Dan apakah ini kebetulan atau tidak, Aku menemukan sebuah buku terbitan Kompas Gramedia tentang biografi Haji Agus Salim. Beliau adalah salah seorang founding father senior yang cerdas luar biasa. Menguasai 9 bahasa sekaligus. Ilmunya baik Timur maupun Barat sangat mengagumkan. Pemikiran-pemikirannya tentang keummatan, kebangsaan melampaui zamannya bahkan masih menajdi diskusi hingga detik ini meski buku-buku biorafi mengenainya masih minim.

Aku memang sudah sedikit banyak mengatahui siapa sosok H.Agus Salim dan sepak terjangnya dalam usahanya membebaskan negeri ini dari penjajah. Dengan bekal pengetahuan yang sedikit itulah aku bisa lebih menjiwai sosok fenomenal itu.

Aku baca kumpulan tulisan tersebut. Aku temukan tulisan karya Mestika Zied. Aku lupa judulnya. Yang pasti Mestika Zeid menceritakan sisi-sisi luar biasa kecerdasan H.Agus Salim. Beliau menceritakan debat H. Agus Salim dengan Sutan Takdir Alisyah Banna (STA). Aku sedikit banyak tahu siapa (STA). Kedua orang ini adalah orang besar. Orang-orang luar biasa. Aku pun sangat kagum dengan kedua tokoh ini. STA adalah seorang yang rasionalis, pakar tata bahasa filsafat dan ilmu-ilmu kemanusiaan lainnya.

Suatu hari beliau (STA) bertanya kepada H. Agus Salim. Intinya dalam percakapan itu STA heran dengan H. Agus Salim yang begitu rajin shalat lima waktu. STA bilang shalat itu tidak rasional. Beliau juga bilang bahwa melakukan sesuatu hal tanpa mengetahui alasannya adalah tidak masuk akal. Dengan kata lain sebenarnya beliau ingin bilang bahwa shalat itu tidak masuk akal.

Mendengar  “serangan” dari STA itu, H. Agus Salim melakukan “serangan” balik. Dengan retorika yang baik beliau bertanya kepada STA yang kurang lebih begini “Anda orang Minang juga kan? Kalau Anda pulang kampung Anda naik apa?”. Tanya H. Agus Salim.

Dengan mantap STA menjawab “Naik kapal!” (waktu itu belum ada pesawat). “ketika Anda Naik kapal, Anda lebih dominan mennggunakan keyakinan dari pada pengetahuan. Apakah Anda harus tahu seluk beluk tentang kapal terlebih dahulu baru naik kapal? Mustahil! Jika tidak tahu seluk-beluk tentang kapal, seharusnya Anda berenang saja tidak usah naik kapal. Akan tetapi berenang pun Anda harus tahu teknik-teknik berenang. Itupun belum tentu Anda bisa sampai dengan selamat!”.

Dialog tokoh itu benar-benar menggugah pikiranku. Kegamanganku benar-benar terobati. Ternyata Aku pun lebih banyak melakukan sesuatu berdasarkan keyakinan ketimbang pengetahuan. Padahal klo dipikir-pikir apa sih yang sudah Aku ketahui?. Sombong sekali say Aku. Ya. Aku memang bertindak lebih banyak berdasarkan keyakinan ketimbang pengetahuan. Terima kasih atas nasehatnya H. Agus Salim, engkau hidup bukan di zaman ku tapi buah pikiranmu masih bisa Aku ketahui. Aku juga mengucapkan terima kasih kepada orang-orang yang menulis buah pikiran H. Agus Salim. Dan Aku juga semakin yakin bahwa membaca dan menulis merupakan mata-rantai ilmu pengathuan yang bisa menjadi petunjuk manusia agar semakin mengenal Tuhan-Nya.

Ditulis di Semarang Pagi Menjelang Siang, 4 November 2013

Tidak ada komentar: