Sabtu, November 16, 2013

Menanti Kedewasaan Berpolitik Mahasiswa Undip

Sampai dengan tanggal 14 November 2013, spanduk besar bertuliskan Komisi Pemilihan Raya (KPR) Universitas Diponegoro masih terpampang mencolok di halaman depan Kantor Polsek Tembalang. Akan tetapi sejak tanggal 15 November 2013 spanduk itu hilang entah kemana.
Sekilas memang nampak aneh dan menimbulkan pertanyaan. Mengapa Polsek yang di pilih menjadi sekretariat KPR oleh mahasiswa bukan di Gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM)?. Apa sebenarnya yang terjadi dengan mahasiswa Undip, dan mengapa hal semacam ini bisa terulang kembali seperti terjadi tahun 2012?. Pertanyaan-pertanyaan tersebut agaknya manarik untuk dipecahkan.
Jika persoalannya di sebabkan minimnya fasilitas agaknya tidak mungkin. Seperti diketahui Undip adalah universitas negeri ternama di Jawa Tengah. Mustahil Undip tidak menyediakan fasilitas untuk di gunakan untuk kegiatan mahasiswa. Bukankah Undip baru saja membangun gedung PKM yang baru agar segala kegiatan mahasiswa terfasilitasi?. Meskipun sebelumnya memang telah ada gedung PKM lama sebagai pusat kegiatan.  
Terpampangnya spandung KPR di halaman Kantor Polesek Tembalang mengindikasikan tidak sehatnya dinamika perpolitikan kampus di Undip. Selain itu juga menunjukkan bahwa mahasiswa sebagai ‘kaum inteletual’ belum mampu menyelesaikan persoalannya sendiri. Agaknya waktu satu tahun atau mungkin sepanjang tahun belum mampu digunakan oleh mahasiswa Undip untuk rembukan bareng menyelesaikan persoalannya. Entah mengapa bisa terjadi hal semacam itu, apakah mereka sudah tidak hormat lagi dengan kampus yang membesarkannya? Apakah mereka punya visi untuk memajukan kampus?, Dimanakah rasa memiliki (sense of belonging) mereka terhadap martabat kampus research ini? Apakah mereka mengidap penyakit amnesia akut sehingga segala peristiwa yang terjadi di masa lalu dilupakan begitu saja tanpa sedikitpun mengambil pelajaran?.

Mahasiswa Kok Anarkis?
Sejatinya kampus merupakah kawah candradimuka ilmu pengatahuan. Dari kampus-lah ide-ide segar bermunculan. Kampus merupakan taman elok tempat beradunya dialektika mahasiswa dalam memecahkan permasalahan. Ibarat kantung ajaib Doraemon, kampus merupakan gudang solusi atas segala peroalan bangsa. Mahasiswa sebagai salah satu unsur di dalamnya harus mengedepankan peran-peran itu. Menjadi agen of change bagi masyarakat sebagai tanggung jawab moralnya. Pantaskah mahasiswa jika dalam menghadapi perselisihan atau perbedaan pendapat harus diselesaikan dengan ‘diskusi fisik’ alias gelut?. Jika gelut selalu menjadi ‘kebiasaan’ lalu buat apa lama-lama mengasah otak di kampus?. Yang di asah itu otak bukan dengkul.  
Ada sebagian orang mengatakan bahwa kampus merupakan prototype sebuah negara. Mungkin ada benarnya juga. Beberapa ciri-ciri yang mengatkan pernyataan tersebut adalah bahwa di kampus terdapat Student Goverment seperti Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), Menwa, Senat Mahasiswa (Senat), Komisi Pemilihan Raya (KPR) dan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). Masing-masing organisasi tersebut memiliki tugas dan wewenang masing-masing. Mahasiswa sebagai ‘rakyat’ di dalamnya terdiri dari berbagai macam latar belakang seperti agama, suku, ras, kebudyaan yang beragam (heterogen). Masing-masing punya kepentingan yang berbeda-beda. Oleh karena itu keberagaman itu harus di manage dengan baik agar tidak mengalami chaos (kacau). Lalu di buatlah aturan berdasarkan kesepakatan bersama (konsensus) sehingga masing-masing kepentingan bisa diakomodir dan tidak ada yang merasa dirugikan. Peraturan yang telah dibuat tersebut wajib ditaati oleh semua pihak tanpa kecuali. Masing-masing pihak yang berkepentingan harus menjalankan hak dan kewajibannya sesuai kesepakatan. Dan jika menyimpang harus menerima jika di tindak tegas. Kedewasaan seperti inilah yang harusnya dimiliki oleh mahasiswa sebagai calon pemimpin masa depan.

Jangan ciderai demokrasi
Konsekuensi dari demokrasi adalah dihargainya seluruh aspirasi masyarakat (mahasiswa). Dalam hal ini partai mahasiswa merupakan sarana baik agar aspirasi-aspirasi tersebut bisa diakomodir. Pembentukan partai mahasiswa di kampus Undip harus gunakan untuk sebesar-besarnya kepentingan umum mahasiswa bukan mendahulukan kepentingan kelompoknya saja. Beragamnya partai-partai mahasiswa di Undip harus di syukuri sebagai bentuk kematangan demoratisasi mahasiswa Undip. Partai harus di jadikan sarana perekrutan calon-calon pemimpin yang berkompeten. Oleh sebab itu sudah keharusan sebuah partai mahasiswa melakukan pencerdasan politik bagi kader-kadernya. Bayangkan jumlah mahasiswa Undip yang begitu besar, puluhan ribu, tidak terdapat partai mahasiswa. Bukankah justru akan membahayakan jika seandainya seorang mahasiswa yang tidak terlatih kepemimpinannya menjadi wakil ribuan mahasiswa lainnya?.
Pemira tahun 2014 mendatang (tepatnya Tanggal 3 Desember) merupakan ujian kedewasaan bagi mahasiswa Undip. Mampukah mereka (partai-partai mahasiswa Undip) menahan diri segala tindakan anarkis? Mampukah mereka bertarung secara sehat dalam kancah Pemira nanti tapa saling intimidasi satu dengan yang lain?. Mari sama-sama kita menjadi saksi sejarah di Undip. (Kong Naim)
Semarang, 16 November Dini hari 2013

Sumber Gambar: www.opinibaru.blogspot.com

Tidak ada komentar: